ramadan

Ketika mengarungi kehidupan sehari-harinya yang penuh dengan lika-liku, manusia tidak bisa lepas dari perbuatan salah dan keliru. Karena sebagai makhluk sosial, manusia terus berinteraksi. Nah, dengan berdialektika dengan orang lain inilah perbuatan ‘salah’ tidak bisa terelakkan lagi. Dengan saling memaafkan, maka seorang manusia akan memulai babak baru, lantaran semua dosanya–kaitannya dengan hak-hak manusia–telah termaafkan pada hari yang fitri ini. Sedangkan dosanya terhadap Allah (haqqullah) telah paripurna dalam bulan suci Ramadan.

Mengutip ungkapan sastrawan asal Italia, Dante Alighieri, bahwa hidup manusia itu mengalami tiga fase, yaitu; Pertama paradiso (dimensi kesucian), kedua inferno (dimensi kehinaan), dan ketiga purgatorio (sterilisasi) yang dimaksud dengan paradiso adalah pada hakikatnya manusia itu diciptakan oleh Allah dalam keadaan suci. Setelah itu karena selain sifatnya yang lemah, manusia juga gampang terjerumus dalam jurang kemaksiatan. Dalam ranah inilah manusia mengalami fase inferno.

Untuk bisa kembali ke level paradiso, seorang manusia harus mensucikan dirinya lagi pada fase purgatorio, fase ini bagi umat Islam tak lain adalah bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya terdapat rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari api neraka.

Menurut sebagian ulama, sesungguhnya di dalam bulan Ramadan dilakukan pembakaran dosa (manusia) selama satu bulan penuh, kemudian disempurnakan dengan membayar zakat pada hari-hari terakhir puasa, dan ditutup dengan adanya Idul Fitri. Dan ini merupakan saat dimana manusia telah kembali lagi kepada fase kesucian (paradiso).

Menurut penulis, masyarakat Indonesia adalah contoh paling baik, ini terlihat ketika arus mudik tiba. Para pemudik berjubel memadati stasiun, terminal, bahkan bandara pun ikut penuh. Mereka rela berdesak-desakan, bahkan sampai rela menginap di stasiun atau terminal. Fenomena ini memaksa kita untuk membaca betapa luhur antusias mereka untuk segera menginjakkan kaki mereka di kampung halamannya. Tujuan mereka hanyalah satu-selain temu kangen untuk bisa saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan.

Untuk menyelami relung-relung Idul Fitri, juga bisa ‘dirangsang’ dengan arti yang sepadan dengannya, yaitu dengan menyandingkan fitrah yang berasal dari Bahasa Arab dengan nomenklatur Lebaran yang merupakan  wacana produk asli Indonesia. Lebar disarikan dari bahasa Jawa yang berarti selesai artinya seorang muslim telah selesai dari kewajibannya mengerjakan ibadah puasa dan membayar zakat.  Sehingga pahala dan berkahnya diharapkan meningkat menuju nilai lebur, hancur dan impasnya dosa-dosa makhluk di hadapan Sang Khalik (Pencipta).

Lebaran, muaranya menjadi wahana efektif dan signifikan dari sebentuk dialektika sosial khas Jawa, “mangan ora mangan asal kumpul”. Bukan makan yang menjadi term mayor (utama). Tetapi berkumpulnya keluarga itulah yang utama. Meski tidak dipungkiri, dalam berkumpul pasti ada makan atau pesta.

Sudah menjadi suatu tradisi ketika berlebaran untuk saling silaturahmi dari rumah satu ke rumah yang lain, dan biasanya makanan yang  paling sering dihidangkan, bahkan menjadi “syarat sah” lebaran adalah ‘ketupat’. Idul Fitri dan ketupat ibarat dua sisi logam yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berhubungan. Sebagai hasil produk sejarah yang bisa dibaca lewat waktu dan tempat, tentunya ketupat mempunyai sebuah nilai filosofis.

Ketupat merupakan simbol permintaan maaf dan simbol menjalin tali silaturahim. Pada saat lebaran ketupat, siapa saja yang datang dan bertamu akan disambut dengan aneka makanan dengan sajian ketupat. Di Jawa ketupat dihidangkan dengan lepet yakni makanan terbuat dari ketan dan kelapa, kadang-kadang ditambahkan dengan kacang tanah, dibungkus juga dengan janur tetapi cara membungkusnya berbeda degan kupat.

Janur dilipat secara memanjang dimana adonan ketan diletakkan di tengah-tengahnya, kemudian diikat dengan tali bambu secara melingkar. Yang kemudian kupat (ketupat) dan lepet tersebut dibagi-bagikan kepada sesama tetangga.

Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Janur artinya sejatine nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadan. Jadi, makna dari lebaran ketupat adalah kesucian lahir batin yang  dimanifestasikan dalam tujuan hidup yang esensial.

Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip  “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah SWT. Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu ammarah atau nafsu emosional, lawwamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah atau nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainnah atau nafsu untuk memaksa diri.

Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.

Ketupat juga disajikan dalam tradisi Lebaran ketupat yang diselenggarakan tepat pada hari ke tujuh bulan syawal dengan tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan berhari raya Idul Fitri, yaitu saling memaafkan dan bersilaturahim. Beragam cara dan sebutan menandai berakhirnya pelaksanaan puasa sunnah di bulan Syawal. Setelah berakhirnya puasa di Bulan Ramadan, lebaran ketupat atau yang dikenal dengan istilah lain syawalan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia dari masa ke masa hingga sekarang ini.

Lebaran ketupat  juga dimaknai sebagai bentuk hasil akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam, sebutan lebaran ketupat memang tidak terdapat dalam ajaran Islam. Tidak banyak penelusuran sejarah yang pasti kapan tradisi ini dimulai namun demikian banyak kalangan menyebutkan jika tradisi lebaran ketupat berasal dari kebudayaan orang Jawa tepat sejak pemerintahan Paku Buwono IV yang juga dipercayai sebagai peninggalan ajaran dari Sunan Kalijaga kemudian tradisi ini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara yang dibawa oleh orang Jawa sehingga menjadi tradisi di Indonesia dan kini di hampir tiap daerah terdapat tradisi yang sejenis dengan tradisi lebaran ketupat.

Syawalan atau lebaran ketupat dilaksanakan dengan beragam tradisi, ada yang membuat ketupat dan lepet kemudian dibagi-bagikan kepada tetangga dan kerabat, ada pula di sekitar daerah Jawa Tengah dengan berlibur ke pantai beramai-ramai yang disebut dengan lomban. Tradisi ini tidak boleh dianggap sebagai kewajiban agama karena tidak ada satu sunnah pun yang mewajibkan atau menganjurkan tradisi semacam ini.

Berbagai varian penyambutan hari raya Idul Fitri hanyalah bentuk ekspresi syukur dan bahagia umat Islam dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Selayaknya umat Islam tidak menjadikannya sebagai kewajiban agama yang sampai memberatkannya.

Menghukumi sesuatu yang dilarang atau dianjurkan dalam agama bukan berdasarkan atas nama perbuatan tersebut tapi substansi perilaku yang dilakukan seseoranglah yang perlu dihukumi. Lebaran ketupat dengan beragam pengekspresiannya adalah nama perbuatan dan bukan substansinya.

Kita dapat mengatakan bid’ah nama tradisi tersebut tapi setelah melihat substansi yang ada di dalam nama itu. Jika tradisi lebaran ketupat itu bersubstansikan hal-hal yang dianjurkan oleh Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. seperti dengan bersilaturahim, bersedekah, saling memaafkan dan bentuk ekspresi rasa syukur kepada-Nya, maka hal ini tidak dilarang. Namun jika lebaran ketupat ini diisi dengan kegiatan yang negatif  berbau syirik dan kemaksiatan, tentulah hal ini dilarang oleh syariah. Allahu A’lam.

By Annisa Nurul Hasanah

Alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Pegiat Kajian Hadis di el-Bukhari Institute