Saat ini merupakan zaman yang sanagat cepat merebak luasnya informasi dan berjuta maklumat baru yang kita hadapi, sedikit banyaknya mengandung kebenaran atau kebohongan, lantaran informasi yang sedemikian banyaknya itu terkadang ada yang mengandung berita bohong dan ada berita yang memang benar-benar terjadi dan bisa dirasakan hawa kebenarannya. Patokan berita bohong itu terlihat dari banyaknya perbedaan pada setiap kanal berita yang ada, baik dari segi judul maupun tanggal terbit, apalagi yang terkihat mencolok adalah kabar lama yang kemudian terbit kembali dan hal itu selaras dengan kejadian saat ini.

Dalam perspektif ilmu Hadis bahwa penerima kabar haruslah memastikan kebenaran dan kevalidan berita tersebut agar tidak jatuh dalam lubang rantai kebohongan yang berlipat ganda dan penerima pun tidak di-stigmasisasi kalau dia adalah pendusta, verifikasi berita merupakan hal yang amatlah penting bagi setiap orang yang menerima berita, dari siapakah berita itu? bagaimanakah berita itu disampaikan? Apakah berita ini dapat dibertanggungjawabkan? dan sederet pertanyaan lain yang dapat membuat kita bisa memastikan bahwa berita yang sampai kepada kita adalah berita yang tidak dicampuri oleh bumbu-bumbu logika dan hasil investigasinya adalah valid.

Belakangan ini sering kita menerima kabar dari beberapa kalangan muballig mengenai orang tua Rasulullah Saw berada di Neraka, hal ini berlandaskan dalil berikut :

عَنْ أَنَسٍ؛ أنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رسُولَ اللهِ، أيْنَ أَبِى؟ قَالَ:  فِى النَّارِ ، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاةُ فَقَالَ: إن أَبِى وَأبَاكَ فِى النّارِ

Artinya : “Dari Anas, bahwasannya ada seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” beliau menjawab “di Neraka. Ketika lelaki tersebut berpaling dari Rasul Saw, maka beliau memanggilnya dan berkata “sesungguhnya ayahku dan ayahmu di Neraka”  (HR. Muslim)

Apabila kita hanya mencermati secara literal Hadis diatas, pasti kita bisa menyimpulkan dan memahami tanpa fikir panjang bahwa Hadis tersebut menyatakan kedua orang tua Nabi Muhammad Saw berada di Neraka sama dengan kedua orang tua lelaki yang datang dan bertanya kepada Rasulullah Saw.

Hal ini sama dengan apa yang dituliskan oleh Imam Nawawi dan imam al-Qory dalam kitabnya Muro’ah al-Mafatih Syarh Misykat yang ditulis oleh imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Muhammad Abdu as-Salam bin Khan Muhammad bin Amanillah bin Husam ad-Din ar-Rahmaniy al-Mubarakfury (w.1414 H) yang menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi berada di Neraka dengan landasan bahwa mereka masih menerima dakwah dan syariat yang berasal dari para nabi sebelumnya.

Apabila kita sandingkan Hadis diatas dengan firman Allah Swt:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

Artinya : “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Isra: 15)

Bahwa  yang dimaksud oleh ayat diatas adalah “kami tidak mengadzab dalam berbagai macam amalan yang tidak memilikin landasan pengetahuan amalan itu selain menggunakan pengetahuan berdasarkan syariat berupa amalan ibadah dan had”.

Kemudian pendapat diatas didukung oleh pendapat muallif sendiri bahwa beliau menuturkan bahwa kedua orang tua nabi masih dalam masa yang sering dikenal dengan istilah ahlu Fatrah yang tidak mendapatkan adzab lantaran kedua orang tua nabi masih berada di zaman yang tidak terdapat satu nabi dan rasul pun saat itu.

Adapun perkataan Rasulullah saw ” إن أَبِى وَأبَاكَ فِى النّارِ “ adalah perkataan yang memiliki maksud tertentu yakni yang seperti dituliskan dalam syarah shahih Muslim bahwa beliau menuturkan demikian karena untuk menghibur sahabat yang bertanya saat itu. Sedangkan imam Suyuthi bersaksi bahwa kedua orang tua nabi itu selamat dari adzab.

Kemudian penulis kitab Muro’ah al-Mafatih Syarh Misykat bahwa hal yang lebih selamat dan lebih hati-hati dalam menyikapi hal ini ialah diam lantaran hal itu merupakan hal yang masih diperdebatkan.

Wallahu a’lam bi as-Showab