Majalahnabawi.com – Kajian Al-Qur’an di Indonesia bukanlah sebuah pembahasan yang cukup ringkas. Semangat para ulama Indonesia dalam mengkaji kitab pedoman hidup tersebut menciptakan banyak sekali buah karya. Di antara buah karya tafsir ulama Indonesia, yaitu Tarjuman Al-Mustafid, Marah Labid, dan Al-Ibriz. Banyaknya hasil karya ulama Indonesia pun tidaklah mengherankan jika kita juga mengingat bahwa Al-Qur’an memang merupakan sebuah kitab suci yang pemaknaan kandungannya bersifat dinamis. Para ulama Indonesia nampaknya dengan sekuat tenaga menggali kandungan Al-Qur’an yang sesuai dengan konteks zaman mereka supaya setiap tindak-tanduk mereka dan umat di sekitarnya berlandaskan kepadanya. Hal ini merupakan bukti kuat betapa besarnya rasa cinta ulama dan umat Muslim Indonesia terhadap Al-Qur’an.

            Salah satu contoh sebuah karya tafsir Indonesia yang tujuan pengarangannya untuk memudahkan dalam memahami nilai-nilai Al-Qur’an di kehidupan sehari-hari adalah kitab tafsir Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil. Kitab berbahasa Jawa dengan aksara pegon dan makna gandul karangan K.H. Mishbah Mushthafa ini ditulis dalam rentang waktu 1977-1985 M. Kitab ini dicetak oleh Al-Ihsan Offset Surabaya berbentuk tiga puluh jilid mengikuti pembagian juz di dalam Al-Qur’an.

Latar Belakang Kepenulisan Tafsir Al-Iklil

            Latar belakang penulisan kitab Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil sebagaimana dijelaskan Kiai Misbah dalam kitabnya adalah supaya Al-Qur’an benar-benar dijadikan pegangan hidup Umat Muslim di sekitarnya. Kiai Misbah amat miris melihat umat Muslim di sekitarnya yang menurutnya terlalu materialistik sehingga melupakan bahwa masih ada kehidupan berikutnya yang harus dipersiapkan. Beliau juga miris melihat masih banyaknya umat Muslim sekitarnya yang melakukan ritual-ritual agama lain seperti menyiapkan sesaji yang dilakukan pula oleh orang Hindu dan Budha. Faktor pendukung lain yang melatarbelakangi pengarangan kitab tersebut adalah merasa kurangnya Kiai Misbah jika ajaran agama hanya disampaikan melalui ceramah dengan lisan. Menurutnya, penyampaian melalui lisan amat mudah terlupakan. Oleh karena itu, Kiai Misbah mengarang kitab tersebut sebagai media dakwah yang dapat dibaca berulang kali. Hj Elvin Nadhirah, menantu Kiai Misbah menuturkan maksud lain dari dicetaknya kitab tersebut juga untuk membiayai kehidupan Kiai Misbah sendiri beserta pondoknya.

            Penamaan kitab tersebut tidaklah mungkin tanpa sarat makna. Lafal Al-Iklil dalam bahasa Indonesia memiliki arti “mahkota”. Dengan nama tersebut, Kiai Misbah berharap umat Muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai mahkota atau pelindung sehingga mereka dapat hidup bahagia, baik di dunia dan akhirat. Sementara itu, Gus Mus menambahkan bahwa penamaan kitab tersebut terpengaruh gaya bahasa kitab-kitab Arab yang ada pada saat itu. Pola penamaan kitab-kitab Arab tersebut bersajak seperti Al-Tafsir wa al-Mufassirun dan Bidayah Al-Mujtahid fî Nihayah Al-Muqtasid. Oleh karena itu, kitab ini memiliki nama yang juga menggunakan pola bersajak, yaitu Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil.

Pola Kepenulisan Tafsir

            Pola penyajian kitab ini dengan cara menempatkan ayat-ayat yang sedang ditafsirkan di kolom pertama lengkap dengan makna per katanya. Penafsiran secara global diletakkan pada kolom kedua sementara kolom terakhir diisi penjelasan terperinci. Simbol ( كت ) merupakan beraksara pegon yang dalam aksara Indonesia ditulis “Ket”. Ini melambangkan bahwa penjelasan setelah simbol merupakan uraian tafsiran ayat. Simbol ( تنبيه ) bermakna sebuah keterangan tambahan yang biasanya merupakan catatan penting. Simbol bertuliskan “Masalah” berisikan kasus yang berhubungan dengan ayat yang sedang dibahas. “Faedah” berisi intisari ayat dan “Kisah” berisikan cerita atau riwayat yang berkaitan dengan ayat.

            Dari pola penyajian tafsiran yang telah dijelaskan di atas, maka kitab Al-Iklil ini dapatlah diasumsikan sebagai kitab tafsir dengan metode tahlili (terperinci). Meskipun dalam sumber yang digunakan penulis tidak ada yang menyatakan secara pasti terkait bentuk kitab ini, penulis amat yakin untuk mengkategorikan kitab ini sebagai kitab tafsir yang berbentuk kombinasi antara bil ra’yi (ijtihad) dan bil ma’tsur (riwayat). Hal ini nampak dari penalaran dan periwayatan yang sama-sama dipakai dalam kitab beliau. Penalaran Kiai Misbah banyak terlihat ketika sedang menghubungan kandungan ayat dengan kejadian yang sedang terjadi di sekitarnya. Sementara itu, periwayatan dipakai pada ranah yang berkaitan dengan asbabun nuzul dan al-munasabah.

            Sebagai kitab tafsir berbahasa Jawa, Al-Iklil amat penuh dengan unsur lokalitas. Selain dari segi bahasanya dan tulisannya, unsur lokalitasnya juga dapat kita perhatikan pada bagian pembahasannya. Kiai Misbah dalam kitabnya sering kali memberikan respon terhadap kegiatan masyarakat di sekitarnya. Di antara contohnya dapat dilihat pada penafsiran surat Al-Baqarah ayat 10. Disitu beliau mengemukakan sebagai berikut:

Kelakuane wong munafiq ono ing iki ayat yaiku tumindak salah nganggo alasan yen dheweke gawe becik, yoiku anut marang wong-wong tuwa-tuwa, nanging ora rumangsa keliru. Sebab mendalam olehe tumindak anut-anutan kang tanpa ono dhasare. Kang mengkene iki akeh lumaku ono ing kalangane wong-wong Jowo kang ugo wong Islam kelawan sah. Kadang-kadang ono ing kalangane wong kang dadi pengarepe agama. Koyo ngedekake omah nganggo sajen, kondangan nganggo tumpeng lan liya-liyane kang iku kabeh lakune wong Budha zaman kuno.

            Dari pendapat di atas, jelas terlihat bahwa beliau mengkritik kebiasaan masyarakat sekitarnya termasuk dengan para ulamanya yang kerap kali mengadakan sesaji dan kenduri ketika dalam proses pembangunan rumah. Beliau menganggap perbuatan tersebut meniru tradisi orang Budha masa lalu dan tidak ada dasarnya dalam agama Islam. Beliau menilai perbuatan tersebut merupakan perbuatan munafik karena melakukan perbuatan yang salah tanpa merasa bersalah. Penulis berasumsi bahwa kegiatan sesaji dan kenduri pada saat itu masih sarat akan unsur-unsur kesyirikan. Hal inilah yang membuat Kiai Misbah amat menyayangkannya.

Contoh lain terdapat pada penafsiran surat Al-Baqarat ayat 141 terkait kegiatan mengirim pahala kepada mayit. Kiai Misbah menuturkan sebagai berikut:

Iki ayat ing ngarep wus ditutur. Dibaleni iku perlune kito ojo nganti ngendel-ngendelake ngamal leluhur kito. Lan kita ojo nganti ngendel-ngendelake anak-anak lan poro muslimin, koyo tahlil, diwacaake qur’an, dishadaqahi telung dino lan liya-liyane. Sebab ngamal bagus kang ditrimo dening Allah ta’ala kang diarep ganjarane biso tumeko marang mayit iku ora gampang, opo maneh kanggo wong kang sembrono ono ing perkoro ngibadah lan ora anduweni roso ta’dhim marang Allah ono ing saben ngibadah kang dilakoni. Coba awake ditakoni dhewe-dhewe: He awak! Siro kok shodaqah kanggo wong mati kang coro mengkono iku opo wus bener. Yen jawab bener, bisoo diuji mengkena: yen bener ikhlas coba dhuwit kang arep kanggo shadaqah iku dishadaqahake faqir miskin utawa bocah yatim, jawabe: ojo. Mengko ora weruh wong. Kang mengkono iku ora umum. Kelawan ujian kang sithik bahe biso katon yen coro shadaqahe iku keliru.

Kritik Lokalitas Kiai Misbah

            Kiai Misbah sama sekali bukan melarang kegiatan tahlil, sedekah tiga hari, maupun mengirim pahala membaca Al-Qur’an, melainkan beliau mengkritisi ketergantungan seseorang terhadap kiriman pahala dari keluarga ataupun sanak saudaranya. Beliau berpendapat bahwa sampainya pahala kepada mayit bukanlah hal yang mudah karena dibutuhkan keikhlasan dari sang pengirim yang sebenarnya sulit dicapai. Pembuktiaanya dapat dilihat jika ditawarkan kepada keluarga mayit agar uang untuk sedekah tiga hari diganti untuk disumbangkan kepada fakir miskin atau anak yatim, maka sang keluarga belum tentung mengiyakan. Hal ini disebabkan perbuatan tersebut adalah hal baru dan tidak terlihat oleh orang lain. Inilah alasan Kiai Misbah mengaggap sedekah dengan cara seperti itu adalah keliru.

            Selain kedua contoh di atas, masih banyak contoh lain pengkritisan beliau terhadap kegiatan yang terjadi di sekitarnya. Pembaca dapat melihat sendiri dalam kitabnya seperti pada penafsiran surat At-Taubah ayat 31 (kritik terhadap pengkultusan guru, kegiatan MTQ sebagai sumber dana pembangunan, pengkasetan Al-Qur’an untuk keuntungan materialistik, dan penggunaan pengeras suara ketika shalat, tahlil, dan khutbah) dan penafsiran surat At-Taubah ayat 3 (kritik yang mengatakan pemaknaan Al-Baqarah adalah “seekor sapi” bukan “sapi betina”). 

            Tafsir Al-Iklil merupakan salah satu bukti keintektualan ulama Indonesia. Aspek lokalitas pada segi penyajiannya menjadikan kitab ini memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan kitab tafsir yang lain. Kritik sosial berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an melambangkan tingginya pemahaman Kiai Misbah terhadap Al-Qur’an. Kitab seperti ini harus terus dilestarikan baik dari bentuk fisiknya maupun pengajiannya. Hal ini supaya nasihat-nasihat beliau dapat selalu kita ingat sekaligus mendorong generasi berikutnya agar terus menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.

By Muhamad Farhan Subhi

Mahasantri Darus-Sunnah