Antara Pahala dan Dosa; Konsep Manajemen Potensi dan Resiko

Majalahnabawi.com – Dari sekian banyak nilai agama yang manusia menjadikannya sebagi pondasi dalam bertingkah laku, dapat dikerucutkan menjadi dua hal yang dikotomis. Sebut saja pahala dan dosa. Tidak bisa kita pungkiri, pahala dan dosa merupakan salah satu motif terbesar seseorang menjalankan ajaran agama dalam upayanya menyempurnakan hidup untuk mencapai kedudukan yang agung di alam keabadian kelak atau yang sering kita sebut akhirat.

Cerita-cerita masa kecil oleh guru-guru ngaji kita, tentang neraka yang begitu mengerikan itu, memang tak bisa hilang begitu saja dari kepala kita. Sebagai dorongan awal supaya kita taat dalam menjalankan ajaran agama, tidak masalah.

Peran Pahala dan Dosa

Permasalahannya adalah semakin dewasa seseorang banyak yang masih belum mengerti, bahwa pahala dan dosa hanyalah semacam pintu masuk saja. Dua instrumen pahala dan dosa sebenarnya merupakan manifestasi pendidikan untuk melatih kedewasaan berpikir kita dalam memahami dan mengukur dampak atas tindakan yang telah kita lakukan.

Dahulu mungkin kita mendapatkan pengetahuan tentang pahala salat berjamaah 27 derajat dan pahala salat munfarid hanya satu derajat. Tetapi, apakah sampai berumur 40 tahun (kalau bisa hidup selama itu) motif dalam menjalankan salat berjamaah sekedar supaya mendapat pahala 27 derajat?

Sebagai manusia yang setiap waktu berkembang kedewasaannya, perihal hitung-hitungan pahala semacam itu seharusnya bukan menjadi alasan utama dalam menjalankan ajaran agama.

Bahwa apa yang kita pelajari dalam agama, pastinya membawa dampak kemaslahatan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga orang lain. Tentang salat berjamaah di masjid misalnya, tidak hanya urusan pahala 27 derajat saja. Di dalamnya ada nilai silaturahmi yang kita dapatkan. Kita jadi sering bertemu banyak orang. Dari pertemuan-pertemuan itu kita menjadi akrab dengan jamaah yang lain. Keakraban-keakraban itulah yang menimbulkan rasa empati untuk saling tolong-menolong satu sama lain. Kalau ada yang sakit kita mengunjunginya, kalau ada yang kesusahan kita bantu dan lain sebagainya.

Makna Adanya Pahala dan Dosa

Pahala sebagai manajemen potensi untuk kebaikan-kebaikan yang berlanjut. Begitu pula sebaliknya dengan dosa yang merupakan manajemen resiko. Karena kita sebagai manusia dalam berbuat cenderung tidak mengenal batas atau resiko, mestilah dosa sebagai rem agar kita tidak lepas kendali dalam bertindak.

Mengutip Gus Candra Malik dari kajian “Humor Sufi” bahwa kita tidak perlu terlalu ketat terhadap diri. Yaitu dengan takut dosa atau khawatir akan pengurangan pahala karena mau bagaimanapun kita manusia yang tempatnya salah dan dosa. Sehingga dosa dan pahala tetap kita sadari, namun itu bukan menjadi tujuan kita beribadah.

Pertanyaannya tadi berlanjut lagi, ”Apakah dicantumkannya sanksi bertujuan untuk bisa menghukum manusia dengan sebanyak-banyaknya? Juga tidak! Bukankah di dalam keluarga, orang tua mengadakan sanksi hukuman kepada anak-anak yang ia cintai dan sayangi? Apakah sanksi orang tua kepada anak bertujuan agar sang ayah atau ibu bisa menghukum anak?”

Gus Candra lebih lanjut lagi menuturkan bahwa kalau kita semakin mentadabburi mengkaji kitab pedoman umat manusia (Al-Quran). Ukuran mizan di akhirat nanti bukan semata persoalan berapa banyak pahala ibadah seseorang, berapa banyak harta yang mereka keluarkan untuk fakir miskin, berapa banyak ayat suci yang mereka hafalkan dan lain sebagainya. Namun ukuran berat ringannya timbangan di alam keabadian nanti, yang akan menentukan siapa di antara hamba-Nya yang beruntung dan selamat adalah mereka yang ahsanu ‘amala.

Allah Swt. dalam QS. Al-Mulk:2, berfirman; “Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapa yang paling baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”

Catat ya! Di ayat tersebut tidak menyebutkan siapa yang paling banyak amalnya. Namun menegaskan bahwa ujian itu datang dalam kehidupan di muka bumi adalah untuk mengetahui man ahsanu ‘amala (yang terbaik amalnya) di antara hamba-hamba-Nya.

Tujuan Pahala dan Dosa Merujuk dari Pendapat Beberapa Ulama

Merujuk pendapat Sayyid Quthub dalam tafsirnya bahwa salah satu tujuan di balik penciptaan hidup dan mati tidak lain untuk menguji manusia. Sehingga akan tertanam pada diri mereka sifat selalu awas, waspada dan penuh kesadaran dalam melakukan perbuatan baik . Baik itu berupa niat yang terpendam dalam hati maupun berupa pengamalan yang tampak di alam nyata. Sehingga menjadikan manusia tidak lengah, lalai dan tidak juga menjadi merasa tenang, sehingga membuat mereka beristirahat tidak usaha apa pun.

Sebagaimana juga diturunkannya punishment sebagai manajemen resiko supaya manusia lebih waspada dan menjaga diri dari perkara yang diharamkan oleh Allah, sehingga tidak jatuh terjeremus dalam perbuatan yang dimurkai-Nya.  Sebaliknya lebih bersegera dalam mengerjakan ketaatan dan selalu mengupayakan potensi kebaikan-kebaikan yang ada dalam dirinya.

Seperti hal yang diutarakan Quraisy Shihab dalam tafsirnya, yang perlu diketahui lagi adalah ayat di atas tidak menyebutkan ‘siapa yang terburuk amalnya’ karena bertujuan untuk mengisyaratkan pada manusia bahwa sebenarnya berlomba-lomba dalam kebaikan itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita.

Yang menarik adalah Allah menutup ayat tersebut dengan asma’-Nya al-Ghafur untuk memberi kabar gembira pada hamba-Nya, meskipun jelas kita masih sering jatuh dalam jurang kemaksiatan namun pintu ampunan dan rahmat Allah akan senantiasa terbuka bagi siapa saja yang sungguh-sungguh taubat dan ingin kembali kepada-Nya. Jadi di balik ditakdirkannya dosa di muka bumi ada Allah yang sangat luas ampunan-Nya dan kasih sayang-Nya.Wallahu a’lam.

Similar Posts