Majalahnabawi.com – Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit membedakan mana yang berasal dari agama an sich (sakral) dan mana yang bersifat interpretasi manusia (profan). Sesuatu yang berasal dari Tuhan tentu merupakan hal absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan hasil pemikiran dan analisa manusia merupakan hal yang nisbi, sehingga tidak masalah jika ada reinterpretasi pada hal tersebut. Namun dalam perkembangannya, mana yang sakral dan mana yang profan terkadang rancu. Tidak jarang seorang muslim melihat ‘saklek’ hal yang profan kemudian disakralkan begitupun sebaliknya. Maka dari itu, perlu reformulasi antara mana yang sakral dan mana yang profan seiring perkembangan arus informasi yang semakin deras, terlebih ke depannya dapat mempengaruhi interpretasi atas agama.

Sebagai kitab suci umat Islam, al-Quran pastilah bersifat sakral dan tentu merupakan suatu hal yang absolut. Namun apakah makna yang sampai pada hari ini kepada umat Islam merupakan hal yang sakral? Dikarenakan yang dipahami oleh umat muslim hari ini adalah hasil dari beberapa interpretasi ulama dahulu maupun kontemporer, bukan langsung berasal dari Tuhan. Sederhananya, jika seorang muslim ingin memahami makna dari sebuah ‘teks’,  maka ia perlu bertanya langsung kepada ‘author’ daripada ‘teks’ tersebut. Dari sini muncul pertanyaan, apakah seorang muslim dapat memahami makna di balik ‘teks’ al-Quran tanpa adanya penyampaian makna yang absolut kepada mereka? Dan apakah dengan menganggap bahwa interpretasi manusia atas al-Quran merupakan hal yang profan akan menjadikan al-Quran itu sendiri tidak sakral? Persoalan ini tentu dapat menjadi jalan keluar untuk membedakan mana yang sakral dan yang profan pada al-Quran.

Yang sakral pada agama terkadang memiliki pandangan yang berbeda dalam masyarakat. Semisal dalam agama Hindu menganggap bahwa lembu adalah hewan yang suci dan terhormat. Berbeda dengan umat bergama selain Hindu yang menganggap bahwa lembu adalah hewan yang biasa saja. Begitupun dengan al-Quran yang dianggap sakral bagi umat muslim dan dianggap biasa saja bagi umat beragama lain.

Membedakan Yang Sakral dan Yang Profan

Namun titik permasalahannya bukan di situ. Hal menarik yang menjadi pembahasan di sini adalah bahwa al-Quran dalam ruang lingkup umat muslim terbagi kepada mereka yang menjadikan al-Quran sebagai hal yang sakral dan profan. Penulis melihat hal ini setelah muncul sosok ilmuwan pemberani bernama Mun’im Sirry. Dalam kalangan umat muslim secara mayoritas khususnya di Indonesia sebagai umat muslim terbesar di dunia, al-Quran merupakan hal yang sakral an sich. Al-Quran dihafal dengan khusyuk bagi umat muslim, khususnya di Indonesia yang ditandai dengan berkembangnya pondok dan sekolah berbasis tahfidz al-Quran.  Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Mun’im Sirry dan beberapa ilmuwan Barat yang menganggap bahwa al-Quran dapat dilihat secara profan. Terlebih dalam analisa historisnya, banyak yang menganggap bahwa apa yang ada dalam al-Quran hari ini terdapat berbagai masalah dari berbagai aspek. Mulai dari sumbernya, surat yang tidak tertulis, bahkan sampai pada penulisan tiap huruf yang kurang. Salah satu contoh kasusnya adalah dua surat yang dianggap hilang dan tidak tertulis pada al-Quran dalam penelitian ilmuwan Barat yang berjudul “Two Lost Suras of the Quran; Surat al-Khal and Surat al-Hafd”. Yang mana dijelaskan bahwa ada beberapa surat yang dibaca Nabi Muhammad ketika salat, namun tidak terkanonisasi dalam al-Quran. (Sirry, 2021).

Maka dalam hal ini muncul persepsi bahwa menjadikan al-Quran sebagai hal yang profan tidak akan menjadikan al-Quran tersebut hilang kesakralannya. Justru ia menjadi kuat sebagai sumber otoritas umat muslim. Selama seorang muslim dapat menempatkan kesakralan dan ke-profanan pada tempatnya, maka nilai yang didapat pada al-Quran akan menjadikan hal positif bagi seorang muslim tersebut. Karena pada hakikatnya kesakralan adalah apa yang lebih mudah dirasakan daripada dilukiskan, sedangkan profan sebaliknya. Semisal dalam membaca al-Quran, kita dapat menganggap al-Quran sebagai hal yang sakral. Sedangkan pada analisa historisnya dan interpretasinya, al-Quran merupakan hal yang nisbi, profan dan tidak absolut.