Sunat Perempuan
Majalahnabawi.com – Pada tahun 2007 di daerah Jawa Barat, tepatnya di pesantren As-Salam di adakan sunat masal perempuan. Saat itu terkumpul kurang lebih 120 perempuan, mulai dari usia balita sampai lansia. Mereka disunat dengan menggunakan gunting dan bagian klitoris yang di potong cukup besar, sehingga menimbulkan pendarahan yang cukup serius. Apakah benar syariat Islam mengharuskan sunat pada perempuan? Mari kita telaah bersama untuk lebih paham lagi tentang sunat perempuan, berikut ulasannya.
Asal-Usul Sunat Perempuan
Istilah sunat dalam Arab dibahasakan dengan kata khitan. Secara etimologis kata itu mengandung arti memotong. Berbagai variasi kitab fikih klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat adalah memotong kuluf [kulit pucuk] yang menutupi hasyafah [ujung kepala penis]. Adapun sunat perempuan dalam kosakata bahasa Arab dibahasakan dengan kata khifadh, yang diambil dari akar kata khafdh [memotong ujung klitoris pada vagina].
Sejumlah studi meneliti adanya sunat perempuan dilakukan pertama kali di Mesir sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan orang orang Romawi yang saat itu tinggal di Mesir. Data-data historis mengungkapkan, sunat perempuan telah dikenalkan dalam kitab suci Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa as untuk diimani dan ditaati orang-orang Yahudi dari bangsa Israel.
Dampak Sunat pada Perempuan
Secara psikologis sunat perempuan bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas di bagian genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks pada perempuan. Tapi, justru inilah yang nantinya berdampak buruk bagi perempuan. Sunat perempuan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan psikis dalam jangka pendek maupun panjang, tergantung seberapa tinggi tingkat ketahanan imun perempuan, kondisi lingkungan sosial dan psikologisnya. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak akan bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan dari sisi psikologis seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.
Secara fisik, dampak langsung sunat perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, syok, tertahannya urin, serta luga pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal, bahkan membawa resiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses [bengkak bernanah], keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan.
Dari pemaparan di atas, sunat pada perempuan lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Beda halnya dengan sunat pada laki-laki, sunat bagi laki-laki terbukti membawa manfaat dan kebaikan terkait dengan kesehatan dan kebersihan tubuhnya. Hal itu karena kulit yang terletak di ujung penis pada biasanya menjadi sarang penyakit. Dengan demikian tujuan sunat bagi laki-laki adalah menjadikan organ seksualnya lebih bersih, sehat, dan suci dari najis yang melekat. Selain itu, menjadikan laki laki lebih menikmati hubungan seksualnya ketika menikah nanti.
Dan oleh karena banyaknya unsur negatif dari sunat perempuan, masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk juga negara-negara Islam, sepakat menghapus tradisi sunat perempuan karena amat membahayakan kesehatan tubuh dan jiwa perempuan. Bahkan, dalam banyak kasus ditemukan sunat perempuan merupakan bentuk penghancuran kemanusiaan perempuan.
Larangan Sunat Perempuan
Sebagai contoh, di Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang keras pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk pada fatwa ulama Mesir tahun 2007 yang melarang sunat perempuan. Demikian pula di tingkat internasional, PBB melalui pasal 12 CEDAW [konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan] secara tegas melarang praktik sunat perempuan. Sunat perempuan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak anak dan hak seksualitas, serta hak dan kesehatan reproduksi perempuan. Sebagaimana dijamin dalam hak konvensi tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1990.
Sunat perempuan hendaknya dihentikan pelaksanaannya karena memberikan banyak dampak buruk pada perempuan. Praktik sunat perempuan dalam fakta lapangan menunjukkan timbulnya keudhorotan karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam menyatakan dengan tegas larangan untuk membahayakan diri sendiri. Segala perbuatan yang dapat mendatangkan bahaya pada kelangsungan hidup manusia harus dihapuskan. Alasan yang paling fundamental adalah di al-Quran sendiri tak dijumpai adanya ayat tentang sunat bagi perempuan. Lalu mengapa muncul pandangan bahwa Islam menganjurkan adanya sunat bagi perempuan? Pandangan itu berasal dari kitab fikih yang disandarkan pada beberapa jumlah hadis yang lemah (daif). Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berikut:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ [رواه احمد]
Dari Abul Malih bin Usamah dari Ayahnya bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Khitan itu hukumnya sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita.”
Dalam hadis tersebut ditegaskan dengan jelas bahwa hukum sunat bagi laki-laki adalah sunnah, bukan wajib. Namun, hukum tersebut bisa berubah kapan saja dengan sebab pengaruh situasi, kondisi dan domisili. Dan bagi perempuan sendiri sunat dihukumi mubah. Namun, sebagaimana sunat pada laki laki, hukum mubah tersebut bisa saja berubah dengan sebab pengaruh situasi, kondisi, dan domisili. Contohnya hukum mubah tersebut akan berubah status jadi hukum haram ketika sunat tersebut mendatangkan bahaya sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
Dengan demikian, kita harus terus mengelola dan menelaah hukum di lingkungan sekitar kita dengan sudut pandang yang sesuai dengan tujuan syariat. Tak hanya mengandalkan sebuah teks dan adat kebiasaan, melainkan harus memahami hukum dari berbagai literatur keilmuan. Agar tak salah dalam menjalani peribadatan yang ternyata menyalahi tujuan peribadatan itu sendiri. Wallahu a’lam
Sumber ; ensiklopedia muslimah reformis pokok pokok pemikiran untuk reinterpretasi dan aksi, karya musdah mulia.