Ramadhan telah tiba, bulan mulia yang selalu ditunggu-tunggu oleh manusia bahkan para makhluk di alam semesta. Hati ini sungguh gembira menyambut bulan yang penuh dengan pahala. Betapa tidak? Setiap amalan dilipat gandakan sehingga tak terhitung lagi betapa banyak keberkahan yang akan kita dapatkan. Ada beberapa kesunnahan yang sayang untuk dilewatkan karena hanya ada di bulan Ramadhan yaitu shalat tarawih.

Shalat ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Kata tarawih jika kita tinjau dari sisi kebahasaan berarti mengistirahatkan. Jadi shalat tarawih merupakan shalat santai yang diselingi dengan istirahat walau sejenak, bukan shalat dengan sangat cepat bak kilat sampai menghilangkan salah satu rukun shalat yaitu tuma’ninah.

Sedangkan menurut istilah tarawih  merupakan shalat sunnah khusus yang dilakukan sepanjang bulan Ramadhan. Maka kita tidak bisa melaksanakan shalat tarawih di selain bulan Ramadhan. Sebenarnya pada masa Nabi tidak ada istilah tarawih, ia lebih dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan. Istilah tarawih muncul karena perkataan Sayyidah Aisyah r.a, isteri Nabi, “yatarawwah” yang berarti istirahat.

Di negara kita ini terdapat dua versi shalat tarawih. Pertama, dua puluh rakaat dan kedua, delapan rakaat. Sebenarnya tidak ada masalah mengenai kedua versi tersebut tapi banyak orang bertanya-tanya manakah jumlah rakaat tarawih yang benar dan dilakukan Rasulullah Saw, bahkan ada suatu masjid yang menyelenggarakan dua sesi dalam shalat tarawih guna mewadahi kedua orang yang melaksanakan tarawih secara berbeda.

Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis mengenai kedua versi shalat tarawih tersebut sangat lemah bahkan palsu dan tidak dapat dijadikan dalil di dalam beribadah.

Berikut ialah Hadis tarawih dua puluh rakaat yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani:

عن ابن عباس قال كان النّبي صلّى الله عليه وسلّم يصلّى في رمضان عشرين ركعة والوتر

“Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”

Menurutnya Hadis riwayat Imam al-Thabrani ini sangat lemah sekali karena didalam sanadnya terdapat Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Menurut Imam al-Tirmidzi, Abu Syaibah munkar Hadisnya bahkan Imam Syu’bah menilai ia adalah seorang pendusta. Sedangkan Hadis tarawih delapan rakaat terdapat didalam kitab Shahih Ibnu Hibban:

عن جابر بن عبد الله قال صلّى بنا رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر

“Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir”

Menurutnya Hadis ini juga sangat lemah sekali karena di dalam sanadnya terdapat Isa bin Jariyah. Menurut kebanyakan ahli kritik hadis Isa bin Jariyah Hadisnya sangat lemah bahkan matruk. Maka kedua versi shalat tarawih yang ada di Indonesia apabila landasannya kedua Hadis tersebut ialah salah karena keduanya merupakan Hadis palsu atau minimal semi palsu.

Lalu versi mana yang benar? Sebenarnya shalat tarawih delapan rakaat ataupun dua puluh rakaat itu keduanya benar apabila berlandaskan Hadis yang shahih, yaitu Hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Saw tidak pernah membatasi jumlah rakaat pada shalat malam Ramadhan atau yang kita kenal dengan shalat tarawih. Hadis shahih itu diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم من قام رمضان إيمانًا واحتسابًا غفر له ماتقدّم من ذنبه

“Seseorang yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni”.

Maka dari itu kedua versi shalat tarawih di Indonesia atau bahkan versi lain seperti yang dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan shalat tiga puluh enam rakaat atau bahkan sampai seribu rakaat itu boleh-boleh saja apabila berlandaskan dengan Hadis yang ini. Hanya saja bedanya mana yang lebih utama dan mendapatkan banyak pahala? Bisa saja yang banyak lebih utama dari yang sedikit atau malah sebaliknya, yang sedikit lebih utama dari yang banyak bila dilakukan dengan baik dan khusyu’.