majalahnabawi.com – Ilmu Hadis yang kita dengar saat ini biasanya bercorak dari akidah Sunni, akidah meyoritas umat Islam. Dalam Sunni, syarat sebuah hadis bisa shahih ialah sanad hadis yang bersambung dari ujung ke ujung, tiada illah dan syadz, perawi yang tsiqoh (adil dan dhabit). Namun, pernahkah terlintas dalam pikiran anda, bagaimanakah standar hadis menjadi shahih atau dha’if menurut ajaran non-sunni -terkhusus menurut ajaran Syi’ah?

Syi’ah dan Inti Ajarannya

Syi’ah merupakan salah satu aliran teologis dalam Islam yang awalnya lahir sebagai gerakan politis pendukung Ali bin Abi Thalib r.a sejak perang shiffin bergejolak. Kemudian berkembang menjadi gerakan aliran keagamaan yang keberadaannya bertahan hingga saat ini. Syi’ah memiliki ajaran yang lebih condong memusatkan kepada Ali bin Abi Talib beserta 12 Imam Ma’shum sebagai tokoh sentralnya.

Berbeda dengan Sunni, Umat Syi’ah mengimani bahwa Ali bin Abi Talib r.a merupakan sahabat yang ditetapkan sebagai khalifah langsung setelah Rasulullah saw wafat, dan mereka mengklaim bahwa ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an & Sunnah. Dan untuk memperkuat klaim  ini, Shalih Al-Kurbasi –salah satu ulama Syi’ah terkemuka dalam laman web Markaz Al-Isyya’ Al-Islami beliau menghimpun dalil-dalil dari Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis Sunni yang membuktikan klaim pengangkatan langsung Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah saw. wafat. Dari sini cukup jelas menggambarkan betapa pentingnya, mulianya dan tingginya derajat sosok Ali bin Abi Thalib r.a dalam Akidah Syi’ah.

Hadis Menurut Syi’ah

Berdasarkan pendapat dari Ulama ahli hadis terkemuka dari kalangan Syi’ah, di antaranya Syahid Ats-Tsani, Al-Mamiqani, bahwa Syiah mendefiniskan hadis sebagai “Sesuatu yang menceritakan tentang perkataan al-ma’shum atau perkataannya atau ketetapannya”. Al Ma’shum berarti Nabi saw. dan Ali ra. Maka, sesuatu yang bukan berasal dari kedua sosok ini, tidak terhitung sebagai hadis menurut kalangan Syi’ah. Ini sesuai dengan ajaran mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib r.a dan 12 Imam sebagai tokoh yang mereka sakralkan setelah Nabi Muhammad saw.

Standar Hadis Shahih dalam Syi’ah

Berikut adalah definisi hadis shohih menurut Syi’ah

“ما اتصل سنده إلى المعصوم بنقل العدل الإمامي عن مثله في جميع طبقاته”.

“Hadis yang sanadnya bersambung kepada al-ma’shum dengan dinukil dari imam yang adil kepada sesama imam tersebut di tiap tingkatan”

Maka, menurut as-Syahid Ats-Tsani, mereka menetapkan bahwa hadis shahih hanya berfokus kepada sanad atau kualitas perawi hadis, tanpa mempertimbangkan valid tidaknya matan. Makanya, syadz menurut mereka tidak terlalu mempengaruhi validitas suatu hadis. Sehingga mereka masih menetapkan hadis syadz ke dalam hadis shahih jika syaratnya terpenuhi.

Menurut as-Syahid Ats-Tsani, penelitian keadilan rawi di kalangan Syi’ah ini berlaku kepada seluruh tabaqah, tidak terkecuali kalangan Sahabat. Di mata mereka, posisi keadilan seorang perawi dari kalangan sahabat sama dengan perawi selain sahabat. Bisa jadi adil dan bisa jadi fasik.

Hadis Dha’if menurut Syi’ah

Menurut mereka, hadis bisa menjadi dho’if ketika tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih. Yaitu sanad yang bersambung kepada al-ma’shum dengan dinukil dari imam yang adil kepada sesama imam tersebut di tiap tingkatan. Perlu juga untuk memperhatikan apakah perawi ini memiliki jarh di seluruh sanadnya. Kemudian, apakah perawi tersebut tak memiliki (pujian atau ta’dil)? Maka, dalam al- Miqbas al-Hidayah karangan al-Mamiqani –ulama rujukan Ilmu Hadis di kalangan Syi’ah-, di sini mereka tetap menerima perawi majhul (tidak ada keterangan jarh maupun madh). Karena menurut mereka, seorang perawi tidak bisa tergolong sebagai orang yang fasiq hanya karena tidak ada keterangan informasi mengenai perawi tersebut. Mereka beralasan bahwa “tiada keterangan fasiknya suatu rawi sudah cukup membuktikan keadilan seorang rawi”.

Wallahu a’lam bis Showab