majalahnabawi.com – Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal tidak akan bisa terlepas dari tindakan berpikir. Namun ketika manusia berpikir seringkali terpengaruh oleh emosi dan sudut pandang pribadi. Hal ini menyebabkan ketidakjernihan dalam berpikir. Pada kasus seperti ini, ilmu mantiq dapat membantu manusia untuk mendapatkan formula berpikir yang benar. Sehingga orang tersebut akan selamat dari penalaran yang salah.

Ilmu Mantiq dalam Islam

Ilmu mantiq adalah sebuah cabang ilmu keislaman yang mempelajari prinsip logika dan penalaran. Dengan kata lain ilmu mantiq bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional dalam merumuskan dan mengevaluasi argumen. Ilmu logika mulai ada sejak filsuf sebelum Aristoteles. Ini di tandai dengan ungkapan Aristoteles yang mendapatkan teori silogisme logika dari filosof sebelumnya. Namun ilmu tersebut masih dalam bentuk global, tidak sistematis, dan penuh dengan ungkapan logis yang keliru. Sehingga Aristoteles kemudian mencoba membuat ilmu tersebut menjadi suatu ilmu yang sistematis, lengkap, tepat dan terperinci. Maka tak heran jika kemudian ia populer sebagai bapak logika.

Sementara itu dalam Islam, ilmu mantiq berkembang pada masa bani Umayyah. Menurut al-Qifthi, salah satu cara untuk menyebarkan ilmu tersebut ke masyarakat Islam adalah dengan cara penerjemahan. Namun, kedatangan ilmu mantiq di Islam mendapat bermacam tanggapan dari beberapa ulama. Ada yang apresiatif dan mengembangkannya lebih jauh, ada juga yang menolak dan menganggapnya bid’ah.

Pro-Kontra Ulama terhadap Ilmu Mantiq

Empat ulama muslim yang begitu apresitif sampai mengembangkan logika Aristoteles yakni al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Keempat tokoh ini berpendapat bahwa logika Aristoteles bisa mendukung ajaran-ajaran agama sehingga menjadi lebih baik lagi. Karena tujuan agama dan ilmu logika ialah sama-sama menerangkan tentang baik dan benar.

Namun di sisi lain, terdapat beberapa kritik terhadap ilmu logika dari beberapa ulama muslim seperti Ibnu Taymiyyah, Ibn Qayyim, al-Shan’ani, al-Suyuti, Ibn al-Shalah dan al-Subki. Para ulama ini kontra terhadap ilmu logika Aristotoles karena menganggap bahwa kekuatan akal hanya berfungsi untuk membenarkan dan tunduk kepada nash. Akal hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelasan dalil-dalil al-Quran, bukan menjadi hakim yang akan mengadili. Jika terdapat pertentangan antara keduanya, maka kesalahan ada pada akal dan wajib kembali kepada wahyu.

Dari kedua pendapat tersebut sebenarnya kembali lagi kepada diri kita masing-masing. Yang berpihak pada pengharaman ilmu mantiq karena berkiblat kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Di mana hal tersebut khawatir menimbulkan terjadinya penyimpangan akidah Islam bagi muslim yang belum kuat imannya. Namun sebaliknya, jika mantiq yang menjadi objek tidak bersentuhan dengan syubhat filsafat, maka tidak bisa menjadi alasan untuk pengharaman ilmu mantiq.

Pengaplikasian Mantiq dalam Ilmu Keislaman

Tentu saja ilmu mantiq membawa pengaruh terhadap ilmu keislaman. Di mana ilmu tersebut harus melalui tahap penganalisisan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu mantiq. Prinsip tersebut berupa silogisme, metode berpikir deduktif, metode berpikir induktif, dan analogi. Keempat prinsip tersebut diaplikasikan bersamaan dengan ilmu keislaman. Berikut contoh penerapan analis ilmu mantiq terhadap ilmu keislaman, yakni dalam ilmu penafsiran al-Quran:

Pertama, prinsip silogisme: Dalam penerapan kaidah tafsir, penggunaan silogisme memerlukan proses berpikir logis untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada.

Contoh:

a. Premis 1: Al-Quran mengajarkan bahwa memberikan sedekah adalah perbuatan terpuji.

b. Premis 2: Asbab al-Nuzul menunjukkan bahwa ayat sedekah ini turun sebagai respons terhadap kebutuhan orang-orang miskin di Madinah.

Kesimpulan: Oleh karena itu, al-Quran mengajak umat Islam untuk memberikan sedekah kepada yang membutuhkan, khususnya dalam situasi di masyarakat Madinah pada saat itu.

Kedua, prinsip deduktif: membantu membangun keseluruhan pemahaman tentang suatu tema dalam al-Quran, dimulai dari prinsip-prinsip umum menuju pemahaman yang lebih rinci dan kontekstual.

Contoh: Jika prinsip umum al-Quran adalah mendorong sikap keadilan, dan tema yang dipilih adalah hak-hak perempuan, prinsip deduktif akan membantu menarik kesimpulan bahwa hak-hak perempuan harus dijamin sebagai bagian dari prinsip keadilan Islam.

Ketiga, prinsip induktif: Dalam menafsirkan ayat al-Quran membutuhkan proses berpikir dengan cara mengumpulkan ayat yang sesuai dengan urutan, lalu ditafsirkan pokok kandungan ayatnya dan dikumpulkan lagi menjadi satu makna yang umum dengan menggunakan metode ijmali.

Contohnya: Kita dapat memulai dengan prinsip umum bahwa al-Quran mendorong keadilan. Kemudian, dengan mengumpulkan ayat-ayat yang membahas keadilan, kita dapat merinci pemahaman tentang konsep keadilan yang terdapat dalam al-Quran.

Keempat, analogi/qiyas: ilmu tafsir menggunakan qiyas untuk mencari unsur-unsur yang sama antara ayat, seperti pada metode tahlili yang memulai dengan mengungkapkan arti kosa kata, menjelaskan secara global, lalu diuraikan rinci berdasarkan kesesuaian antar ayat dan sebab-sebab turunnya ayat.

Contohnya: Ayat X menyebutkan bahwa hukuman harus sesuai dengan keadilan. Dengan menerapkan analogi/qiyas, kita dapat merinci konsep keadilan ini dengan melibatkan ayat-ayat lain yang membahas hukuman, seperti ayat Y yang memberikan panduan tentang hukuman dalam konteks kasus keadilan.

Dengan kata lain, ilmu tafsir menggunakan logika untuk merinci makna ayat al-Quran, menghubungkan unsur-unsur, dan menentukan hukum berdasarkan proses berpikir deduktif, induktif, serta menggunakan analogi.

Tentu saja ilmu mantiq tidak hanya berlaku untuk ilmu penafsiran saja. Namun juga bisa menjadi sebuah kaidah dalam berpikir suatu objek dan beberapa hal. Akan tetapi kita sebagai umat muslim penting untuk mengaplikasikan ilmu mantiq dengan bijak dan berhati-hati agar kita tidak melampaui batas dalam penalaran.