Majalahnabawi.com – Segala sesuatu itu pasti ada akhirnya. Kita yang hari ini tidak tau apa nasib kita di hari esok. Apa hari esok kita itu menyenangkan atau membosankan atau bahkan menyedihkan. Gumpalan takdir telah menunggu, kita yang hari ini dan yang akan datang. Yang namanya takdir kan semua orang tidak tahu. Sekeras apapun orang berusaha, ia tak akan mampu menembus dinding takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya. Sesemangat apapun menembus dinding takdir itu, tetap tidak bakalan mampu. Begitu kira-kira kata Ibnu Atha’illah dalam kitab Hikam nya.

Berpisah adalah takdir Tuhan yang mutlak. Kita tidak bisa menikmati kehidupan di dunia ini selamanya karena di sana ada kehidupan abadi yang menanti seluruh umat manusia. Masa kanak-kanak berpisah, diganti dengan masa muda. Masa muda berpisah, diganti dengan masa remaja. Masa remaja berpisah, diganti dengan masa dewasa. Masa dewasa berpisah, diganti dengan masa tua. Masa tua berpisah, diganti dengan masa tanah. Ya, memang kita bakalan kembali lagi ke tanah. Yang awalnya dari tanah akan kembali lagi ke tanah.

Apa-apa yang dibanggakan akhirnya tidak berarti apa-apa. Harta, tahta, jabatan, cantik, ganteng semua itu hanya hiasan saja yang pada akhirnya nasib akhir manusia ditentukan amal perbuatan manusia ketika di dunia.

Kata berpisah memang sedikit menyakitkan, atau mungkin sangat menyakitkan bagi orang yang tidak biasa menjalaninya, apalagi harus berpisah dengan orang yang sangat dicintai dan disayangi. Namun semua itu pasti ada hikmahnya. Kenapa harus mati, kenapa harus diputuskan, kenapa harus sakit, kenapa harus sedih. Ada hikmah atau pelajaran dibalik semua itu yang harus kita ambil dan tetap semangat dalam menjalani hidup.

Karena tidak semua yang berpisah itu berakhir dengan menyedihkan dan tidak semua yang bersatu itu berakhir dengan menyenangkan. Takdir memang tidak bisa ditebak tapi kita hanya bisa menjalani. Baik buruknya sudah digariskan Tuhan dalam Lauhul Mahfudz-Nya. Lalu apakah kita harus menyerah saja pada takdir, toh semuanya sudah ditentukan ini sama Tuhan?. Tidak begitu juga, kalau begitu apa bedanya dengan Jabariyah.

Kita bisa belajar dari nabi Adam dan Hawa yang dipisahkan selama 500 tahun, lalu dipertemukan kembali oleh Allah di Jabal Rahmah dengan penuh kebahagiaan. Kita bisa belajar dari nabi Ayyub yang sempat dipisahkan dari kata sehat, yakni harus menderita sakit kulit selama 18 tahun namun beliau tetap sabar menjalaninya sehingga Allah kembalikan lagi kesehatannya.

Kita bisa belajar dari Imam Bukhari yang rela berpisah dengan kampung halamannya dan keluarga tercintanya bertahun-tahun demi mencari kebenaran suatu hadis, sehingga jasanya akan terus dikenang dan dipelajari oleh para pengkaji hadis dengan karyanya yang monumental Shahih Bukhari, berikut imam-imam hadis yang lain.

Banyak orang yang frustasi, depresi bahkan gantung diri dengan adanya perpisahan. Mereka itulah orang-orang yang gagal uji. Karena hidup di dunia itu memang banyak ujian. Siapa saja yang lulus dengan ujian maka ia adalah orang-orang yang berhasil.

Kita harus takut jika tidak diuji oleh Tuhan. Jika tidak diuji oleh Tuhan berarti ia termasuk orang yang gagal. Cara menguji Tuhan terhadap hambanya bermacam-macam. Ada yang diuji dengan sesuatu yang menyenangkan ada pula yang diuji dengan kesusahan. Tergantung orangnya apakah akan lulus dengan ujiannya atau tidak. Apakah nanti akan mendapatkan nilai yang bagus atau jelek. Semua hasil tersebut akan disidangkan di persidangan akhir untuk akhirya apakah kita layak diwisuda atau tidak.

Supaya kita lulus dari persidangan Tuhan, maka persiapkanlah diri kita dari sekarang, yakni dengan cara menghiasi diri dengan penuh kesabaran dan ketaqwaan pada Tuhan agar nanti ketika kita wisuda mendapatkan kebahagiaan yang abadi yang belum pernah sama sekali kita rasakan sebelumnya.

 

By Taufik Hidayat

Mahasantri Darus-Sunnah angkatan Auliya 21