Benarkah Tidur Membatalkan Wudhu?
Majalahnabawi.com – Permasalahan yang sering dijumpai dalam hal perkara membatalkan wudhu adalah mengenai apakah tidur itu membatalkan wudhu atau tidak.
Sering kita lihat di masjid/musala, banyak anak-anak atau orang tua tertidur saat menunggu salat Subuh berjamaah. Lantas ketika ikamah (seruan segera berdiri untuk salat berjamaah) dikumandangkan, apakah seseorang yang tertidur tersebut wajib berwudu kembali atau tidak?
Perlu diketahui bahwasanya tidur merupakan kegiatan yang dilakukan oleh makhluk hidup secara umum. Pada saat seseorang tertidur, maka seseorang itu akan mengalami suatu keadaan di mana kesadaran seseorang akan sesuatu menjadi turun.
Dalam kitab-kitab fikih, kita temukan bab mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu. Di dalamnya tercantum mengenai tidur, yang menurut ulama Fikih tidur dapat dikategorikan seperti hilang kesadaran layaknya seseorang pingsan, gila dan lain sebagainya. Tidur menyebabkan mematikan rasa seseorang sehingga tidak dapat merasakan apa pun, namun gila, pingsan dan keadaan yang serupanya itu memiliki pengaruh yang lebih besar daripada tidur.
Hadis-hadis Tentang Tidur Ketika Sudah Wudu
Sebelum lanjut lebih jauh, mari kita lihat hadis-hadis yang membahas mengenai berwudu setelah tidur sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ حَتَّى يَنْفُخَ، ثُمَّ يَقُومُ، فَيُصَلِّي، وَلَا يَتَوَضَّأُ” قَالَ الطَّنَافِسِيُّ: قَالَ وَكِيعٌ: تَعْنِي وَهُوَ سَاجِدٌ
Riwayat dari Sayyidah Aisyah RA. ia berkata: Rasulullah Saw tidur hingga terdengar tarikan nafasnya, kemudian beliau bangun dan salat tanpa berwudu terlebih dahulu. al-Thanafisi berkata, Waki’ berkata: Maksudnya bahwa beliau dalam keadaan sujud. (HR. Ibnu Majah, dalam kitab Sunan Ibni Majah, No. 474)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ “أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَامَ حَتَّى نَفَخَ، ثُمَّ قَامَ، فَصَلَّى”
Riwayat dari Abdullah RA. berkata: Rasulullah Saw tidur hingga terdengar tarikan nafasnya, setelah itu beliau salat dan tidak berwudu. (HR. Ibn Majah dalam Kitab Sunan Ibn Majah, No. 475)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: “كَانَ نَوْمُهُ ذَلِكَ، وَهُوَ جَالِسٌ، يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “
Riwayat dari Ibnu Abbas RA. ia berkata: Begitulah beliau tidur, yakni dalam keadaan duduk. Yang dimaksud adalah Nabi Saw. (HR. Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibni Majah, No. 476)
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ”
Riwayat dari Ali bin Abu Thalib RA. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: Mata adalah tali penutup dubur, maka barang siapa tertidur hendaklah ia wudu. (HR. Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibni Majah, No. 477)
Penjelasan Hadis
Setelah kita melihat hadis-hadis tersebut, lantas seperti apakah penjelasannya?
Kita dapat melihat sekilas bahwa dalam beberapa kasus tidurnya seseorang itu tidak membatalkan wudhu.
Hujah yang berpendapat bahwa tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu adalah atas dasar dari sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ali RA. Yang telah disebutkan di atas yaitu,
“الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ”
Rasulullah Saw. bersabda: Mata adalah tali penutup dubur, maka barang siapa tertidur hendaklah ia wudhu. (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menerangkan secara umum bahwa barang siapa yang tidur, maka wajib berwudu yang mengindikasikan bahwa tidur dapat membatalkan wudu.
Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu” menyebutkan bahwasanya tidur itu sendiri bukanlah sesuatu yang membatalkan wudhu.
Lebih lanjut Syekh Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa sebab perdebatan ulama tidur yang seperti apa yang membatalkan wudhu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu mengenai posisi tidur, dan kualitas -berat atau ringannya- tidur itu sendiri.
Posisi Tidur
Menurut Mazhab Syafii dan Mazhab Hanafi, tidur yang membatalkan wudu adalah tidur tidak merapatkan pantat ke tempat duduknya, atau tertidur dalam keadaan miring, berbaring dan semacamnya. Jika tidur dalam keadaan duduk yang mana pantat menempel tempat duduknya, maka menurut mereka tidak membatalkan wudu.
Lebih jauh, ulama dari mazhab Hanafi menyebutkan bahwa tidur dalam posisi duduk, berdiri, sujud seperti dalam salat itu sejatinya tidak membatalkan wudu, karena masih dapat menahan tubuhnya. Jika tidak dapat menahan tubuhnya, dia akan terjatuh (lunglai sendinya). Terjatuh itulah yang menandakan seseorang masih dapat terjaga atau tidak. Selain itu, dalam posisi seperti itu akan selamat dari keluarnya sesuatu, yang mana diketahui bahwa dalam keadaan tidur kita tidak mengetahui apakah ada sesuatu yang keluar dari dua lubang dubur dan kubul- seperti kentut dan semacamnya. Oleh karena itu, dengan posisi duduk pantat yang menempel pada tempat duduknya itu mencegah keluarnya sesuatu dari dua lubang tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw. yang telah disebutkan di atas,
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لَيسَ عَلىَ مَن نَامَ سَاجداً وُضُوءٌ، حَتَّى يَضْطَجِعَ، فإِنَّهُ إذَا اضطَجَعَ اِستَرَخَتْ مَفَاصَلُهُ”
Tidak diwajibkan wudhu bagi orang yang tidur dalam posisi sujud, sehingga ia berubah menjadi dalam keadaan berbaring (miring), karena apabila ia berbaring maka lunglailah (loyo) segala sendinya. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa posisi tidur mempengaruhi, apakah tidur itu membatalkan wudhu atau tidak.
Jika seseorang tidur dengan posisi-posisi yang menyebabkan sendinya lunglai (loyo) yang mana menunjukkan dia tidur terlelap dan telah memasuki keadaan dia tidak dapat merasakan apa pun layaknya orang yang pingsan dan gila, maka itu membatalkan wudhu.
Kualitas Tidur
Pendapat lain mengenai tidur dapat ditemukan dari pendapat ulama dari Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali, yang mana mereka berpendapat bahwa tidur yang sekejap, sebentar dan ringan tidak dapat membatalkan wudu. Namun, jika tidur dengan lelap maka dia membatalkan wudhu. Hal ini juga mengidentifikasikan bahwa tidur yang nyenyak walaupun sebentar dapat dikategorikan sebagai hal yang membatalkan wudu, begitu pun sebaliknya, jika tidurnya tidak nyenyak dalam waktu yang lama, maka tidak membatalkan wudhu menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili. Hal ini disebabkan pendapat mereka atas dasar sabda Nabi Saw. di antaranya:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: “كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ “قَالَ أَبُو دَاوُدَ: زَادَ فِيهِ شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: كُنَّا نَخْفِقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَوَاهُ ابْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ بِلَفْظٍ آخَرَ
Sahabat Rasulullah Saw. biasa menunggu akhir salat Isya sampai kepala mereka ngangguk-ngangguk (mengantuk), kemudian mereka mengerjakan salat dan tidak berwudu lagi. (HR. Abu Dawud)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ، “فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، ثُمَّ نَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى نَفَخَ، وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ، ثُمَّ أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ فَخَرَجَ فَصَلَّى، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ”.
Dari Ibnu Abbas RA. bahwa ia berkata: Saya pernah menginap di rumah Maimunah, istri Nabi Saw., sementara pada malam itu Rasulullah Saw. bermalam di rumahnya. Kemudian Rasulullah Saw. berwudu lalu berdiri dan salat. Maka saya pun berdiri (salat) di samping kirinya, lalu beliau memegangku dan meletakkanku di sebelah kanannya. Pada malam itu, beliau salat sebanyak tiga belas rakaat. Sesudah itu, Rasulullah Saw. tidur hingga beliau mendengkur. Memang, jika tidur beliau mendengkur. Kemudian seorang muazin pun mendatangi beliau (untuk mengumandangkan azan), hingga beliau keluar dan menunaikan salat dengan tidak berwudu lagi. (HR. Muslim).
Kesimpulan Penjelasan
Dalam hadis-hadis ini dapat diidentifikasikan bahwasanya tidur yang tidak nyenyak itu tidak dapat membatalkan wudhu.
Lebih lanjut Syekh Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa tidur yang tidak menyebabkan hilangnya ingatan tidak membatalkan wudu, karena tidur itu bentuk kekalahan pada ingatan akal dan yang menjadi pembatalnya adalah hilangnya akal. Sekiranya akal itu masih ada dan ada upaya tidak menghilangkan akalnya seperti dalam tidur masih dapat berpikir, merasakan hal-hal yang di sekitarnya, masih dapat mendengar percakapan orang lain dan dapat memahaminya, maka hal tersebut tidaklah menyebabkan batalnya wudu.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, bahwa tidur yang dapat membatalkan wudhu terletak pada:
1. Posisi tidur, yaitu tidak pada tempatnya, berubah tempatnya seperti terjatuh, atau tidur dengan miring dan telentang maka itu dapat membatalkan wudu
2. Kualitas tidur, yaitu tidur yang sangat nyenyak yang menyebabkan hilangnya akal maka itu dapat membatalkan wudu.