Muhammad bin Basysyar, guru perawi hadis

Majalahnabawi.com – Bagi kalangan santri hadis, sudah tidak asing lagi dengan istilah al-jarh wa al-ta’dil. Tapi, tahukah kita bagaimana sejarah munculnya al-jarh wa al-ta’dil? Mari kita simak penjelasannya.

Sebelum membahas sejarah al-jarh wa al-ta’dil, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu jarh dan apa itu ta’dil.

Definisi al-Jarh wa al-Ta’dil

Jarh secara bahasa adalah bekas luka/luka di badan sebab terkena pedang. Sedangkan secara istilah, jarh adalah penyifatan/penilaian terhadap perawi pada keadilannya (‘adalah) atau kekuatan hafalannya (dhabth) dengan sesuatu yang berkonsekuensi kepada lemahnya periwayatannya atau dha’if atau ditolak.

Ta’dil secara bahasa adalah sama rata dan tegak. Sedangkan secara istilah, ta’dil adalah penyifatan/penilaian terhadap perawi pada keadilannya dan kedhabth-annya (kekuatan hafalannya) dengan sesuatu yang berkonsekuensi diterimanya periwayatnnya. Singkatnya, jarh adalah penilaian buruk terhadap perawi. Ta’dil adalah penilaian baik terhadap perawi.

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah penjarh-an (penilaian buruk) dan penta’dilan (penilaian baik) terhadap para perawi. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil sangat penting untuk mengetahui kualitas perawi hadis yang bisa berefek kepada kualitas hadis.

Sejarah al-Jarh wa al-Ta’dil

Pada masa Rasulullah, beliau pernah memuji dan “mencela” sahabatnya demi kemaslahatan umum. Tertera dalam hadis نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ, sebaik-baik seorang lelaki adalah Abdullah bin Umar jika dia salat sunnah malam hari. Hadis tersebut tercantum panjang dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, merupakan pujian kepada Abdullah bin Umar jika dia salat malam. Menunjukkan penta’dilan Nabi kepada Abdullah bin Umar. Adapun sabda Nabi tentang penjarh-an kepada seorang sahabat yaitu

عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَآهُ قَالَ: «بِئْسَ أَخُو العَشِيرَةِ، وَبِئْسَ ابْنُ العَشِيرَةِ» فَلَمَّا جَلَسَ تَطَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطَ إِلَيْهِ، فَلَمَّا انْطَلَقَ الرَّجُلُ قَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، حِينَ رَأَيْتَ الرَّجُلَ قُلْتَ لَهُ كَذَا وَكَذَا، ثُمَّ تَطَلَّقْتَ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطْتَ إِلَيْهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَائِشَةُ، مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

Secara ilmu formal, pada masa Nabi dan sahabat belum ada ilmu al-jarh wa al-ta’dil, namun secara praktik ada tapi sangat sedikit. Di antara sahabat yang pernah membicarakan al-jarh wa al-ta’dil adalah Sayyidah Aisyah, Abdullah bin Abbas, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Anas bin Malik.

al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Senior

Pada masa tabiin senior (kibar al-tabi’in), terdapat perawi yang ada kesalahan fatal dan tuduhan dusta, dan ada juga perawi yang lemah karena faktor pergulatan mazhab dan sekte, tetapi tidak ada perawi yang sengaja memalsukan atau berbohong terhadap hadis Nabi. Di antara tabiin senior yang membicarakan al-jarh wa al-ta’dil adalah al-Sya’bi, Sa’id bin Musayyib, dan Muhammad bin Sirin.

al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Pertengahan

Berlanjut pada masa tabiin pertengahan pada masa awal abad kedua hijriah, terdapat perawi yang lemah, memarfu‘kan hadis mauquf, memauqufkan hadis marfu‘, riwayat mursal, dan perawi yang bnyak salah dalam meriwayatkan hadis seperti Abu Harun ‘Umarah bin Juwain al-‘Abdi.

al-Jarh wa al-Ta’dil pada Masa Tabiin Junior dan Setelahnya

Berkembang pada masa tabiin junior pada pertengahan abad kedua hijriah, sangat gencar sekte politik, unsur filsafat, dan fatanisme, sehingga muncul kedustaan, lebih-lebih membuat-buat atau membohongi hadis untuk kepetingan pribadi atau sektenya. Oleh karena itu, ulama pada masa ini membahas al-jarh wa al-ta’dil pada perawi sekaligus memperluas pembahasannya. Setelah masa tabiin pertengahan, pada masa atba’ al-tabi’in terjadi banyak perawi yang sengaja mendustakan bahkan membuat-buat hadis. Ulama yang membahas al-jarh wa al-ta’dil pada masa ini adalah Imam Syu’bah, Imam Malik bin Anas, Ma’mar, Hisyam al-Dustuwai, Abdullah bin al-Mubarak, Husyaim, Sufyan bin Uyainah. Setelah mereka, ada Yahya bin Said al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.

Dari beberapa ulama di atas, diklasifikasikan dalam penilaiannya yang sudah dijelaskan dalam tulisan https://majalahnabawi.com/tipologi-ulama-dalam-jarh-wa-tadil/. Membicarakan kebaikan dan keburukan perawi hadis bukanlah gibah, tetapi semata-mata untuk menjaga keorisinal-an hadis Nabi yang merupakan sumber hukum kedua dalam Islam.

By Faiz Aidin

Dilahirkan tanggal 25 Juni 2000 di Jakarta Barat, anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Muharifin dan Hj. Nurhayati, bertempat tinggal di jalan raya Kembangan, Kembangan Utara Rt 09/02 No. 83 Gang H. Naim, Kembangan, Jakarta Barat. Mahasantri Darus-Sunnah angkatan Auliya dan mahasiswa PAI FITK UIN Jakarta.