majalahnabawi.com – Di antara tokoh liberal Indonesia yang paling lantang dalam memperjuangkan LGBT adalah Siti Musdah Mulia, yang menghalalkan perkawinan sesama jenis pada makalah ringkasnya yang berjudul “Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”. Ia menulis:

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada prilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi) dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima”.[1]

Dalam suatu wawancara, ia mengatakan: “Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apapun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan tidak peduli apapun agamanya”.[2]

Penafsiran yang Keliru

Pendapat Musdah di atas mewakili akar pemikiran mereka yang mendukung legalitas LGBT dan menganggap bahwa LGBT tidak dilarang di dalam nash-nash al-Quran. Secara umum, setidaknya ada tiga dasar argumen para pegiat liberal dalam melegalkan LGBT:

1. Orientasi seksual termasuk LGBT adalah kodrat sejak lahir

Khoirul Anwar, peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dalam tulisannya “Dalil LGBT Dalam al-Quran” di situs islamlib.com menyebutkan bahwa dalam al-Quran tidak ada satupun ayat yang secara eksplisit menolak lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Demikian sebaliknya, tidak ada ayat yang secara terang-terangan memperbolehkannya. Karena itu setiap orang berhak untuk menggali makna yang lebih relevan dan humanis tentang persoalan yang kerap menuai pro dan kontra ini. Ia memandang bahwa al-Quran justru melegalkan LGBT dengan alasan bahwa orientasi seksual tersebut merupakan sifat bawaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Isra’: 84.[3]

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا

“Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (syakilatih) masing-masing”.[4]

Mereka menafsirkan ayat ini dengan berargumen bahwa keadaan/syakilatih disini juga termasuk kecendrungan seksual. Setiap orang punya kecendrungan masing-masing. Oleh sebab itu, bagi pendukung LGBT, homoseksual bukanlah gangguan jiwa maupun penyakit, namun hanya perbedaan orientasi seks semata, yang merupakan fitrah atau kodrat yang Allah berikan kepada setiap manusia sejak lahir.

2. Keberadaan anak muda di surga (wilnadun mukhalladun) adalah sebagai pelayan bagi kaum gay

Para pendukung LGBT mendasarkan argumen mereka dengan firman Allah:

وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُورًا

“Dan mereka dilayani oleh anak-anak muda lelaki yang tetap kekal (dalam keadaan mudanya), yang sentiasa beredar di sekitar mereka; apabila Engkau melihat anak-anak muda itu, nescaya Engkau menyangkanya mutiara yang bertaburan”.[5]

Khoirul Anwar dalam tulisannya juga memandang bahwa janji kehidupan surga kepada masyarakat Arab di masa Nabi Muhammad tidak hanya bidadari atau hunian yang di bawahnya mengalir sungai, tetapi disediakan juga anak-anak muda berwajah tampan. Ini erat kaitannya dengan kondisi dan imajinasi masyarakat masa itu di mana ada lelaki yang memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak muda tampan sehingga al-Quran menjanjikan demikian.[6]

3. Azab umat nabi Luth bukan karena dosa homoseksual, melainkan sebab kezaliman

Mereka mendasari pemikirannya dengan firman Allah:

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Patutkah kamu mendatangi orang lelaki (untuk memuaskan nafsu syahwat kamu)? dan kamu memotong jalan lalu-lalang (untuk tujuan jahat kamu)? Dan kamu pula melakukan perbuatan Yang mungkar di tempat-tempat perhimpunan kamu?” maka kaumnya tidak menjawab selain daripada berkata (secara mengejek-ejek): “Datangkanlah kepada Kami azab dari Allah (yang Engkau janjikan itu) jika betul Engkau dari orang-orang Yang benar”. [7]

Mun’im Sirry menafsirkan kisah Nabi Luth dengan mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “mendatangi laki laki” dalam kisah Nabi Luth adalah untuk melampiaskan hawa nafsu mereka. Jadi terlihat bahwa kaum Nabi Luth yang telah memiliki isteri-isteri yang sah, justru melakukan seks tidak senonoh dengan para pengunjung laki-laki yang singgah ke kota mereka. Hal ini berarti bahwa hubungan seks mereka terjadi di luar nikah. Ditambah lagi para pelancong tersebut melakukannya tidak dengan sukarela sehingga perbuatan tersebut dikategorikan sebagai pemerkosaan. Dengan begitu Mun’im membantah kalau kaum nabi Luth diazab karena perbuatan homoseksual. Bahkan menurutnya jika merujuk pada al-Quran surat al-Ankabut ayat 29, pelanggaran kaum Luth bertumpuk-tumpuk, selain melampiaskan nafsu pada laki-laki (tanpa nikah), juga merampok, berbuat munkar dan menantang Tuhan.

Senada dengan itu, Irshad Manji juga menyatakan: “kisah nabi Luth dalam Islam tergolong tersirat (ambigu), kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi bisa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambaran atas kekuasaan dan kontrol. Tuhan menghukum kaum nabi Luth karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar”.[8]

Dengan pernyataan di atas, pendukung LGBT menolak menyatakan bahwa azab yang ditimpakan kepada kaum Luth adalah lantaran perbuatan homoseksual. Mereka beranggapan bahwa perbuatan homoseksual adalah sah dan dihalalkan selama dilakukan dalam sebuah pernikahan atau atas dasar suka sama suka.

Penyimpangan Seksual Menurut Hukum Islam dan Bantahan Terhadap Argumen Pendukung LGBT

Pasangan homoseks dalam bentuk liwath termasuk dalam tindak pidana berat (dosa besar), karena termasuk perbuatan keji yang merusak kepribadian, moral dan agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S alA’raf ayat: 80 dan 81 sebagai berikut:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ. إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Dan (kami juga telah mengutus) Luth ketika dia berkata kepada mereka: “mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.[9]

وتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ

“Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orangorang yang melampaui batas”[10]

Ayat-ayat yang telah disebutkan menerangkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth yang hanya melakukan hubungan seksual kepada sesama laki-laki melepaskan syahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak berminat kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Luth, tetapi mereka tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah memberikan hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, sehingga penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Luth kaum lesbi, tertanam bersamaan dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya Nabi Luth dan pengikut-pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri dari perbuatan homoseks.[11]

Argumen Ulama Fikih tentang Keharaman Homoseksual

Ulama fikih sepakat mengharamkan homoseksual karena tidak ada dalil Al-Quran dan hadis yang memperbolehkannya. Mereka berpijak kaidah fiqhiyyah yang mengatakan:

الأصل في الأبضاع التحريم حتى يدل دليل إباحته

“Hubungan seks pada dasarnya adalah haram, sehingga ada dalil (sebab-sebab yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya (yakni adanya akad nikah)”.

Demikian pula ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan lesbian, berdasarkan Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui sahabat Abi Said al-Khudri:

“لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ”

”Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain”.[12]

Imam al-Nawawi menjelaskan mengenai hadis ini bahwa pernyataan Nabi saw. mengenai tidak boleh bergumul seorang lelaki dengan sesama lelaki dan wanita dengan sesama wanita di dalam satu busana, merupakan larangan yang mengandung hukum haram jika bersentuhan langsung tanpa pelapis antara aurat keduanya. Hal ini menjadi dalil atas diharamkannya bersentuhan aurat sesama jenis pada bagian mana pun. Hukum inilah yang menjadi kesepakatan diantara ulama.[13]

Laknat bagi Orang Yang Menyerupai Lawan Jenis

Dalam hadis lain sahabat Ibnu Abbas mengatakan:

لعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ

“Rasululllah mengutuk perempuan yang menyerupai laki-laki dan laki-laki menyerupai perempuan”. (HR. al-Tirmidzi)[14]

Dua hadis di atas membantah argumen pendukung LGBT bahwa orientasi seksual dan kecenderungan menyukai sesama jenis adalah pemberian Allah. Jika LGBT adalah fitrah dan kodrat sejak lahir, mengapa justru dalam hadis-hadis Nabi terdapat larangan hubungan seksual sejenis, atau bahkan larangan menyerupai perilaku lawan jenis.

Benar memang segala sesuatu adalah dari Allah, tetapi perbuatan Allah itu, ada yang sifatnya karena ikhtiar dari manusia itu sendiri. Laki-laki yang mempunyai sifat keperempuanan dan sebaliknya, itu bisa terbentuk dari lingkungannya sejak kecil. Kalau lingkungan keluarga membiarkan anak laki-laki bergaul dengan anak perempuan terus-menerus, bahkan mengikuti pakaian, atau aktivitasnya, maka anak laki-laki itu akan terbiasa mengikuti sifat-sifat anak perempuan. Begitu pula sebaliknya, walaupun ada anak laki-laki seperti tingkah laku perempuan, atau memiliki sifat perempuan dan sebaliknya, tetapi orang tuanya dapat mengarahkannya menjadi seorang laki-laki atau seorang  perempuan sesuai dengan jenis kelamin anak.[15]

Penafsiran Ulama yang Lurus

Mengenai argumen mereka bahwa penduduk surga akan dilayani oleh para pemuda yang tampan untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka, tidak ada satu dalil pun menyebutkan hal tersebut. Malah sebaliknya, ayat-ayat tentang bidadari lah yang merincikan bahwa para bidadari itu yang akan melayani kebutuhan biologis penduduk surga, mereka terpelihara dari pandangan manusia lain selain suaminya. Begitu pula dalam hadis-hadis Rasulullah saw., bidadari digambarkan dengan lebih rinci, sebagai istri para penduduk surga, wanita-wanita yang suci lagi perawan, cantik dan harum. Di antara hadis-hadis mengenai bidadari adalah:

“إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَالَّتِي تَلِيهَا عَلَى أَضْوَأِ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ اثْنَتَانِ، يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ، وَمَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَب”

Sesungguhnya rombongan yang pertama kali masuk surga, wajahnya seperti rembulan pada saat bulan purnama. Rombongan berikutnya, wajahnya bercahaya seperti bintang-bintang yang berkemilau di langit. Setiap orang dari mereka mempunyai dua isteri dimana sumsum tulang betisnya bisa dilihat dari balik dagingnya. Di surga tidak ada bujangan.” (HR. al-Bukhari[16] dan Muslim[17])

Pendukung LGBT mengatakan bahwa kaum Nabi Luth diazab oleh Allah bukan karena homoseksual, melainkan sebab kezaliman lain seperti perampokan dan lain sebagainya. Mereka mendasari pemikiran mereka dengan firman Allah di surat al-Ankabut: 29, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna merampok di dalam surat al-Ankabut ayat 25 di atas mengacu kepada dua makna; pertama merampok harta dan melakukan homoseksual dengan para musafir, kedua merampok hak kaum hawa, dengan memuaskan nafsu terhadap sesama laki-laki. Sehingga Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa jika ada orang yang menyatakan bahwa siksa kaum Nabi Luth hanya disebabkan kekufuran dan mengingkari rasul seperti umat yang lain, maka pendapat itu salah. Allah telah menjelaskan bahwa mereka disiksa disebabkan berbagai macam maksiat yang mereka lakukan, diantara maksiat-maksiat itu adalah melakukan homoseksual.[18]

Bahkan kemaksiatan-kemaksiatan bertumpuk yang diperbuat oleh kaum Luth itu semata-mata adalah untuk melampiaskan nafsu homoseksualnya. Mereka merampok dengan tujuan melakukan homoseksual dengan para musafir. Begitu juga kemungkaran yang mereka lakukan di majlis-majlis mereka itu tiada lain adalah dengan melakukan homoseksual sesama mereka.[19]

REFERENSI


[1] Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta,
ed. Mei 2008.

[2] Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), hal. 224.

[3] https://islamlib.com/gagasan/dalil-lgbt-dalam-al-quran/

[4] Q.S. Al-Isra’: 84.

[5] Q.S. Al-Insan: 19.

[6] https://islamlib.com/gagasan/dalil-lgbt-dalam-al-quran/

[7] QS. al-Ankabut: 29

[8] Irshad Manji, Allah, Liberty, And Love, (Jakarta: Renebook), hal. 133.

[9] QS. al-A’raf: 80-81.

[10] QS. al-Syu’ara: 166

[11] Huzaemah Tahido Yanggo, Penyimpangan Seksual (LGBT) Dalam Pandangan Hukum Islam,dalam Jurnal Misykat, Vol. 03, No. 02, Desember 2018.

[12] Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Cairo: Dar al-Hadis, 1997), jilid 1, hal. 277.

[13]  An-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, 1392 H), Cet. 2, Jilid 4, hal. 31

[14] Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, (Bairut : Dar al Fikr, 1994), hal. 89.

[15] Huzaemah Tahido Yanggo, Penyimpangan Seksual (LGBT) Dalam Pandangan Hukum Islam,dalam Jurnal Misykat, Vol. 03, No. 02, Desember 2018, hal. 5.

[16] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1422 H), Cet. 1, jilid 4, hal. 132.

[17] Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy), jilid 4, hal. 2179.

[18] Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah), hal. 234.

[19] Muhammad bin Jarir at-Tabari, Jami’ Al-Bayan, (Beirut: Muassasah Risalah), hal. 28-30.

By Afrian Ulu Millah

Mahasanti Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences