Majalahnabawi.com – Menjadi seorang muslim belum tentu beriman, tapi menjadi mukmin sudah pasti berislam. Kalimat tersebut sering kudengar saat disampaikan oleh seorang penceramah, baik secara langsung seperti dari mimbar khotbah di masjid dan majelis taklim maupun lewat media online seperti Youtube dan Instagram . Akhir ini, kuketahui bahwa beberapa ulama berpendapat bahwa antara kata Islam dan Iman apabila berada pada satu kalimat, baik dalam al-Quran maupun hadis, maka maknanya beda. Namun jika berada di dua kalimat yang berbeda, maka maknanya sama. Sebagai contoh hadis berikut :

أتدرون ما الإيمان بالله وحده؟ قالوا: الله ورسوله أعلم, قال: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله, وإقام اصلاة, وإتاء الزكاة, وصيام رمضان. (صحح البخاري)

“Tahukah kalian kalian apa itu iman kepada Allah? Mereka berkata : Allah dan rasul-Nya yang paling mengetahui, Nabi Saw bersabda : Syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan. (Sahih Bukhari)

Dalam hadis di atas, makna beriman kepada Allah adalah bersyahadat kemudian mendirikan salat dan menunaikan zakat. Nah, bukankah empat amal tersebut adalah bagian dari rukun Islam?

Kemudian dalam hadis yang lain, misalnya di kitab Arbain an-Nawawi pada hadis kedua disebutkan antara Iman dan Islam berbeda. Rasulullah Saw menjabarkan : Islam adalah bersyahadat, mendirikan salat, tunaikan zakat, puasa ketika datangnya bulan Ramadan dan melaksanakan haji bagi yang mampu. Sedangkan iman adalah kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul-Nya dan takdir yang telah ditetapkan.

Kemudian dalam al-Quran, Allah Swt berfirman :

قالت الأعراب آمنّا قل لّم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولمّا يدخل الإيمان في قلوبكم

Orang-orang Arab badui itu berkata, “kami telah beriman”. Sampaikanlah Muhammad, “kalian belum beriman, cukup katakan ‘kami telah masuk Islam’ karena iman belum tetap dalam hati kalian.” (al-Hujurat: 14)

Tingkatan Keimanan

Terlepas dari definisi Iman dan Islam di atas, rasanya perlu kuingatkan kembali bahwa tingkatan keimanan seorang manusia berbeda-beda. Saat sekolah dulu, salah satu guruku berkata begini “Jika Iman seseorang manusia diserupakan seperti emas, maka muslim yang mukmin memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan pertama, jika ditimbang maka kadar imannya adalah 24 karat, kadar iman tertinggi dan paling murni, kemurniannya sekitar 99 persen. Tingkatan berikutnya, jika ditimbang maka memiliki kadar 14 karat yang artinya kemurnian imannya sekitar lima puluh persen. Kemudian tingkatan keimanan yang terakhir dan paling rendah, yaitu orang yang memiliki kadar keimanan sekarat, yang artinya seseorang itu memerlukan bimbingan rohani”.

Dari sini satu hal yang kupahami, orientasi beribadahku selama ini sepertinya menempuh jalan buntu. Aku telah menaruh harapan beribadahku bukan kepada Sang pemilik eksistensi, melainkan kepada ciptaannya. Tanpa disadari, telah timbul benih syirik dalam diri ini. Benar aku telah menunaikan salat, tapi bukan berharap rida dari-Nya, melainkan berharap surga-Nya. Takutku pun bukan pada murka-Nya melainkan neraka-Nya. Ya, sangat amatir dan materialis. Mungkin setelah ini kembali kuperbaharui lagi iman ini sehingga tidak termasuk golongan muslim yang sekarat.

By Fahrul Fahran

Membaca dan menulis merupakan pembeda antara manusia dengan hewan