Prinsip Filsafat Stoa dalam Menyikapi Perkara yang Memengaruhi Kehidupan

Majalahnabawi.com – Ada dua topik yang akan memengaruhi kehidupan kita, baik kita tertarik kepadanya atau tidak: Uang dan Kesehatan. Sementara isu Kesehatan cenderung Individual, isu uang lebih sistematik. Di sistem yang saling terhubung, dimana keputusan satu orang bisa memengaruhi semua orang lain, bisa dimengerti mengapa resiko finansial disoroti dan mendapat perhatian lebih banyak daripada berbagai topik lain.

Kira-kira 300 tahun sebelum masehi atau sekitar 2.300 tahun yang lalu. Lahirlah aliran filsafat Stoisisme yang mana ajarannya masih bisa dipakai oleh siapapun dalam mempraktikkannya tanpa harus bergantung pada atribut-atribut, seperti kekayaan, prestasi akademis, inteligensi bawaan, warna kulit, suku karier, atau profesi.

Dikotomi Kendali

Some things are up to us, some things are not up to us” -Epictetus

Ada hal-hal yang di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita.

Dari kalimat Epictetus di atas terlihat begitu sederhana, begitu mudah dipahami. Namun apakah kamu benar-benar mengetahui? Sekedar pernah mendengar dan “merasa” mengetahui tidak sama dengan benar-benar “mengetahui”, yaitu benar-benar meresapi, mendalami isi kandungannya dan menerapkannya. Prinsip ini disebut “dikotomi kendali” (dichotomy of control). Maksudnya, ada hal-hal di dalam hidup yang bisa kita kendalikan, dan ada yang tidak. Hal-hal apa saja yang masuk dalam ke dalam kedua definisi ini menurut Stoisisme?

Hal yang tidak di bawah kendali kita:
1. Tindakan orang lain
2. Opini orang lain
3. Kesehatan kita
4. Kekayaan kita.

Di bawah kendali kita:
1. Pertimbangan, opini, atau persepsi kita
2. Keinginan kita
3. Tujuan kita
4. Segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.

Epictetus menjelaskan dalam buku Enchiridion, “hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat. Stoisisme mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “things we can control” dengan kata lain, kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari dalam. Sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan sejati pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Bagi para Filsuf Stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang di luar kendali kita, seperti perlakuan orang lain, status dan popularitas (yang ditentukan orang lain), kekayaan, dan lainnya adalah tidak rasional.

Paradoks Orang Terhadap Mobil

If you live according to what others think, you will never be rich” –Seneca

Mungkin kita baru menyadari ketika kita melihat seseorang mengendarai mobil yang sedang tren di zamannya, kita jarang berpikir, “wow, orang yang menyetir mobil itu keren.” Malah kita berpikir, “wow, kalau saya punya mobil itu, orang bakal pikir saya keren,” Disadari atau tidak, itulah yang dipikiran kita.

Ada paradoks di sana: kita cenderung ingin kekayaan memberi sinyal ke pihak lain bahwa kita harus disukai dan dikagumi (tidak dibawah kendali kita). Kenyataannya, orang lain sering tidak mengagumi kita, bukan karena mereka tak menganggap kekayaan harus dikagumi, melainkan karena menggunakan kekayaan kita sebagai patokan untuk hasrat mereka sendiri disukai dan dikagumi.

Terobosan dari Seneca

Seneca berkata bahwa kita yang hidup terus-menerus mengikuti pendapat/opini orang lain tidak akan pernah menjadi kaya. Kita bisa mengartikan quote di atas dalam dua cara. Yang pertama, hidup terus mengikuti opini orang lain, artinya kita tidak habis-habisnya mengikuti tren. Mengikuti tren artinya mengikuti opini orang orang banyak. Kalau kita terus-menerus harus mengikuti tren yang ada dengan membeli barang-barang dan makanan yang sedang populer, kapan kita nabung, berinvestasi, dan menjadi kaya?.

Yang kedua dari pernyataan Seneca adalah jika terus menerus membandingkan diri dengan pendapat, kita tidak akan pernah benar-benar merasa kaya, mungkin hanya terlihat kaya. Makna kedua ini sesuai dengan kalimat Seneca lainnya, “jika kamu hidup selaras dengan alam, kamu tidak akan pernah menjadi miskin.” Ingat bahwa “Alam” dalam Stoisisme lebih bermakna nalar manusia. Dengan kata lain, mereka yang hidup dengan nalarnya tidak akan pernah (merasa) miskin, dan bisa mengenal kata “cukup”.

Marcus Aurelius menjelaskan dalam bukunya Meditations “di manapun itu yang selaras dengan alam, kekuatan yang menguasai dalam diri kita memiliki pendekatan yang fleksibel terhadap keadaan, selalu mengadaptasi diri dengan mudah pada kepraktisan dan peristiwa yang terjadi. Ia tidak memiliki materi kesukaan untuk pekerjaannya, tetapi memulai objek-objeknya sendiri dengan cara yang kondisional.

Di sinilah pentingnya memahami bahwa “kendali” bukan hanya soal kemampuan kita “memperoleh” , tetapi juga “mempertahankan”. Begitupun dalam mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kita dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku kita.

Menabung Uang

Semua orang punya kebutuhan dasar. Kalau sudah terpenuhi, ada tingkat di atasnya, kebutuhan kenyamanan, hiburan, serta pencerahan. Namun di atas tingkat pendapatan tertentu, yang kita butuhkan hanyalah apa yang ada di bawah ego kita. Pikirkanlah seperti itu, dan kita jadi mengetahui satu cara paling dahsyat untuk menambah tabungan bukan dengan menambah pendapatan, melainkan menambah kerendahan hati. Jadi orang dengan keberhasilan keuangan yang tahan lama tidak mesti orang yang berpendapatan tinggi melainkan orang yang punya sikap acuh tak acuh apa pikiran orang lain terhadap dirinya.

Tabungan bisa diciptakan dengan pengurangan belanja. Kita bisa berbelanja lebih sedikit jika menginginkan lebih sedikit. Dan kita akan menginginkan lebih sedikit apabila kita mengurangi memusingkan apa yang dipikirkan orang lain mengenai kita.

Similar Posts