majalahnabawi.com – Sesungguhnya hukum yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan dari sang pencipta alam semesta yakni Allah Swt. Sang pemilik kekuatan mutlak dan kekuasaan yang tak terbatas dalam mempertahankan atau mengubah hukum tersebut. Menciptakan air dari ketiadaan yang mutlak dan kemudian membuatnya memancar dari jari seorang manusia ini merupakan hal yang mustahil bagi sebagian manusia,  atau diluar nalar manusia. Namun dalam hal ini tidak berlaku bagi Allah Swt., yang mampu menjadikan hal di atas sebagai mukjizat kepada utusan-Nya, yakni baginda Nabi Muhammad Saw.

Mukjizat Menurut Akal Sehat

Dalam kasus ini, pikiran sehat yang akan membawa kepada keimanan terhadap Allah Swt., sang pemilik kekuatan mutlak, karena seorang yang memiliki akal sehat dan beriman kepada Allah Swt., tidak akan pernah menolak kemungkinan terjadinya peristiwa yang luar biasa ini. Karena mereka percaya bahwa hukum-hukum alamiah dan segala aturan yang ada pada alam semesta ini tunduk pada kehendak Allah Swt., dimana jika Allah Swt., berkehendak, maka ia hanya perlu berkata كن فيكون “jadilah Maka Jadilah”.

Penyangkalan Terhadap Kemukjizatan Para Nabi

Musthafa Muslim dalam kitabnya Mabahits Fii I’jaaz al-Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada orang yang menyangkal terkait terjadinya peristiwa luar biasa ini yang dialami oleh para Nabi dan Rasul kecuali dua golongan, yakni:

  1. Orang kafir yang menyangkal segala sesuatu yang tak bisa dirasakan oleh panca indra, dan orang ini ialah orang yang kafir terhadap hal yang gaib, dan ia mengatakan bahwa kita hanya hidup dan mati, yang menghancurkan kita hanya waktu. Orang seperti ini memerlukan proses pemikiran yang mendalam untuk beriman kepada Pencipta alam semesta, kehidupan, dan manusia.
  2. Orang yang percaya kepada tuhan yang tidak mampu mengendalikan alam semesta dan makhluk sesuai kehendaknya. Orang ini ialah yang menyembah kepada berhala, yang mana golongan ini selalu didorong oleh hawa nafsu dan keinginan mereka. Golongan ini masih membutuhkan pemahaman tentang esensi ketuhanan yang sejati dan sifat kesempurnaan tuhan yang mutlaq dan menjauhi pemikiran tentang kekurangan dan ketidakmampuan tuhan yang mana hal ini tidak pantas menjadi karakteristik ilahi.

Pandangan Filsuf Terhadap Mukjizat

Pengaruh materialis dari filsuf mempengaruhi ilmuan muslim kontemporer, dimana orang-orang tersebut berusaha untuk menjelaskan mukjizat secara materialis yang menganut kepada sebab-sebab dan hukum alam. Hal ini mengakibatkan tereduksinya makna dari suatu mukjizat dan menghambat indikasi kebenaran dan keistimewaan untuk membuktikan kebenaran seorang Rasul dalam menyampaikan pesan dan menerima wahyu dari yang Maha Tinggi.

Musthafa Muslim menyebutkan dalam kitabnya, bahwa para filsuf menafsirkan mukjizat dengan sangat materialis, seperti contoh terjadinya laut terbelah oleh nabi Musa as., merupakan kejadian pasang surut laut biasa, dan peristiwa burung ababil sebagai kawanan bakteri dan wabah penyakit menular. Pemikiran seperti ini merusak pokok keimanan kepada hal yang ghaib dan kepada sang Pencipta, dan mereka juga merusak pemikiran serta iman mereka.

Pandangan Musthafa Muslim

Namun dalam hal ini, Musthafa Muslim menyangkal dengan sebuah argumen bahwa logika tidak dapat menghalangi terjadinya suatu peristiwa luar biasa yang dialami oleh orang yang memiliki hubungan khusus dengan Allah sang pemilik kekuasaan yang tak terbatas. Karena orang yang dipilih oleh Allah Swt., untuk menyampaikan agama-Nya akan selalu dipermudah dan senantiasa didukung untuk mempermudah tugas para utusan-Nya dengan argumen dan bukti yang memperlihatkan keunggulan mereka terhadap lawan yang menentang mereka.

Mukjizat bukanlah tentang menunjukkan kelemahan manusia, melainkan mengaitkan kelemahan itu dengan kebenaran. Mukjizat al-Qur’an menegaskan bahwa segala ajaran berasal dari sang Pencipta, bahwa rasul adalah utusan-Nya yang membawa pesan-Nya, serta bahwa petunjuk yang diberikan adalah jalan keselamatan. Intinya, mukjizat menegaskan kebenaran klaim kenabian dan hubungan keterkaitannya dengan Allah sebagai sumber segala ajaran.

Hal yang sama juga terjadi kepada Nabi dan Rasul sebelumnya yang mengalami kejadian luar biasa, mukjizat ialah bukti kejujuran yang terwujud dari para Nabi dan Rasul, agar orang percaya pada mereka dan mengikuti semua petunjuk mereka. Karena tugas kenabian seorang nabi tidak sah tanpa adanya bukti atau dukungan berupa tanda. Karena dia tidak dibedakan dari seorang pembohong hanya dari penampilannya, perkataannya, atau hal lainnya, kecuali bukti yang terbukti melalui tangan mereka yang kemudian menjadi bukti kejujurannya. Mereka adalah utusan Allah Swt., yang diwahyukan kepada-Nya.

Penunjukan Allah Swt., atas mukjizat pada saat itu adalah pengakuan-Nya terhadap klaim tersebut, dan tidak mungkin bagi Allah Swt., untuk mendukung seorang pembohong. Karena mendukung seorang pembohong berarti membenarkan, dan membenarkan seorang pembohong adalah kebohongan, yang tidak mungkin bagi Allah Swt. Jadi, ketika mukjizat terjadi dan itu di luar kemampuan manusia, dan ketika perbandingannya dengan klaim kenabian, maka dengan pasti diketahui bahwa Allah Swt., hanya menampilkan mukjizat sebagai dukungan bagi orang yang muncul di tangan-Nya. Meskipun pengetahuan ini dapat dibandingkan dengan penolakan yang keras kepala.

Hal ini sejalan dengan ayat 79-80 surah Ali ‘Imran yang artinya: “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam? ” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 79-80).

Dengan begitu, Ayat ini mengajarkan bahwa diraihnya ilmu dan berlangsungnya taklim dan pengajaran mengharuskan setiap orang menjadi “insan robbani“, maka barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan hal itu tetapi tidak dengan maksud untuk meraih gelar itu maka segala usaha dan upaya yang ia keluarkan akan sia-sia, dan akan berakhir dengan kerugian dan celaka.