Majalahnabawi.com – Bisa menjadi seorang syahid merupakan idaman setiap orang. Setiap orang pasti berharap dapat menemui akhir hayatnya dalam kesyahidan. Tidakkah mulianya derajat syuhada, dan tiada balasan yang pantas bagi mereka selain kebahagian di sisi Tuhannya dan juga surga-Nya. “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki“. (QS. Alu Imran: 170)

Thalhah bin ‘Ubaidillah, siapa yang tak mengenalnya? Seorang sahabat Nabi yang yang ringan tangan terkenal kedermawanan, kegigihan, serta keteguhan hatinya. Nama lengkapnya adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah bin ‘Utsman bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Ibunya bernama al-Sha’bah binti Abdullah bin Malik. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di kakeknya yang keenam, yakni Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Thalhah adalah salah seorang dari golongan al-Sabiqun al-Awwalun, yakni golongan orang yang pertama kali masuk Islam. Selain itu dia juga termasuk salah satu dari 10 sahabat Nabi ﷺ yang dijanjikan akan masuk surga-Nya. Bagaimana tidak? Kegigihan dan keberaniannya menjadikannya mulia, bahkan namanya sering dielu-elukan oleh Rasulullah ﷺ di hadapan para sahabatnya.

Asal Usul Masuk Islamnya Thalhah

Thalhah yang berasal dari bani Tamim suku Quraisy ini sedari muda suka menggeluti dunia perniagaan, dan dari sini pula dia memulai meniti karirnya. Berkat keuletan, kecerdikan, serta kegigihannya, ia pun menjadi salah seorang pedagang yang sukses di usianya yang masih tergolong muda.

Suatu hari Thalhah pergi ke Syam. Sesampainya di pasar Bashra, dia dikejutkan oleh suatu kejadian yang nantinya justru akan mengubah jalan hidupnya. Di tengah keramaian pasar, ada seorang pendeta berteriak-teriak sembari berkata, “Wahai para pedagang, adakah dari tuan-tuan yang berasal dari Mekah?”. “Ya, aku adalah penduduk Mekah.” sahut Thalhah. “Sudah datangkah orang di antara kalian yang bernama Ahmad?” tanya si pendeta. “Ahmad? Siapakah gerangan itu?” tanya Thalhah penasaran. “Dia adalah putra dari Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini adalah bulannya dan ia pasti akan muncul. Dia adalah Nabi terakhir yang diutus sebagai penutup para Nabi dan dia berasal dari Mekah. Kelak dia akan berhijrah dari negerimu ke negeri yang banyak pohon kurmanya, sebuah negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya segeralah engkau menemuinya wahai anak muda.” Sambung pendeta itu.

Penasaran Mencari Kebenaran

Peristiwa tersebut sungguh mengusik pikiran Thalhah. Ucapan pendeta itu selalu terngiang-ngiang di benaknya. Seolah berita itu enggan enyah dari pikirannya. Bergegaslah ia pulang ke Mekah, meninggalkan kafilah dagangnya, ingin rasanya ia segera sampai di Mekah dan menanyakan perihal kabar tersebut. Sesampainya di Mekah, Thalhah segera menemui keluarganya dan bertanya, “Apa yang terjadi sepeninggalku?”. Dan benarlah perkataan pendeta itu, Mekah saat ini tengah digemparkan dengan berita kenabian Muhammad ﷺ. “Telah datang seorang pemuda yang bernama Muhammad bin ‘Abdullah yang mengaku sebagai seorang Nabi, dan Abu Bakar mempercayai dan mengikut apa yang ia katakan.” Jawab keluarganya. “Ya, aku sangat kenal dengan Abu Bakar. Dia adalah orang yang lembut lagi santun pekertinya, dia adalah pedagang yang berbudi tinggi lagi teguh. Banyak orang yang menyukainya karena dia adalah ahli Quraisy”, timpal Thalhah.

Mengecek Keabsahan Kenabian Nabi ﷺ

Thalhah bergegas pergi menemui Abu Bakar untuk menanyakan keabsahan berita kenabian Muhammad. Abu Bakar pun membenarkan berita tersebut. Abu Bakar mulai menceritakan kisah Nabi Muhammad ﷺ., dimulai dari peristiwa hatinya. Saat beliau tengah berkhalwat di Gua Hira hingga turun wahyu pertama. Usai Abu Bakar bercerita, ganti Thalhah yang menceritakan peristiwa pertemuannya dengan seorang pendeta di Bashra. Abu Bakar tercengang mendengarnya, lalu ia mengajak Thalhah untuk pergi menemui Nabi Muhammad ﷺ dan menceritakan peristiwa yang dialaminya di Bashra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah seketika mengucapkan dua kalimat Syahadat. Thalhah adalah salah seorang dari golongan al-Sabiqun al-Awwalun.

Berita mengenai keislaman Thalhah sungguh menggemparkan keluarga dan sukunya. Mereka berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mula-mula dengan bujuk-rayuan. Tapi karena kokohnya pendirian Thalhah, cara itu tak mampu mengubah keyakinannya.

Mereka mulai bertindak kasar dan memaksanya agar meninggalkan agamanya. Siksaan demi siksaan menuai tubuh Thalhah. Sekelompok orang menyeret, membelenggu lehernya, mendorong, mencaci maki dan memecut serta memukulinya. Sungguh kejam dan ngeri memang, sungguh tiada berperi. Bahkan pernah seorang pembesar Quraisy, Naufal bin Khuwailid bin al-Adawiyyah yang dikenal sebagai “Singa Quraisy”, karena kebengisan dan kekejamannya itu mengikat Thalhah dan Abu Bakar dalam satu ikatan, memukul lalu menyeret keduanya hingga darah bercucuran dari tubuh keduanya. Dari peristiwa inilah keduanya dijuluki sebagai al-Qarnan atau “Dua Serangkai”. Penyiksaan yang silih berganti menimpa Thalhah tidaklah menggoyahkan keimanannya, justru siksaan yang menderanya silih berganti semakin meneguhkan iman.

Mata-mata Perang

Sebelum perang Badar, Thalhah dan Sa’id bin Zaid telah diutus Rasulullah sebagai mata-mata kafilah orang-orang kafir yang melintas. Ketika mereka kembali ke Madinah untuk melaporkan perihal kafilah orang-orang kafir itu, ternyata Rasulullah bersama pasukan telah berangkat ke medan perang Badar, beliau telah menemui musuhnya yakni kaum musyrik. Segera keduanya menyusul Rasullullah dan para pejuang Badar di medan peperangan. Namun, sesampainya di sana ternyata peperangan telah usai. Kemenangan berpihak kepada muslimin. Lalu Rasulullah membagikan harta rampasan perang kepada mereka berdua, karena meski tak ikut bergelut dalam peperangan mereka berdua dianggap seperti sahabat lain yang ikut terjun dalam kancah perang Badar.

Berkecamuk pada Perang Uhud

Meski tak bisa ikut terjun dalam peperangan Badar, namun Thalhah ikut terjun dalam perang Uhud. Diceritakan ketika pasukan muslim terdesak mundur karena ketidaksiplinan para pasukan pemanah yang turun dari pos-pos mereka yang berlari saling berebut harta ghanimah, maka kesempatan itu pun dimanfaatkan oleh musyirikin untuk menyerang muslimin yang tengah lalai terbuai dengan berlimpahnya harta rampasan perang tersebut.

Serangan kaum musyrik yang membabi buta sontak mengagetkan pasukan kaum muslim dan berhasil membuat mereka kocar-kacir. Pasukan musyrikin yang kesetanan itu maju menyerang pasukan kaum muslimin, terbayang bagaimana dendam kekalahan mereka tatkala perang Badar. Sebisa mungkin mereka mencari orang-orang yang telah membunuh sanak famili dan kelompok mereka. Mereka menyerang dengan membabi buta, mereka ayunkan pedang mereka yang mengkilat dengan menebas leher-leher musuh mereka. Sasaran utama mereka adalah Rasulullah ﷺ. Semua pasukan musyrikin mencari Rasulullah, ingin rasanya mereka membunuh dan menebas leher Rasulullah dengan pedang mereka yang sangat mengkilat. Namun, pasukan muslim tak akan membiarkan nyawa Baginda mereka ditumpas oleh pasukan musyrikin.

Sekuat tenaga mereka berusaha untuk melindungi Rasullullah dari serangan pasukan musyrikin. Bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan raga mereka demi keselamatan Rasulullah. Panah, pedang, dan tombak bertubi-tubi mengenai tubuh mereka, tapi mereka tetap gigih berjuang melawan pasukan musyrikin.

Sang Perisai Rasulullah

Hati mereka berucap teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk Engkau, ya Rasullullah.” Salah satu dari para mujahid yang berusaha melindungi Rasulullah adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. la ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri menghalau dan menepis serangan setiap musuhnya. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya beliau dengan tangan kiri dan dadanya, sedang tangan kanannya dengan lincah mengayunkan pedangnya melawan serangan musuh bak laron dan lalat yang mengelilinginya tiada henti selalu datang silih berganti, serangan datang menerjang menghalang bak halang rintang. Tak ia hiraukan maut yang seolah-seolah menyapa di depan matanya, yang terpenting baginya adalah menyelamatkan nyawa kekasihnya.

Ketika Malik bin Zuhair bermaksud memanah Rasullullah, segera Thalhah mengangkat tangannya mencoba melindungi wajah Rasullullah,. Walhasil panah itu mengenai jari kelingkingnya, sehingga putuslah jari tersebut. Segenap jiwa raga ia korbankan, Thalhah adalah seorang pahlawan Uhud yang sangat hebat dan gigih.

Pada akhirnya pasukan musyrikin pergi meninggalkan medan perang karena mereka mengira bahwa Rasulullah telah wafat. Alhamdulillah Rasulullah selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka.

Syahid yang Hidup

Thalhah berusaha memapah dan menaikkan Rasulullah ﷺ, sendiri ke atas bukit, ketika Rasulullah kesulitan untuk melewati sebuah batu besar, maka Thalhah bersimpuh duduk dan mempersilahkan Rasulullah untuk menaiki punggungnya agar beliau bisa melewati batu tersebut. Pada saat itu Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah bergegas menghampiri Rasulullah. “Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian.” Titah Rasulullah.

Keduanya bergegas mencari Thalhah bin ‘Ubaidillah. Ketika ditemukan, dia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar, tak kurang ada 79 bekas luka tusukan memenuhi tubuhnya dan jari tangannya putus akibat anak panah yang mengenainya. Seketika mereka mengira bahwa Thalhah telah gugur sebagai seorang syahid Uhud, namun ternyata ia masih hidup. Karena itulah Thalhah diberi gelar “syahid yang hidup”. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat seorang Syahid yang berjalan di muka bumi maka lihatlah Thalhah bin “Ubaidillah.”(HR. al-Tirmidzi)

Sejak itu, setiap kali diingatkan tentang peristiwa perang Uhud, maka Abu Bakar akan teringat pada Thalhah, “Perang Uhud adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya.” ujar Abu Bakar.

Maha Suci Allah yang telah menganugerahkan kepada diri Thalhah tubuh yang kuat dan kekar, keimanan serta keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama Allah. Pantaslah jika ia kelak mendapatkan kedudukan yang mulia di haribaan-Nya. Bahkan pernah Nabi bersabda di hadapan para sahabatnya: “Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh…” yang Nabi ﷺ maksud adalah memperoleh surga-Nya.

Mati Syahid pada Perang Jamal

Berlalulah waktu, Rasulullah wafat lalu digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat lalu digantikan Umar bin Khattab. Setelah Umar menemui ajalnya, kemudian diganti ‘Usman bin Affan. Irama melodi hidup Thalhah tak banyak yang berbeda, berdiri berjuang menegakkan panji-panji Islam atau pun melakukan kegiatan perniagaannya. Selama itu pula ia menunggu kapan “syahid” yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya sebagaimana yang Rasulullah ﷺ sebut) akan benar-benar menjadi syahid?

Thalhah bin Ubaidillah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sewaktu terjadi perang Jamal tersebut, sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka ia segera dibawa ke Basrah dan tak berapa lama karena semakin parah lukanya, ia pun wafat, tepatnya pada hari Kamis tanggal 10 Jumadil Akhir 36 H. la wafat dalam usia 62 tahun dan dalam riwayat lain disebutkan di usia 64 tahun. Ia dimakamkan di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah. Sebenarnya Thalhah berharap bisa gugur di medan saat menghadapi musuh Islam bersama Rasulullah ﷺ. Namun, takdir Ilahi berkata lain, ia justru wafat di tangan orang Islam sendiri.

Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya: “Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga“. (QS. al-Ahzab: 23)

Adapun yang dimaksud dengan lelaki tersebut adalah Thalhah bin Ubaidillah. Akhirnya Sang Syahid yang hidup ini pun menemui kesyahidannya yang sesungguhnya. la tersenyum bahagia menuai hasil dari apa yang telah la semai selama hidupnya di dunia. Wallahu A’lam.

Tulisan ini sudah terbit di Majalah Nabawi versi cetak edisi 115/ Rajab-Sya’ban 1437 H

Sumber Bacaan:

  1. Shahih Muslim
  2. Sunan al-Tirmidzi
  3. Usud al-Ghabah
  4. Mustadrak al-Hakim
  5. Thabaqat al-Kubra

By Diah Ayu Agustina

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences