Majalahnabawi.com – Dewasa ini, studi ilmu hadis terus dikembangkan oleh para cendekiawan muslim, khususnya di Indonesia. Salah satu dari bentuk pengembangan ilmu hadis itu sendiri adalah munculnya istilah Living Hadis yang menggeser konsentrasi kajian hadis. Sebelumnya seputar teks hadis saja kemudian menjadi kajian terhadap aspek kontekstualisasinya dalam masyarakat. Mulai pada abad 21, studi Living Hadis ini mulai akrab dengan beberapa pendekatan yang melibatkan ilmu-ilmu sosial. Salah satu kolaborasi itu adalah pendekatan antropologi yang berusaha memahami manusia dari sisi kebudayaannya. Tentunya ‘keakraban’ ini tidak lepas dari pengaruh eksistensi wacara Islam kritis pada 1970-an yang mengadopsi pemikiran-pemikiran yang tidak jauh dari beberapa kecenderungan, mulai dari ilmu-ilmu sosial kritis Anglo-Amerika hingga post strukturalis.

Diskursus Living Hadis

Studi Living Hadis pada umumnya terfokus kepada berbagai macam bentuk respons masyarakat terhadap hadis. Persepsi mereka terhadap hadis, pemahaman, serta bagaimana kemudian mereka mengimplementasikan nilai-nilai hadis tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Living Hadis secara sederhana adalah fenomena munculnya pola-pola perilaku di masyarakat yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW. sebagai salah satu bentuk respons umat Islam dalam berinteraksi dengan hadis-hadis Nabi SAW. Namun Living Hadis juga dapat dipahami sebagai proses internalisasi hadis ke arah pencapaian cita-cita ideal untuk menjadikan hadis sebagai pedoman hidup yang selalu hidup. Sehingga Living Hadis tidak hanya berkaitan erat dengan pola perilaku umat, tetapi juga merupakan pengaruh signifikan hadis terhadap kondisi dan usaha pencapaian cita-cita umat itu sendiri.

Namun, istilah Living Hadis sebenarnya tidak terlepas dari diskursus “Living Sunnah” yang sudah lama diperkenalkan sejumlah sarjana. India dan Pakistan menjadi kawah candradimuka dalam diskusi penting hadis dan sunah pada tahun 1960-an, bahkan jauh sebelumnya di akhir abad ke-19. Rahman termasuk salah satu ilmuwan yang mencoba menawarkan gagasan Living Sunnah sekitar tahun 1962. Ia adalah salah satu penyumbang utama bagi peninjauan ulang tradisi Islam tersebut. Ia berusaha mendefinisikan ulang sunah. Baginya, sunah tidak hanya sebagai contoh normatif Nabi, tetapi juga sebagai interpretasi kolektif komunitas Muslim tentang teladan Nabi. Ia tidak statis, tetapi tumbuh dan berkembang. Sunah dalam pengertian ini mewakili interpretasi, elaborasi, dan penerapan umat Islam akan sunah Nabi dalam situasi spesifik. Sebagai anugerah dari contoh Nabi, kemudian mengambil contoh itu, tetapi formulasi spesifiknya merupakan karya kaum Muslim sendiri.

Konsep Sunah

Bagi Fazlur Rahman dalam penelitiannya yang berjudul Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early Period, hadis terbentuk sesudah sunah, bukan sebelumnya. Hadis merupakan refleksi dan dokumentasi verbal “sunah yang hidup” (living sunnah) dalam masyarakat, sehingga hadis tumbuh sejajar dengan sunah. Di sini, Rahman berusaha membedakan hadis dan sunah secara tegas. Ia percaya pada tesis Goldziher dan Schacht bahwa hadis sebenarnya tidak selamanya mengenai ucapan Nabi. Hadis berasal dari proses kreatif para ulama dalam menyalurkan otoritas kenabian untuk membimbing umat. Ia lalu diproyeksikan ke belakang, ke titik labuhnya yang paling alamiah, yaitu Nabi Saw.

Istilah Living Hadis adalah sebuah terminologi baru dalam ranah kajian hadis di Indonesia. Hal tersebut setidaknya di awal tahun 2000-an belum ada. Kajian yang ada atas hadis cenderung hanya terkait erat dengan ilmu hadis, kajian kitab-kitab hadis dan pemaknaannya saja. Ragam penelitian dalam konteks tersebut sering kali tidak menghasilkan data baru. Hal ini karena kajian-kajian yang ada berbasis teks dan belum mengintegrasikan dengan keilmuan lain seperti ilmu sosial kemasyarakatan dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, hasil kajian atas fenomena penelitian tersebut sering menumpuk di perpustakaan dan tidak terpublikasikan. Pada awal abad ke-21 kajian hadis yang awalnya monoton karena hanya berkutat di sekitar teks (sanad dan matan hadis) mengalami perkembangan dengan adanya kajian Living Hadis, yaitu suatu kajian yang membahas mengenai kontekstualisasi hadis di masyarakat menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora atau lebih spesifiknya pendekatan antropologi. Kajian ini berusaha mengungkap fungsi dan makna hadis dalam pemahaman masyarakat muslim sebagai amal kesehariannya.

Interaksi Hadis dalam Masyarakat

Jajang A. Rohmana dalam jurnalnya yang berjudul “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Living Hadis di Indonesia”, menyebutkan beberapa praktik atau tradisi masyarakat yang bersumber dari al-Quran ataupun hadis nabi. Seperti adanya hadis tentang perintah berdoa, aqiqah dan sedekah. Tradisi masyarakat dalam meresapi makna dari hadis tersebut adalah dengan mengadakan doa 4 atau 7 bulanan sebagai acara salametan saat hamil, anjuran membaca Surat Yusuf atau Maryam saat sedang hamil, acara barzanji, marhabanan, dsb. Contoh lainnya adanya tradisi ifthar berjamaah, I’tikaf berjamaah, pembacaan takbir keliling di malam hari raya juga merupakan resapan dari hadis-hadis fadhilah amalan di bulan Ramadhan.

Hadis nabi sebagai salah satu syariat agama melahirkan berbagai macam pemahaman dan praktik sesuai dengan lingkungan atau budaya setempat. Adanya perbedaan ini karena kaum awam atau abangan kesulitan dalam memahami hadis nabi secara tekstual, sebab itu para ulama setempat menerjemahkan hadis atau al-Quran ke dalam kegiatan sosial yang berkembang secara turun temurun.

Dengan demikian, meskipun studi Living Hadis terbilang baru, eksistensi dari ilmu ini mampu meningkatkan antusiasme kajian hadis di Indonesia. Mengingat selama ini kajian hadis cenderung “sepi” jika dibandingkan dengan studi keislaman lainnya. Sebab kajian Living Hadis juga penting guna memenuhi kebutuhan masyarakat akademik dalam melakukan inovasi dalam kajian keislaman. Sehingga ilmu ini perlu mendapatkan apresiasi.