Menjadi Tamu Allah di Baitullah

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya:

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S. Alu Imran: 97)

Perintah menjalankan ibadah haji dimulai dengan kata ‘wa lillahi’, yang berarti dan “hanya karena Allah saja”. Ini sungguh sangat spesial dan unik, karena ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya, tidak dalam model perintah semacam ini. Hal ini menyiratkan bahwa menjalankan ibadah haji ke Baitullah terasa begitu berat, penuh ujian dan banyak godaan, sehingga amat sangat mungkin sekali tereliminasinya kata ‘wa lillahi’ ini dari hati dan fikiran seseorang ketika akan maupun sedang menjalankan ibadah haji.

Siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya dan darimanapun asalnya mungkin bisa datang dan berkunjung ke Baitullah. Akan tetapi, ketika sampai ke Baitullah, belum tentu ia dianggap sebagai Tamu Allah Swt, atau yang biasa disebut dengan Dhuyufur Rahman. Yang demikian itu, sebab dinamika problem keistiqamahan kata ‘wa lillahi’ dalam sanubarinya. Ketika kata ‘wa lillahi’ bersemayam dalam diri seseorang, maka ia akan termanifestasi dalam wujud sikap ikhlas, sabar, senyum, tawadhu’ dan bertatakrama, sebagaimana seorang tamu yang sedang bertamu ke tempat orang yang sangat dihormati dan diseganinya.

Dengan berbekal kata ‘wa lillah’ ini, seseorang datang bertamu ke Baitullah. Sehingga, apapun aturan dan tata-krama yang ditetapkan oleh Allah Swt, maka ia akan ikhlas dan sabar menaatinya. Di antara tata-krama bertamu ke Baitullah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw adalah, sebagaimana sabdanya:

(مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّه (رواه مسلم في صحيحه

Artinya:

Barangsiapa datang berkunjung ke Baitullah, lalu ia tidak melakukan hubungan suami – istri (ar-rafast) dan berbuat keji  dan kedurhakaan (al-fisq), maka ia akan kembali (ke rumahnya) dalam keadaan suci sebagaimana ia saat dilahirkan oleh ibunya. (H.R. Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya).

Ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh seseorang yang datang berkunjung ke Baitullah, yaitu: Pertama, tidak boleh melakukan ar-rafats, yakni: mayoritas ulama menafsiri kata ar-rafats dengan arti melakukan hubungan suami-istri. Lebih daripada itu, ahli bahasa dan sastra Arab Imam Al-Azhari mengatakan bahwa ar-rafast  ini adalah kalimah jami’ah li kulli ma yuriduhu ar-rajul minal mar’ah, artinya mengandung makna umum yang mencakup keseluruhan hal-hal yang diinginkan oleh lelaki dari perempuan. Jadi, baik fikiran, perkataan maupun perbuatan yang mengarah pada bahasa ataupun makna seksualitas dapat dikategorikan sebagai tindakan al-rafast ini.

Kedua, tidak boleh melakukan ke-fasiq-kan (al-fisqu), yakni: menurut ahli bahasa dan sastra Arab Imam Al-Fairuuz Abadiy menyatakan bahwa al-fisqu  itu berarti at-tarku li amrillah, al-‘ishyan, wal khuruj ‘an thariiqil haqqi awil fujuur, artinya meninggalkan perintah Allah Swt, berlaku maksiat, keluar dari jalan kebenaran, atau melakukan kedurhakaan. Dengan demikian, sikap ikhlas dan sabar harus selalu jadi bekal sekaligus alas untuk selalu melakukan introspeksi diri dan mawas-diri agar tidak jatuh pada perbuatan al-fisqu ini.

Inilah dua hal tata-krama, untuk menjadi Tamu Allah Swt di Baitullah. Apabila kedua hal ini tidak ada pada diri seseorang tersebut, maka ia hanya bagaikan seorang Turis yang sedang menonton sebuah keramaian saja. Seperti diketahui, bahwa ada banyak macam-macam ‘model’ orang dari seluruh penjuru dunia yang datang berkunjung ke Baitullah, sebagaimana Allah Swt berfirman:

 وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Artinya:

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Q.S. Al-Hajj: 27).

Datang dari tempat yang jauh, bercucur keringat dan keluh-kesah, kondisi ekonomi yang seadanya dan masa berdesak-desakan yang menggelisahkan, kemudian sampai ke Baitullah hanya sebagai Turis yang menonton suatu pertunjukan ritual, tentu hal ini sangat merugikan. Serta, keberadaannya di Baitullah tidak dianggap apa-apa oleh Allah Swt, sehingga ritual dan doa apapun yang dipanjatkannya menjadi sia-sia belaka, Oleh sebab itu, maka harus dipahami bahwa label sebagai Tamu Allah Swt atau Dhuyufur Rahman bukanlah stempel-gratisan yang mudah didapat dan otomatis, tetapi ia adalah niat serta kegigihan usaha untuk istiqamah menjaga kata ‘wa lillah’ di hati dan fikirannya serta menjauhi hal-hal apapun yang berkaitan dengan al-rafast dan al-fisqu.

Sehingga, selanjutnya sang Dhuyufur Rahman ini berhak mendapatkan tiga balasan atau anugrah dari Allah Swt, sebagaimana sabda Nabi Saw berikut:

(الْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، يُعْطِيهِمْ مَا سَأَلُوا، وَيَسْتَجِيبُ لَهُمْ مَا دَعَوْا، وَيُخْلِفُ عَلَيْهِمْ مَا أَنْفَقُوا الدِّرْهَمَ أَلْفَ أَلْف (رواه البيهقي في شعب الإيمان

Artinya:

Orang-orang yang menjalankan ibadah haji ataupun umrah adalah Tamu Allah Swt. Sehingga, Allah Swt pasti akan memberikan apapun yang mereka minta, mengabulkan apapun doa-doa mereka, dan mengganti apapun yang dibelanjakan mereka; satu dirham diganti dengan satu juta dirham. (H.R. Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman).

Anugerah pertama, yu’thihim ma sa’alu, artinya apapun yang diminta, pasti diberikan oleh Allah Swt. Hal yang pertama dan utama diminta oleh orang yang berkunjung ke Baitullah adalah ampunan atas dosa dan kekhilafannya, lalu meminta ridho dan rahmat Allah Swt agar selalu terlindungi dan terberkahi kehidupannya. Dengan mendapatkan ampunan-Nya, seorang hamba akan bersih dan suci bagaikan bayi yang baru lahir dari seorang ibu (kama waladathu ummuh). Begitupula, dengan mendapatkan ridho dan rahmat-Nya, seorang hamba akan mendapatkan kebahagian lahir-batin serta penghargaan dari manusia sekitarnya.

Anugerah kedua, yastijibu lahum ma da’au, artinya apapun doa yang dipanjatkan, pasti dikabulkan. Sebelum berangkat mengunjungi Baitullah, seorang hamba pasti mempunyai segala macam doa-doa dan permohonan yang hendak di-lafaldz-kan di sana. Di antara doa-doa tersebut, ada yang berasal dari keinginan dan maksud pribadinya, ataupun ada juga dari titipan doa para sanak-saudara, keluarga, handaitolan ataupun para teman karib. Kemudian doa-doa tersebut diadministrasi list-list-nya, diniatkan dalam hati dan dibacakan seluruhnya di Baitullah. Sehingga, anugrah yang kedua ini menempati urgensitas yang amat tinggi. Tentunya, segala kelelahan dan kesulitan dalam menuju Baitullah berasa terbayarkan, apabila semua doa-doa dan permohonannya tersebut dikabulkan.

Anugrah ketiga, yukhlifu ‘alaihim ma anfaqu ad-dirham alfa alfin, artinya Allah Swt pasti akan mengganti apapun yang telah dibelanjakan untuk sampai ke Baitullah; setiap dirham yang dibelanjakannya akan diganti satu juta dirham. Segala materi apapun yang telah dikeluarkan sebagai bekal, biaya dan lain sebagainya, Allah Swt menjanjikan kelipatan ganti yang sangat banyak. Pengganti dan kelipatannya bisa saja akan diberikan di dunia ataupun juga di akhirat. Terserah Allah Swt. Yakinlah, bahwa Allah Swt pasti akan memberikan yang terbaik untuk Tamu-Tamu-Nya.

Oleh sebab itu, apabila seorang hamba yang sedang menjalankan ibadah haji, lalu ia kehilangan ataupun kemalingan uangnya, maka seyogyanya ia meyakini janji Allah Swt ini dan tidak berkeluh-kesah kepada orang lain. Insya Allah, uang tersebut akan diganti dengan kelipatannya, melalui jalan yang tidak disangka-sangka. Yakinlah, Allah Swt sebagai ‘tuan rumah’ pasti bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi di tempat suci-Nya Baitullah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang yang akan menunaikan ibadah haji hendaklah menata niat serta berusaha menghujamkan kata lillahi ta’al (hanya karena Allah Swt saja) di hati dan fikirannya. Kemudian, secara istiqamah menjaganya dan merawatnya baik-baik untuk seterusnya. Sehingga ia layak disebut Dhuyufur Rahman atau Tamu-Tamu Allah Swt.

Sebagai tamu, seyogyanya seorang hamba menaati tata aturan dan tata karma yang digariskan oleh ‘Tuan Rumah’. Janganlah melakukan al-rafats maupun al-fisq, agar tetap dianggap sebagai Tamu yang baik. Allah Swt sebagai ‘Tuan-Rumah’ tentu akan menjamu dan bertanggungjawab atas apapun yang ada dan terjadi di Baitullah. Begitupula, Allah Swt tidak akan membiarkan Tamu-Tamu-Nya pulang dengan tangan hampa. Pasti, Allah Swt memberikan banyak anugrah kepadanya. Setidaknya ada tiga anugrah yang diberikan; yu’thihim ma sa’alu, yastijibu lahum ma da’au dan yukhlifu ‘alaihim ma anfaqu. Wallahua’lam bis shawab.

Similar Posts