Kritik Hadis Imam Bukhari dan Metodologinya

Majalahnabawi.com‘Adalah merupakan salah satu komponen utama yang harus seorang perawi hadis miliki. Tanpa ‘adalah seorang perawi akan diragukan periwayatannya, sehingga hadisnya akan menjadi cacat bahkan menjadi dhaif. Namun ternyata ada beberapa perbuatan yang jika seorang perawi hadis lakukan bisa merusak ke-‘adalah-nya. Beberapa perbuatan tersebut antara lain: rusaknya muru’ah (turunnya wibawa); berbuat bid’ah; berbuat fasik, tertuduh berdusta; dan berdusta. Pada artikel kali ini kita akan membahas kelima hal tersebut yang ada dalam kitab Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil.

Perbuatan-perbuatan yang Merusak ‘Adalah

1.  Rusaknya Muru’ah

Seseorang akan berwibawa atau memiliki muru’ah yang tinggi ketika ia menjaga dirinya untuk senantiasa berbuat hal-hal yang baik dan tidak melakukan sesuatu yang melanggar norma yang berlaku pada tempat tinggalnya. Karena berkaitan dengan norma, maka penilaian atas muru’ah ini menyesuaikan pola dan tradisi masyarakat setempat dan tidak ada standarisasi yang baku mengenai permasalahan ini. Misalnya di Indonesia, seseorang dianggap kurang sopan ketika ia tidak memakai peci saat menghadiri suatu majelis pengajian. Beda halnya dengan di Malaysia, tidak memakai peci saat menghadiri suatu majelis tidak lantas menjadikan wibawanya turun.

Salah satu contoh perbuatan yang berkaitan dengan turunnya wibawa dan bisa mengakibatkan cacatnya kualitas hadis adalah ketika seorang perawi hadis mengambil upah atas periwayatan yang ia lakukan. Mengambil upah di sini bukan berarti seorang perawi mematok tarif tertentu atas periwayatan hadis yang ia lakukan. Namun, juga ketika seorang perawi menerima pemberian imbalan atas periwayatannya.

Beberapa ulama melarang keras meriwayatkan hadis dari orang yang mengambil upah atas periwayatan hadisnya. Sebab sudah menjadi hal yang lumrah kalangan para ahli hadis untuk tidak silau terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, demi menjaga kesucian diri dan hadis yang ia riwayatkan. Bahkan mereka sampai melarang para perawi hadis untuk bekerja memenuhi kebutuhannya.

Pada sisi lain, para perawi hadits itu juga memiliki keluarga yang harus terpenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga Imam Ibnu Sholah mengecualikan beberapa perawi hadis dalam hal ini. Mereka yang ketsiqahan nya sudah masyhur dan orang-orang juga mengetahui kefakirannya maka, boleh untuk mengambil upah atas periwayatannya.

Bid’ah dalam hal ini, terbagi menjadi dua

2.  Berbuat Bid’ah

Dalam pembahasan ini bid’ah termasuk ke dalam hal yang dapat merusak ‘adalah seorang perawi. Perbuatan bid’ah ini terbagi menjadi 2, sebagai pembeda antara diterima atau tidaknya riwayat yang mereka lakukan. Pertama, Bid’ah Mukaffiroh yakni bid’ahnya seseorang yang dapat membuat dirinya teranggap kafir oleh ulama. Dalam hal ini periwayatannya tertolak. Kedua, Bid’ah Mufassiqah yakni bid’ahnya seseorang yang membuatnya terbilang fasik oleh ulama. Periwayatannya masih bisa diterima selama mereka tidak mengajak orang-orang untuk masuk dalam mazhab mereka.

Sebenarnya suatu riwayat dari perawi yang terindikasi bid’ah dapat diterima dengan beberapa syarat, salah satunya jika perawi bid’ah tersebut tidak termasuk ke dalam golongan bid’ah ekstrem. Golongan bid’ah ekstrem itu sendiri adalah bid’ah yang benar-benar telah mengingkari syariat, seperti salah satu keyakinan Syi’ah Rafidhah yang meniadakan sifat-sifat Allah.

Jika bid’ah yang ekstrem tertolak periwayatannya secara mutlak, maka bid’ah yang ringan dapat diterima periwayatannya dengan beberapa syarat, diantaranya adalah: pertama, perawi tersebut dipercaya tidak menghalalkan segala bentuk kebohongan untuk membela mazhab bid’ahnya; kedua, perawi tersebut tidak mengajak orang-orang untuk ikut ke dalam mazhab bid’ahnya; dan ketiga, hadis yang diriwayatkan tidak sesuai dengan akidah yang diyakininya.

Lalu bagaimana jika para ulama kritikus hadis menemukan terdapat perawi bid’ah dalam kitab Shahihain? Maka dalam hal ini, pendapat Imam Shahihain lebih unggul karena Imam Bukhari dan Muslim lebih mengenal perawi-perawi yang meriwayatkan hadis yang ada dalam kitab keduanya. Alasan diunggulkannya pendapat Imam Shahihain di antaranya pertama, ada kemungkinan perawi tersebut tertuduh bid’ah berdasarkan prasangka saja. Kedua, perawi tersebut sudah bertaubat dari ke-bid’ah-annya. Ketiga, perawi tersebut tidak mengajak orang-orang untuk ikut ke dalam mazhabnya.

Fasik termasuk Salah satunya

3.  Berbuat Fasik

Secara bahasa fasik berarti “keluar dari sesuatu”. Sedangkan secara istilah fasik berarti seseorang yang menyaksikan, tetapi tidak meyakini dan melaksanakannya. Dalam agama Islam, pengertian dari fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Ia belajar ilmu agama namun tak ia amalkan.

Dalam hal ini apabila seorang perawi melakukan perbuatan fasik maka dapat merusak ke-‘adalah-annya. Jika perawi memiliki sifat fasik atau justru menampakkan kefasikannya secara terang-terangan baik kemaksiatannya dalam bentuk perbuatan atau perkataan, maka haditsnya tertolak. Hadis yang perawinya memiliki sifat fasik disebut sebagai hadis munkar.

4. Tertuduh Berdusta

Perusak sifat ‘adalah bagi seorang perawi selanjutnya adalah tertuduh berdusta. Perawi yang tertuduh berdusta adakalanya meriwayatkan hadis dengan jalurnya sendiri dan dengan jelas menyelisihi kaedah umum agama dan ada kalanya pula seorang perawi tersebut pernah berdusta, yang mana perawi tersebut melakukan pembohongan terhadap hadis atau perkataan nabi.

5. Berdusta

Aspek terakhir yang merusak sifat ‘adalah seorang perawi adalah dusta. Maksud berdusta dalam konteks ini adalah seorang perawi meriwayatkan sebuah hadis dengan mengatasnamakan nabi baik itu berupa perkataan perbuatan atau ketetapan yang tidak pernah dikeluarkan atau dilakukan atau dikatakan oleh nabi dan perawi tersebut melakukannya dengan sengaja. Walaupun perawi melakukan hal ini hanya sekali dalam hidupnya tetap tersebut disebut sebagai pendusta.

Untuk periwayatan hadits dari seorang perawi pendusta menurut Imam Ahmad dan Abu Bakar al-Humaidi riwayatnya tidak dapat diterima sama sekali sedangkan menurut Abu Zakaria an-Nawawi riwayatnya bisa diterima dengan syarat perawi tersebut sudah bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya taubat.

Itulah ke-lima hal yang dapat merusak sifat ‘adalah seorang perawi. Betapa hadis-hadis yang sahih tidak datang kecuali dari mulut orang-orang yang benar-benar terjaga.

Wallahu a’lam bish-shawab