Sepintas dan dengan melihat zhahirnya saja, ada beberapa orang yang memiliki pemahaman dari ayat وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ (QS. Al-Dhuha[93] :7), bahwa Nabi Muhammad SAW dahulunya pernah sesat.

Suatu ayat tidak bisa “dimakan” mentah-mentah dengan hanya melihat zhahirnya atau bahkan hanya mengandalkan terjemahan. Sebagaimana halnya tepung, telur, gula, dan mentega yang butuh proses dahulu hingga dapat menjadi kue yang lezat, maka Al-Quran pun demikian. Untuk menafsirkan suatu ayat, ulama lah yang berhak dan mempunyai kapabilitas melakukannya. Barulah kemudian masyarakat awam “menyantapnya”.

Lalu, bagaimanakah penafsiran ulama terhadap surat Al-Dhuha ayat 7 tersebut?

Ibn Al-Jauzi menjelaskan dalam Tafsir Zad Al-Masir bahwa maksud ayat ini adalah:

Ada enam penafsiran ulama tentang firman Allah SWT “Dan Dia mendapatimu  sebagai orang yang ‘sesat’”:

  1. Maksudnya adalah tersesat dari tanda-tanda kenabian dan hukum-hukum syariat, maka kemudian Dia (Allah) menunjukkanmu (Nabi Muhmmad SAW) kepada hal itu. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, diantaranya Al-Hasan dan Al-Dhahak.
  2. Maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW tersesat ketika beliau masih kecil, di bukit di Makkah. Maka kemudian Allah mengembalikannya kepada Abdul Muthallib kakeknya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Al-Dhuha dari Ibn Abbas
  3. Ketika beliau keluar bersama Maysarah-budak khadijah-, iblis mengambil tali kekang unta nabi, lalu menjadikan unta itu berpaling/berbelok dari jalannya. Lalu malaikat Jibril datang meniup Iblis hingga ia terlempar ke Habsyah, kemudian mengembalikan unta itu ke kabilahnya. Maka Allah menolong beliau SAW dengan hal itu. Ini adalah pendapat Sa’id ibn Al-Musayyib.
  4. Makna ayat tersebut adalah: Allah mendapatimu berada di antara kaum yang sesat, kemudian Allah memberimu petunjuk kepada tauhid dan kenabian. Tafsiran ini dikatakan oleh Ibn Al-Saib
  5. Dia mendapatimu dalam keadaan lupa, kemudian menunjukimu kepada zikir. Sama halnya dengan surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya “supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” Ini adalah pendapat Tsa’lab
  6. Dia mendapatimu dalam keadaan tidak dikenal, kemudian Dia menunjukkan orang-orang kepadamu sehingga mereka mengenalmu. Ini dikatakan oleh Abdul Aziz ibn Yahya dan Muhammad ibn ‘Ali Al-Tirmidzi.

Dari semua tafsiran di atas, tidak ada satupun yang mengarah dan mengatakan bahwa nabi Muhammad Saw dahulu pernah sesat dalam artian sama seperti kesesatan orang-orang Jahiliyyah. Karena para Nabi terbebas dari kesyirikan, dosa-dosa besar dan maksiat.

Dalam Al-Jawahir Al-Hasan fi Tafsir Al-Quran dikatakan:

اخْتَلَفَ الناسُ في تأويلِهِ، والضلالُ يَخْتَلِفُ، فمنه البعيدُ ومنه القريبُ؛ فالبعيدُ ضلالُ الكفَّارِ، وهذا قَدْ عَصَمَ اللَّهُ منه نَبِيَّه فَلَمْ يَعْبُد صلى الله عليه وسلم صَنَماً قط، ولا تَابعَ الكفارَ على شيءٍ مما هم عليه من الباطلِ

“Para ulama berbeda pendapat dalam mentakwil ayat ini. Makna sesat pun berbeda-beda. Ada yang maknanya jauh, ada yang maknanya dekat. Makna yang jauh adalah dengan mengartikannya sebagai “kesesatan orang-orang kafir”. Dan Allah telah menjaga nabi-nabi dari hal itu. Nabi Muhammad Saw tidak pernah sekalipun menyembah berhala, tidak juga pernah mengikuti orang-orang kafir atas sesuatu yang mereka pegang dari kebathilan-kebathilan.”

Dalam buku yang sama disebutkan perkataan ‘Iyadh:

ولا أعلمُ أحداً من المفسرينَ قَال فيها ضالاًّ عَنْ الإيمانِ

“Aku tidak mengetahui seorang pun di antara para ahli tafsir yang mengartikan sesat dalam ayat ini dengan ‘sesat dari keimanan’.”

Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith ditegaskan:

ووجدك ضالاً: لا يمكن حمله على الضلال الذي يقابله الهدى، لأن الأنبياء معصومون من ذلك

(“Dan Dia mendapatimu  sebagai orang yang ‘sesat’): sesat dalam ayat ini tidak mungkin diartikan dengan kesesatan kebalikan dari hidayah. Karena para nabi terjaga dari hal itu.

Sementara Fakhruddin Al-Razi lebih tegas lagi mengatakan:

وأما الجمهور من العلماء فقد اتفقوا على أنه عليه السلام ما كفر بالله لحظة واحدة

“Jumhur ulama sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah kafir kepada Allah meskipun sekejap.”

Begitulah beberapa penafsiran ulama tentang ayat ini. Tidak ada satu pun yang mengartikannya bahwa Nabi Muhammad Saw dahulunya pernah sesat dalam artian kafir. Karena Allah menjaga beliau Saw dari hal itu.