Rabbani

http://majalahnabawi.com – Sinonim adalah kesamaan makna antar satu kata dengan kata lainnya. Seperti giat-rajin, haus-dahaga, hewan-binatang, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia kata-kata ini biasanya memiliki makna dan penggunaan yang serupa. Al-Quran juga banyak memuat kata-kata yang terlihat serupa. Seperti kata halafa-aqsama (sumpah), sabil-sirath (jalan), roib-syak (keraguan), khauf-khosyah (takut) dan lain sebagainya. Pertanyannya adalah apakah kata-kata tersebut merupakan sinonim atau masing-masing kata tersebut memiliki makna dan penggunaannya sendiri, dan hanya orang-orang yang serius dalam mengkaji al-Quran yang bisa mengetahuinya ? Tulisan singkat ini akan membahas keunikan Al-Quran dari segi bahasa. Lebih tepatnya tentang sinonimitas yang ada di dalamnya. Dengan memfokuskan pada kata zauj dan imro’ah.

Kata Zauj (زوج) dan Imro’ah (امرأة)

Kedua kata ini bermakna pasangan atau istri. Al-Quran terkadang menggunakan kata zauj dan terkadang menggunakan kata imro’ah untuk menceritakan pasangan. Apakah kata zauj dan imro’ah merupakan sinonim, sehingga kita bisa menggunakan mana saja dari keduanya saat ingin membuat sebuah kalimat dalam bahasa Arab? atau terdapat perbedaan di antara keduanya?

Bint al-Syathi’ (1998) seorang mufasir wanita kontemporer dalam karyanya الإعجاز البياني للقرآن menjelasakan adanya perbedaan makna yang terkandung dalam kata zauj dan imro’ah.

Berkonotasi Baik

Ia mengatakan, diksi zauj berkonotasi baik. Seperti keserasian, ketenangan, kasih sayang dan hikmah berpasangan. Oleh karena itu pasangan kita di surga sebutannya adalah zauj. Allah Swt berfirman :

وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَنُدۡخِلُهُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا​ ؕ لَـهُمۡ فِيۡهَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّنُدۡخِلُهُمۡ ظِلًّا ظَلِيۡلًا‏

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang disucikan dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (QS. al-Nisa 4:57)

Allah Swt juga menggunakan diksi zauj untuk menggambarakan pasangan kita di dunia yang memberi ketenangan dan kasih sayang dalam hidup. Allah Swt berfirman :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Rum 30:21)

Untuk contoh lain penggunaan kata zauj, silakan perhatikan surat al-Zukhruf ayat 70, Yasin ayat 56, al-Baqarah 25, dan al-Anbiya ayat 90.

Bisa kita lihat dari contoh-contoh di atas, bagaimana penggunaan diksi zauj lebih cenderung ke hal-hal positif. Termasuk saat al-Quran menceritakan kehidupan tumbuhan (Lihat QS. Luqman 31:10, QS. Qaf 50:7) dan binatang (Lihat QS. al-Syura 42:11)

Berkonotasi Buruk

Namun, jika ayatnya tidak berkonotasi ketenangan dan kasih sayang, bahkan berupa pengkhianatan dan perbedaan akidah maka menggunakan diksi imro’ah. Perhatikan firman Allah Swt di bawah ini :

وَقَالَ نِسۡوَةٌ فِى الۡمَدِيۡنَةِ امۡرَاَتُ الۡعَزِيۡزِ تُرَاوِدُ فَتٰٮهَا عَنۡ نَّـفۡسِهٖ​ۚ قَدۡ شَغَفَهَا حُبًّا​ ؕ اِنَّا لَـنَرٰٮهَا فِىۡ ضَلٰلٍ مُّبِيۡنٍ‏  

“Para wanita di kota itu berkata, ‘Istri al-Aziz menggoda pelayannya untuk menaklukkannya. Pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami benar-benar memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf 12:30)

Ayat ini menceritakan tentang istri seorang menteri yang mencoba menggoda Yusuf agar berkenan menyetubuhinya, disebabkan ketampanan Yusuf yang membuat dirinya selalu tertarik. Perilaku ini tentu merupakan sebuah pengkhianatan terhadap suaminya.

Terkait penggunaan diksi imro’ah dalam ayat lain Allah Swt juga berfirman :

ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّـلَّذِيۡنَ كَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ​ ؕ كَانَـتَا تَحۡتَ عَبۡدَيۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَـيۡنِ فَخَانَتٰهُمَا فَلَمۡ يُغۡنِيَا عَنۡهُمَا مِنَ اللّٰهِ شَيۡــًٔا وَّقِيۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِيۡنَ‏

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang kufur, yaitu istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah (tanggung jawab) dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu keduanya berkhianat kepada (suami-suami)-nya. Mereka (kedua suami itu) tidak dapat membantunya sedikit pun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (QS. al-Tahrim 66:10)

Ayat ini mencertikan istri Nabi Nuh as dan istri Nabi Luth as yang durhaka kepada suaminya. Ibnu Katsir (774 M) mengatakan bahwa khianat yang terdapat dalam ayat ini bukan berarti berzina, akan tetapi berkhianat dalam akidah. Hal ini karena istri para Nabi dijaga oleh Allah Swt dari perbuatan zina sebagai bentuk penghormatan Allah kepada Nabi-Nya. Adapun kesalahan yang dilakukan oleh Istri Nabi Nuh adalah enggan untuk beriman dan menuduh suaminya gila. Sedangkan istri Nabi Luth selalu memberi tahu warganya yang pencinta sesama jenis ketika suaminya kedatangan tamu. Dengan tujuan agar warganya bisa “mengganggu” tamu-tamu suaminya.

Allah Swt juga menggunakan diksi imro’ah ketika menceritakan wanita yang tidak/belum Allah karuniai momongan. Alasan penggunaan diksi imro’ah adalah karena salah satu tujuan pernikahan (yakni memiliki anak) belum mereka rasakan. Allah Swt berfirman menceritakan keinginan Nabi Zakariya dan istrinya :

وَاِنِّىۡ خِفۡتُ الۡمَوَالِىَ مِنۡ وَّرَآءِىۡ وَكَانَتِ امۡرَاَتِىۡ عَاقِرًا فَهَبۡ لِىۡ مِنۡ لَّدُنۡكَ وَلِيًّا

“Sesungguhnya aku khawatir terhadap keluargaku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.” (QS. Maryam 19:5)

Ayat ini menceritakan keinginan Nabi Zakariya agar memiliki anak yang akan meneruskan ajaran tauhid. Kemudian Allah Swt mengabulkan keinginannya dan mengaruniakan kepadanya seorang anak bernama Yahya.

Setelah istrinya mengandung yang itu berarti tujuan pernikahan telah terealisasi Allah Swt berfirman :

… فَاسۡتَجَبۡنَا لَهٗ وَوَهَبۡنَا لَهٗ يَحۡيٰى وَاَصۡلَحۡنَا لَهٗ زَوۡجَهٗ‏ 

“Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, menganugerahkan Yahya kepadanya, dan menjadikan istrinya (dapat mengandung).” (QS. al-Anbiya 21:90)

Diksi yang digunakan setelah istri Nabi Zakariya mengandung bayi adalah kata zauj, sedangkan sebelum mengandung, diksi yang digunakan adalah kata imro’ah.

Al-Quran juga menggunakan diksi imro’ah ketika menceritakan Hanah, istri Imran (QS. Ali Imran 3:35). Hal ini karena ia sedang dirudung kesedihan atas wafatnya sang suami saat kehamilan anak pertamanya. Sebagaimana yang ada penjelasannya dalam Tafsir Jalalain.

Untuk contoh lain penggunaan diksi امرأة silakan perhatikan surat al-Ankabut ayat 33, al-Naml ayat 57, dan al-Hijr ayat 60.

Itulah contoh kata-kata yang terlihat serupa, namun sejatinya memiliki makna yang berbeda. Dari sini bisa kita lihat, al-Quran sungguh sangat istimewa.

Wallahu A’lam.