alat musik nyanyi

Majalahnabawi.com – Umat Islam berbeda pendapat dalam permasalahan hukum musik atau nyanyian, baik dari ulama terdahulu maupun pada saat sekarang, baik dari karya-karya yang membahas secara minimalis dalam sebuah bab atau sub bab maupun dalam sebuah buku yang membahas secara komprehensif. Dan hasilnya ada sebagian ulama yang mengharamkannya dan ada juga sebagian yang membolehkannya. Terdapat banyak dalil dan argumen dari kedua belah pihak terkait hukum musik atau nyanyian ini, baik itu dari al-Quran ataupun hadis dan lain sebagainya. Salah satu yang menjadi dalil para ulama yang mengharamkannya ialah merujuk pada QS. Luqman ayat 6

وَمِنَ النَّاسِ مَن یَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِیْثِ لِیُضِلَّ عَنْ سَبِیْلِ اللهِ بِغَیْرِ عِلْمٍ وَّیَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُولَـٰئِكَ لَهُمْ عَذَابࣱ مُّهِيْنٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”

Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut, baik dari ulama klasik maupun ulama kontemporer memberikan penafsirannya tentang ayat tersebut yang menjadi landasan dalil beberapa ulama terkait keharaman musik atau nyanyian. Perbedaan ini terjadi karena al-Quran tidak menjelaskan perihal musik secara eksplisit, termasuk pada contoh ayat tersebut (QS. Luqman : 6). Oleh karena itu, tidak heran jika pendapat atau tafsiran dalil-dalil al-Quran terkait musik terdapat perbedaan pendapat. Pada tulisan singkat ini, penulis akan mencoba sedikit memberikan penjelasan tentang “tafsir ulama klasik terkait keharaman musik dalam QS. Luqman: 6”

Asbab al-Nuzul

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan terkait asbab al-nuzul ayat tersebut. Di antaranya al-Wahidi dalam kitabnya “Asbab al-Nuzul” mengutip dari riwayat Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut turun pada seorang laki-laki yang membeli seorang budak perempuan untuk menjadi biduanita. Imam al-Alusi menjelaskan tentang hal itu dalam kitab tafsirnya “Ruh al-Ma’ani” dari riwayat Juwaibir dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa ayat ini turun tentang al-Nadhr bin Harits yang membeli biduanita. Setiap kali ia mendengar seseorang yang hendak masuk Islam, ia membawanya ke salah satu biduanitanya dan mengatakan, “beri ia makan dan minum serta nyanyikan lagu untuknya!” Ia berkata pula, “ini lebih baik dari apa yang diserukan oleh Muhammad berupa shalat, puasa dan berperang membelanya”.

Dalam kitabnya juga al-Wahidi memberikan riwayat lain terkait asbab al-nuzul ayat tersebut. Dari Abi Umamah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal mengajarkan biduanita, dan tidak juga menjual belikannya, dan hasil jual beli mereka haram.” Sehubungan dengan itu Allah Swt menurunkan ayat tersebut (QS. Luqman : 6). Selain dari riwayat yang telah disebutkan, masih ada riwayat-riwayat lain terkait asbab al-nuzul ayat tersebut.

Tafsir Lughawi

Secara bahasa, kata يَشْتَرِيْ artinya “membeli”. Terkait makna kata tersebut pada ayat ini, Ibnu Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan bahwa kata tersebut bisa bermakna sharih (jelas) atau kinayah (kiasan). Sharihnya seperti cerita al-Nadhar bin Harits yang telah disebutkan tadi, dan kinayahnya maksudnya ialah jeleknya orang yang berkumpul dengan orang yang sibuk dengan lahw al-hadits (hiburan, nyanyian, dan sebagainya).

Adapun kata لَهْوٌ (hiburan) secara bahasa ialah “sesuatu yang dapat membuat orang senang.” al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf memberikan makna terkait kata tersebut yaitu, “Segala perbuatan bathil yang dapat mengalihkan dari kebaikan dan dari apa yang dituju/dikehendaki.” Sedangkan terkait kata لَهْوُ الْحَدِيْث pada ayat tersebut, Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran disebutkan dari Abu al-Sahba al-Bakri mendengar Ibnu Mas’ud saat ditanya tentang makna ayat tersebut (QS. Luqman : 6). Maka Ibnu Mas’ud menjawab bahwa yang dimaksud adalah nyanyian. Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah nyanyian dan sejenisnya (dalam riwayat lain disebutkan “bernyanyi/mendengarkan nyanyian”). Sedangkan Qatadah berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah segala hiburan dan permainan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Quran al-Azhim mengutip perkataan al-Hasan al-Bashri yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah nyanyian dan seruling (musik). Ada banyak riwayat yang menyebutkan hal semakna terkait ayat tersebut, seperti Jarir, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Makhul dan lainnya.

Dari riwayat lain disebutkan bahwa yang dimaksud ialah syirik, seperti riwayat dari Ubaid mendengar al-Dhahak berbicara tentang ayat tersebut bahwa yang dimaksud ialah syirik. Dan Ibnu Zaid berkata bahwa maksud ayat tersebut ialah orang orang kafir. Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil mengutip perkataan Ibrahim al-Nakha’i, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Pendapat lain mengatakan, “Nyanyian adalah ruqyahnya (jampi) zina.” Sedangkan menurut pendapat lain yang dimaksud dengan ayat tersebut ialah membeli budak-budak perempuan untuk bernyanyi.

Tafsir al-Fiqh

Jika yang dimaksud ayat tersebut berbicara tentang nyanyian, maka nyanyian yang seperti apa yang diharamkan? Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran bahwa yang dimaksud dengan nyanyian ialah nyanyian yang biasa (masyhur) dinyanyikan orang-orang. Yaitu nyanyian yang menggerakan nafsu dan membangkitkan hawa dan cumbu rayu, serta candaan yang menggerakan yang diam dan mengeluarkan yang tersembunyi (muncul aib-aib). Jenis ini apabila dalam syair menyebutkan wanita dan sifat-sifat kecantikannya, menyebutkan khamer dan hal-hal yang diharamkan yang mana tidak ada perbedaan pendapat tentang keharamannya. Karena itu (yang disebutkan) adalah lahw (perbuatan sia sia), maka disepakatilah bahwa nyanyian itu tercela. Adapun nyanyian yang selamat dari hal tersebut maka boleh sedikit melakukannya (nyanyian) dalam masa-masa bergembira seperti pernikahan, hari raya, dan ketika digunakan untuk menyemangati beramal yang berat seperti saat menggali parit.

Pendapat Para Imam Madzhab Yang Dikutip Imam al-Qurthubi

Imam malik bin Anas ditanya tentang nyanyian yang dibolehkan oleh sebagian orang orang Madinah, dan beliau menjawab: “Yang melakukan itu (nyanyian) menurut kami hanyalah orang-orang yang fasik.”

Madzhab Abu Hanifah walaupun membolehkan minum nabidz, namun beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarkan nyanyian termasuk dosa.

Imam Syafi’i berkata: “Nyanyian itu dibenci dan menyerupai hal yang bathil, dan barang siapa yang memperbanyaknya (nyanyian) maka dia orang bodoh yang ditolak persaksiannya.”

Sedangkan dari madzhab Ahmad bin Hanbal tidak ada keterangan tegas tentang hal tersebut, bahkan dalam riwayatnya membolehkan (nyanyian). Namun yang dimaksud dibolehkan adalah qashidah zuhud (syair yang berisi tentang hal-hal zuhud).

Kesimpulan

Ulama berbeda pendapat terkait hukum musik atau nyanyian. Dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit boleh atau haramnya musik. Oleh karena itu, terjadi perselisihan dalam memahami atau menafsirkan ayat tersebut (QS. Luqman: 6). Lantas bagaimana pandangan atau pendapat yang benar terkait hal tersebut?  Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya, “Pandangan yang benar dalam hal ini adalah segala perkataan yang menggangu atau menghalangi dari jalan Allah, dan apa-apa yang dilarang Allah atau Rasul-Nya. Karena Allah menyebutkannya dengan lafazh yang umum dan tidak mengkhususkannya kepada sesuatu, baik itu nyanyian, syirik dan sebagainya.” Imam al-Razi juga berkomentar dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib terkait ayat tersebut, “Meninggalkan hikmah/kebijaksanaan dan sibuk dengan percakapan lain itu buruk (tidak baik). Tapi jika percakapan tersebut untuk hiburan dan tidak ada menfaatnya maka itu lebih buruk.”

By Abdur Rahim

Mahasantri Darus-sunnah International Institute for Hadith Sciences