Muhammad bin Basysyar, guru perawi hadis

Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an; Dinamika dan Tokohnya

Majalahnabawi.com – Sebagai mukjizat, Al-Qur’an mempunyai tanggung jawab moral untuk senantiasa mampu memecahkan persoalan sosial. Oleh karena itu, sebagai sebuah teks, Al-Qur’an perlu ditafsirkan agar maknanya tidak usang.

Pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi otoritas beliau. Namun, beliau hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggapnya penting dan ditanyakan oleh sahabatnya. Oleh karena itu, tafsir dari beliau hanya sedikit.

Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dan sahabat diketahui dari mulut ke mulut, karena kodifikasi tafsir dilaksanakan pada akhir masa kerajaan umayyah, meskipun kodifikasi itu masih dalam bab khusus dalam kitab-kitab Hadis. Sesudah itu barulah perkembangan kodifikasi tafsir dilaksanakan terpisah dari kitab-kitab Hadis ke kitab khusus untuk tafsir.

A) Tafsir Pada Masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam

Allah Swt. telah memberi jaminan bagi Rasulullah Shalalluhu ‘Alaihi Wasalam, bahwasanya Al-Qur’an dikumpulkan oleh Allah dalam dada beliau dan menjadikan beliau sebagai orang yang menjelaskan Al-Qur’an baik globalnya maupun yang terperinci. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (۱٦) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (۱٧).

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”(Qs. Al-Qiyamah:16-17)

Ini merupakan salah satu bentuk penjagaan Allah Swt. terhadap Al-Qur’an.

Setelah Al-Qur’an terkumpul dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Allah Swt. membebani beliau agar menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an kepada para hamba-Nya. Allah Swt. berfirman dalam surat An-Nahl ayat 44:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menafsirkan semua makna Al-Qur’an atau hanya sebagiannya saja?

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan makna-mana Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Muqaddimah fii Ushuli At-Tafsir.

Kedua, ada juga yang berpendapat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya menjelaskan sedikit dari makna-makna ayat dalam Al-Qur’an. Dalil-dalil pendapat ini diantaranya:

  1. Pendapat mereka bahwa Allah Swt. tidak memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan semua maksud setiap ayat dari Al-Qur’an agar hamba-Nya memikirkan dan merenunginya.
  2. Dan jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menjelaskan setiap makna dari Al-Qur’an, tidak mungkin beliau memberi kesempatan Ibnu Abbas menjadi orang yang Ahli dalam mentakwilkan Al-Qur’an

Dari kedua pendapat diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya menjelaskan sebagian makna Al-Qur’an.

Ada beberapa sebab mengapa Rasulullah Shalalluhu’Alaihi Wasalam tidak menjelaskan seluruh makna ayat dalam al-Qur’an. Diantaranya:

  1. Ada beberapa ayat yang merujuk pada kepahaman orang-orang Arab terhadap Bahasa Arab itu sendiri. Maka yang seperti ini tidak membutuhkan penjelasan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam.
  2. Ada juga ayat yang langsung bisa dipahami karena kejelasan maksud ayat tersebut dari konteksnya.
  3. Ayat yang dirahasiakan oleh Allah tentang pengetahuannya, tidak dapat dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena beliau pun tidak mengetahuinya. Misalnya, ayat yang menjelaskan tentang hari kiamat, atau ayat-ayat yang menjelaskan tentang perkara ghoib yang tidak pernah Allah jelaskan kepada Rasul-Nya.
  4. Serta ayat-ayat yang hakikatnya tidak perlu untuk diketahui, karena mencakup perkara-perkara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri belum pernah mengalaminya. Seperti, warna anjing Ashabul Kahfi, kayu yang digunakan sebagai tongkat Nabi Musa, dan juga jenis burung yang dihidupkan oleh Nabi Ibrahim.

Contoh Penafsiran Al-Qur`an dengan Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya:

Firman Allah Ta’ala

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS.Yunus : 26).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menafsirkan tambahannya dalam ayat yang mulia di atas dengan melihat wajah Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Syuhaib bin Sinan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ. قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam api dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: “Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka.” (HR. al-Bukhari)

B. Tafsir Pada Masa Sahabat

Para Sahabat sebenarnya tahu arti dari setiap ayat karena diturunkan menggunakan Bahasa Arab, namun terkadang para Sahabat kurang memahami bagaimana detail dan maksud dari ayat tersebut. Maka, tidak heran jika pemahaman satu sahabat dengan sahabat lain dalam memahami al-Quran berbeda-beda sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki.

Lalu, Apa yang Dipegang Para Sahabat untuk Memahami dan Melakukan Penafsiran terhadap Al-Quran?

Di antaranya adalah:

  1. Berpegang kepada al-Quran, atau biasa disebut dengan tafsir Qur’an bil Qur’an. Hal ini bisa dilakukan karena terkadang ada ayat yang bersifat Global lalu disusul dengan ayat lain yang menjelaskannya secara rinci dan mendetail.
  2. Berpegang kepada Nabi Muhammad, ketika mengalami kesulitan dalam mehamai al-Quran, para sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau dan biasanya akan langsung dijawab dengan penjelasan oleh Nabi.
  3. Berpegang pada pemahaman dan Ijtihad, selanjutnya jika ada sahabat yang belum paham mengenai suatu ayat dan tidak mendapat penjelasan dari Nabi karena belum bertemu, maka para Sahabat akan melakukan ijtihad dengan pemikiran dan pemahaman mereka.

Pada masa sahabat ini, tidak ada satu kitab tafsir pun yang ditulis dan dibukukan, karena urgensi pada waktu itu lebih kepada bagaimana menjaga al-Quran dan menuliskannya.

Sahabat-sahabat yang Terkemuka dalam Bidang Ilmu Tafsir

Imam al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqon mengatakan bahwa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir ada 10 orang, yaitu:

  1. Abu Bakar al-Shidiq (w. 13 H)
  2. Umar al-Faruq (w. 23 H)
  3. Utsman Dzun Nurain (w. 35 H)
  4. Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)
  5. Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H)
  6. Abdullah bin Abbas (w. 68 H)
  7. Ubay bin Ka’ab (w. 29 H)
  8. Zaid bin Tsabit (w. 45 H)                
  9. Abu Musa al-Asy’ary (w. 44/50 H)
  10. Abdullah Ibn Jubair (w. 73 H)

Contoh Tafsir dengan Pendapat Shahabat

Contoh mengenai penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang sahih dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS. Al-Nisaa’(4) : 2:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”

Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.

C. Tafsir Pada Masa Tabiin

Setelah generasi sahabat, para tabiin menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis Nabi dan pendapat para sahabat. Selain itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabiin, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tafsir masih merupakan bahagian dari hadis.

Dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun dijelaskan bahwa karakteristik tafsir pada era ini adalah mulai mengalami hal-hal berikut:

  1. Mulai disusupi kisah-kisah israiliyat.
  2. Masih dalam bentuk ilmu yang diajarkan langsung ataupun periwayatan seperti corak yang ada pada zaman sahabat, walaupun pada masa ini lebih kepada periwatan individu-individu di mana setiap kota mempunyai sumber ataupun imam masing-masing.
  3. Tampak mulai muncul bibit-bibit perbedaan mazhab
  4. Mulai dikenal perbedaan-perbedaan tafsir yang sebelumnya tidak dikenal di periode sahabat.

Para Mufassir dari Kalangan Tabiin Tersebar di Berbagai Lokasi:

Tabiin Mekah seperti Sa’id Ibn Jubair, Mujahid Ibn Jabr, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Tawus Ibn Kaisan al-Yamani dan Ata Ibn Abi Rabah meriwayatkan dari Ibn Abbas.

Tabiin Madinah meriwayatkan dari Ubay Ibn Ka’ab, di antaranya: Zayd Ibn Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad Ibn Kaab al-Qurazi.

Tabiin Iraq seperti Alqamah Ibn Qays, Masruq Ibn al-Ajda, al-Aswad Ibn Yazid, Murah al-Hamdani, Amir al-Sya’biy, Hasan al-Basri dan Qatadah al-Sadusi meriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud.

D. Tafsir Pada Masa Kodifikasi

Pada periode ini dimulai di akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyah. Karya tafsir termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah sebahagian dari kitab al-Wujuh wa al-Nazair karya Muqatil Ibn Sulaiman al-Balkhi seorang tabii al-tabiin.

Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti Tafsir al-Khamsumi’ah ayah, kitab Mutasyabih al-Qur’an, kitab Nawadir al-Tafsir dan al-Tafsir al-Kabir.

Penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan baru bermula pada abad keempat hijriah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibn Jarir al-Tabari yang menulis Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Di dalam karyanya, Beliau menggunakan sistim isnad untuk menafsirkan al-Qur’an dengan tujuan agar penafsiran itu tidak sewenang-wenang dan tetap bersandar kepada penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Imam al-Tabari mengumpulkan berbagai hadis, pernyataan para sahabat dan tabiin dengan menyebutkan riwayat dan sanadnya.

E. Mengenal Beberapa Tafsir Terkenal

Setelah Imam al-Tabari, muncul berbagai penekanan pendekatan yang lain ketika menafsirkan al-Qur’an.

Penekanan dari aspek bahasa di antaranya: tafsir Ma’ani al-Qur’an karya al-Zajjaj, tafsir al-Bahr al-Muhit karya Abu Hayyan Muhammad Ibn Yusuf al-Andalusi, tafsir al-Wasith karya al-Wahidy.

Dari penekanan sisi teologi, di antaranya: al-Kashshaf an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil karya al-Zamakhshari, kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakhrudin al-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baydawi.

Penekanan terhadap aspek hukum, di antaranya: Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Ibn Arabi dan al-Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi.

Penekanan terhadap isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu tasawuf, diantaranya: Ruh al-maani fi tafsir al-Qur’an al-adzim wa al-sabi al-mathani karya Mahmud Afandi al-Alusi.

Selain di atas, terdapat beberapa kitab tafsir lainnya yaitu: Tafsir Alquranul ‘Adzim Karya Ibn Katsir, Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli &  as-Suyuthi, Tafsir Attahrir Wattanwir Karya Syeikh Mohamed Atthahir bin ‘Achour, Adhwaul Bayan fi Tafsiril Quran bil Quran Karya Syeikh Mohamed al-Amin Assyanqithy (w. 1393 H), Tafsir Al Kabir Karya Al Fakhrur Razy, Tafsir Al Manar karya Mohamed Abduh & Mohamed Rasyid Ridha, Tafsir fi Zilalil Quran Karya Sayyid Quthub

والله أعلم

Daftar Pustaka:

Amri, Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw Hingga Masa Kodifikasi, Jurnal Shautut Tarbiyah, Vol. 20, No. 1 (2014)

Az Zarqani, Manahil AlIrfan Fi ‘Ulum Al Quran (Dar Al Kitab Al ‘Arabiyyah, 1995 M)

Jalaluddin as Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2019 M)

Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000)

Muhibudin, Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Al-Risalah,Vol. XI No. 1 (2020)

Musa Syahin Lasyin, al-Laali al-Hisan fi Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1968 M)

T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an & Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2014)

Similar Posts