Menyingkap Kemukjizatan Al-Quran dari Aspek Kebahasaan
Majalahnabawi.com Mukjizat merupakan kekuasaan Allah Swt yang diberikan kepada para nabi-Nya, sehingga para pengikut yang beriman semakin kuat imannya dan yang ingkar kepadanya akan kembali percaya dan mengikutinya. Mukjizat teragung yang diterima nabi Muhammad Saw yaitu berupa Al-Quran. Berbeda dengan mukjizat para Nabi terdahulu, para Nabi terdahulu diberi mukjizat yang hanya dapat diterima oleh kaumnya pada saat tersebut, mukjizat tersebut dinamai dengan Mukjizat Hissiyah atau indrawi. Sedangkan mukjizat nabi Muhammad Saw bersifat ‘aqliyah atau rasional. Oleh karena itu Al Quran dapat diambil manfaatnya sepanjang masa sampai hari akhir kelak.
Kemukjizatan al-Quran atau i’jaz al-Quran memiliki beberapa macam jenis, seperti i’jaz al-‘ilmi, i’jaz al-tasyri’, i’jaz al-bayani, dan lainnya. Namun, dari banyaknya jenis-jenis kemukjizatan. Tak sedikit orang yang kurang memahami itu. Maka penulis ingin mengkaji lebih tentang salah satu jenis mukjizat Al-Quran dalam aspek kebahasaan atau yang disebut i’jaz al-bayani.
I’jaz Bayani
Kata al-bayani berasal dari kata bayan yang memiliki arti penjelasan. I’jaz al-bayani merupakan kemukjizatan yang terdapat dalam struktur ayat-ayat dengan kalimat yang menarik dan indah yang tidak dapat ditiru atau ditandingi oleh siapapun, bahkan pakar bahasa sekalipun. I’jaz bayani merupakan elemen yang penting dibandingkan dengan i’jaz-i’jaz yang lainya karena Al-Quran diturunkan di kalangan orang arab yang terkenal dengan ketinggian ilmu sastra dan bahasa.
Menurut Ar-rumani, kemukjizatan Al-Quran yang paling tinggi terletak pada sisi balaghahnya. Ar-rumani mengatakan bahwa balaghah adalah suatu penyampaian makna ke dalam hati melalui gambaran dan lafal yang indah. Contoh mengenai keindahan gaya bahasa dalam Al-Quran adalah fawashil yaitu kemiripan dalam suku kata di akhir ayatnya. Contoh dari fawashil adalah firman Allah dalam Al-Quran surah At-Thur [52]:1-4
وَٱلطُّورِ ١ وَكِتَٰبٖ مَّسۡطُورٖ ٢ فِي رَقّٖ مَّنشُورٖ ٣ وَٱلۡبَيۡتِ ٱلۡمَعۡمُورِ ٤
Tala’um (Kersesuaian Nada Huruf)
Keindahan gaya bahasa tidak hanya fawashil saja, namun masih banyak beberapa jenis lainnya. Kita ambil salah satunya lagi yakni “talaum” yaitu persesuaian nada huruf sebagian dengan bagian lain dalam suatu kalimat, dan nada-nada kalimat itu sendiri berkaitan antara sebagian dengan sebagian yang lain dalam suatu kalimat. Begitupula dengan nada dari jumlah-jumlah itu berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Contohnya adalah lafal ayat-ayat Al-Quran yang selalu dalam nada rendah atau tenang, jika ayat-ayat tersebut berisi kabar gembira atau ajakan untuk menalar atau merenungkan suatu nasehat, tetepi nada ayat-ayat itu akan menjadi tinggi dan keras, apabila ayat tersebut berisi ancaman atau siksaan. Di antara contoh lafal yang mengandung tala’um adalah firman Allah dalam Qs. Ad-Dhuha:1-8
Contoh-contoh Tala’um
وَٱلضُّحَىٰ ١ وَٱلَّيۡلِ إِذَا سَجَىٰ ٢ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ ٣ وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ ٤ وَلَسَوۡفَ يُعۡطِيكَ رَبُّكَ فَتَرۡضَىٰٓ ٥ أَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيمٗا فََٔاوَىٰ ٦ وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ ٧ وَوَجَدَكَ عَآئِلٗا فَأَغۡنَىٰ ٨
Dalam ayat tersebut terasa sekali keselarasan antara bunyi nada huruf-huruf yang lunak/lemah dengan kandungan ayat yang berisi rahmat Allah yang begitu luas. Sedangakan contoh ayat yang memuat talaum dalam bentuk nada keras adalah Qs. Al-Haqqah:1-4
ٱلۡحَآقَّةُ ١ مَا ٱلۡحَآقَّةُ ٢ وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا ٱلۡحَآقَّةُ ٣ كَذَّبَتۡ ثَمُودُ وَعَادُۢ بِٱلۡقَارِعَةِ ٤
Dalam ayat yang berisi siksaan dan ancaman terasa sekali nadanya lewat pemakaian huruf-huruf yang bernada kuat/keras. Tala’um juga dapat berarti adanya kesesuaian antara pemilihan suatu kata dalam Al-Quran dengan makna yang diinginkannya seperti pemilihan kata ‘akala daripada iftarasa dalam firman Allah Qs.Yusuf[12]:17.
قَالُواْ يَٰٓأَبَانَآ إِنَّا ذَهَبۡنَا نَسۡتَبِقُ وَتَرَكۡنَا يُوسُفَ عِندَ مَتَٰعِنَا فَأَكَلَهُ ٱلذِّئۡبُۖ وَمَآ أَنتَ بِمُؤۡمِنٖ لَّنَا وَلَوۡ كُنَّا صَٰدِقِينَ ١٧
Para ulama dan ahli bahasa sangat tertegun dalam hal ketepatan diksi yang ditentukan dengan makna yang diinginkan seperti yang terdapat pada ayat di atas. Dipilihnya kata أكل ketimbang kata إفترس, padahal sudah dimaklumi bahwa srigala merupakan hewan pemangsa (حيوان مفترس) adalah untuk menunjukkan maksud yang diinginkan dalam informasi ayat tersebut, yaitu makan atau rencana jahat yang dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf terhadapnya.
Seandainya dipergunakan kata إفترس, yang berarti “menerkam”, maka pasti Nabi Ya’qub akan mempertanyakan bukti terkaman srigala tersebut. Karena kata “menerkam” mengandung konotasi adanya sisa dari pada seseorang atau sesuatu yang menjadi objek terkaman.
Sedangkan kata أكل yang berarti “memakan” justru memuluskan maksud dan rencana mereka, sehingga Nabi Ya’qub mempercayai alasan dan informasi yang mereka berikan, karena konotasi kata tersebut adalah terlahapnya seluruh objek makanan itu.