Kritik Amina Wadud dan Para Feminisme Terhadap Penafsiran Tradisional Surah al-Nisa Ayat 34

majalahnabawi.com – Permasalahan gender merupakan fenomena yang terjadi sejak lama, namun hingga saat ini tidak habis dibicarakan. Para mufassir klasik sudah banyak menafsirkan ayat al-Quran terkait gender, namun bagi tokoh mufassir kontemporer sekaligus penggerak feminisme, Amina Wadud dll, memiliki pandangan yang berbeda. Mereka merasa penafsiran tradisional perlu mengalami perombakan karena tidak sesuai dengan keadaan zaman sekarang.

Kritik Aminah Wadud terhadap Penafsiran Tradisional

Salah satu kritik yang diberikan Amina Wadud kepada penafsiran tradisional, ia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Qur’an Menurut Perempuan” kurang lebih sebagai berikut:

“Amina Wadud menyebutkan bahwa ia prihatin terhadap penafsiran tradisional karena semuanya ditafsirkan oleh kalangan laki-laki. Ini artinya pengalaman laki-laki dan dirinya mufassir itu diikut sertakan ketika menafsirkan ayat. Namun, pengalaman wanita hanya ditafsirkan menurut pemikiran, motivasi, dan keinginan laki-laki. Jadi, penafsir mengesampingkan keterhubungan dengan perempuan. Analisis akhir Amina Wadud adalah bahwa pembelajaran, kajian serta penafsiran al-Quran, dilakukan tanpa peran dan perwakilan dari kaum perempuan.”

Dari ungkapan di atas, tergambar jelas bagaimana para feminis Muslim dalam melihat para mufassir tradisional yakni dari kalangan laki-laki. Amina Wadud merasa tidak ada keadilan dalam upaya penafsiran al-Quran. Bahkan, para feminis menduga bahwa ajaran Islam saat ini banyak mendominasi untuk laki-laki ketimbang perempuan.

Penafsiran QS. al-Nisa Ayat 34

Sebagai contoh penafsiran ayat al-Quran yang mungkin dirasa lebih menguntungkan laki-laki ketimbang perempuan yakni tertera pada QS. al-Nisa ayat 34. Allah Swt berfirman:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Ayat di atas mungkin sudah tidak asing bagi para pengkaji gender. Ya, memang seperti itulah Islam mengajarkan bahkan sudah tertuang dalam firman-Nya. al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan ia mengutip dari pandangan Ibn Abbas mengenai kalimat awal pada ayat ini:

“Maksud dari kalimat ar-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa…..” yaitu bila diterjemahkan secara leterlek yakni “laki-laki merupakan pemimpin atas perempuan” yang mana artinya bahwa perempuan seharusnya mematuhi apa yang Allah Swt. perintahkan kepada suaminya. Allah memerintahkan laki-laki untuk menjadi pemimpin atas istrinya. Sang istri seyogyanya taat kepada suami di mana ia melakukan amal saleh dan melindungi harta suaminya. Maka dari itu dikatakan “fadhdhalahu (mengutamakan) artinya Allah Swt. lebih meninggikan derajat suami dan menjadi pemimpin istrinya.

Penafsiran Imam al-Razi terhadap QS. al-Nisa Ayat 34

Contoh lain dari penafsiran tradisional yang dilakukan oleh ulama klasik ialah kesimpulan ayat di atas yang dikemukakan oleh al-Razi dalam tafsirnya al-Tafsir al-Kabir. Ia menyimpulkan bahwa:

  1. Laki-laki merupakan para utusan Allah (Rasul), Nabi, sarjana yang tentu memiliki kepemimpinan secara luas ataupun wilayah tertentu, dan berjihad.
  2. Laki-laki yang menjadi muazin , penceramah, beri’tikaf di masjid, serta menjadi saksi kepada perihal hudud dan pelaku qishas . Ada juga yang mengatakan menjadi saksi dalam pernikahan (Sunni).
  3. Laki-laki mendapat bagian harta waris yang lebih besar dari pada perempuan.
  4. Laki-laki mempunyai hak dan kewajiban memelihara hubungan rumah tangga, perceraian, poligami, dan keturunan.

Keempat hal ini merupakan alasan atas mengapa kepemimpinan laki-laki lebih diutamakan ketimbang kepemimpinan perempuan. Oleh karena itu, para feminis perempuan mencoba menawarkan penafsiran atas ayat diatas dengan menggunakan pengalaman dan sudut pandang wanita.

Pemahaman Feminis terhadap QS. al-Nisa Ayat 34

Sebagaimana dijelaskan di atas, para feminisme meyakini bahwa karya-karya tafsir tradisional ketika menafsirkan ayat 34 al-Nisa, lebih menjabarkan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan. Mereka menyangkal bahwa penafsiran ayat ini tidak seharusnya dipahami hanya sebatas normative-tekstual melainkan harus dipahami juga secara historis-kontekstual perihal asbab nuzulnya. Al-Quran memang menurunkan ayat itu karena jelas saat itu laki-laki yang menafkahi perempuan, namun pada saat itu juga kesadaran sosial wanita masih rendah dan mereka masih menganggap wajib pekerjaan rumahan.

Oleh karena itu, situasi dan kondisi seorang pria menjadi pemimpin dan berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya kemungkinan dapat terjadi perubahan sosiologis saat ini. Perkembangan zaman sudah kian berubah. Ladang pekerjaan tidak pandang siapapun baik itu pria atau wanita. Yang awalnya hanya laki-laki yang dapat bekerja, sekarang wanita bisa bekerja tentu sesuai bidangnya. Inilah alasan feminis perempuan mengatakan ayat tersebut tidak relevan untuk diterapkan di zaman modern sekarang. Wallahu A’lam.

Similar Posts