Idul Adha adalah hari istimewa umat Islam yang substansinya mengandung arti spiritual dan sosial. Pada hari itu, dengan hati khusyuk lisan-lisan mengumandangkan tahmid (pujian) dan takbir (mengagung-agungkan) terhadap kebesaran Allah Swt.

Pada pagi harinya secara berbondong-bondong dilaksanakan shalat Ied berjamaah, yang diakhiri dengan mendengarkan nasehat-nasehat ulama untuk aktualisasi makna Idul Adha di masa kini. Selepas shalat Ied diperintahkan kepada umat Islam yang mampu untuk berkurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada saudara, tetangga dan fakir miskin di sekitarnya. Yang demikian itu dimaksudkan, agar nilai spiritual penghambaan dan rasa syukur kepada Allah Swt termanifestasi secara nyata dan selalu aktual dalam wujud kesetiakawan sosial, yang pada puncaknya rahmat Idul Adha dapat dirasakan secara menyeluruh.

Sebagaimana firman Allah SWT:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat Karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (QS. al-Kautsar: 2)

Namun, untuk  konteks Indonesia yang tingkat pluralitas masyarakatnya sangat tinggi, umat Islam dihadapkan pada soal ekspresi kesetiakawanan sosial terhadap tetangga ataupun handai taulan yang non muslim. Apakah dibolehkan bagi seorang muslim yang sedang berkurban untuk membagikan sebagian daging kurbannya kepada non-muslim?

Sebagai mahluk sosial yang indonesianis apakah bisa merasa nyaman; di mana orang-orang Islam asyik menikmati daging kurban yang dibagi-bagikan, lalu menyatenya dan menggulainya secara berjamaah, sementara tetangga non-muslim hanya mendengar, melihat dan membau asapnya saja?

Dalam hal ini, seorang muslim yang dianugerahi kemampuan berkurban diperbolehkan membagikan sebagian daging kurbannya kepada kerabat, sahabat, tetangga ataupun handai taulan yang non muslim. Khususnya, ketika hal itu diniatkan untuk membangun kesetiakawanan sosial, sambung rasa dan saling menghargai, maka urgensitas membagikan daging kurban kepada non-muslim tentu semakin besar sekali.

Hukum boleh membagikan sebagian daging kurban kepada non-muslim, bisa didasarkan pada hal-hal berikut:

Pertama, tidak ada dalil yang secara sharih (jelas) melarang seorang muslim membagikan daging kurbannya kepada non-muslim. Sehingga, kebolehan membagikan daging kurban kepada non muslim dapat dimasukkan dalam keuniversalan firman Allah Swt:

لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. al-Mumtahanah: 8)

Kedua, sebuah kisah riwayat Ibnu Umar Ra:

إِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، رَأَى حُلَّةَ سَيْرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا لِلنَّاسِ يَوْمَ الْجُمْعَـةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوْا عَلَيْكَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لُهُ فِي الْآخِرَةِ. ثُمَّ جَاءَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْهَا حُلَلٌ، فَأَعْطَى عُمَرَ مِنْهَا حُلّة، فَقَالَ عمرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَسَوْتَنِيْهَا، وَقَدْ قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّيْ لَـمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا. فَكَسَاهَا عُمَرُ أخًا لَهُ مُشْرِكًا بِمَكَّةَ

Bahwasannya Umar Bin Khatab melihat selendang-sarung bergaris sutera yang dijual di pelataran Masjid, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, jika saja engkau membeli ini, lalu engkau kenakan di hari jumat dan juga untuk menerima utusan   jika mereka datang menemuimu”. Rasulullah Saw menjawab: “Sesungguhnya yang memakai ini (selendang-sarung bergaris sutera) adalah orang yang tidak punya bagian kehormatan di akhirat kelak. Beberapa saat kemudian, Rasulullah Saw dibawakan beberapa kain bergaris-garis sutera dan memberikan satu diantaranya kepada Umar. Kemudian Umar berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku memakainya, padahal engkau telah mengatakan soal kain suteranya pedagang ‘Utharid sebagaimana yang lalu pernah engkau katakan. Rasulullah Saw menjawab: “Aku memberimu bukanlah dengan tujuan agar engkau memakainya”. Lalu, Umar memberikan kain sutera itu kepada sepupunya (dari jalur Ibu) yang non muslim di Makkah. (HR. Muslim)

Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi (w. 676 H) dalam bukunya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin al-Hajjaj mengulas hadis di atas seraya memetik pelajaran dari padanya (istinbath), bahwa seorang muslim diperbolehkan memberikan hadiah kepada non Muslim, terlebih lagi kepada non muslim yang masih ada hubungan kerabat yang tentunya menjadi kewajiban untuk menyambung silaturahmi dengan berbuat baik.

Ketiga, dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi (w. 676 H) meriwayatkan bahwa Imam Al-Hasan al-Bashri, Imam Abu Hanifah  (w. 150 H) dan Imam Abu Tsaur membolehkan dihadiahkannya sebagian daging kurban kepada Non Muslim. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i yang dianutnya sendiri beliau menyatakan:

وَلَـمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا كَلَامًا فِيْهِ، وَمُقْتَضَى الْمَذْهَبِ أَنَّــهُ يَـجُـوْزُ إِِطْعَامُهُمْ مِنْ ضَحِيَّةِ التَّطَوُّعِ دُوْنَ الْوَاجِبَةِ

Saya tidak mendapati bahasan detail soal ini dari ulama madzhab Syafi’i, namun inti dari kehendak madzhab Syafi’i adalah boleh memberi non muslim sebagian daging kurban tathawwu’ (yang hanya bernilai anjuran),  bukan dari daging kurban yang bernilai wajib (ada unsur nadzarnya).

Pendapat ini juga dipegang oleh pengikut madzhab Hanbali, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Manshur bin Yunus al-Buhuthi al-Hanbali (w. 1051 H) dalam bukunya Kasyaful Qina’ ‘an Matni al-Qina’:

وَيَـجُـوْزُ الْإِهْدَاءُ مِنْهَا أي الْأُضْحِيَةِ لِكَافِرٍ إِنْ كَانَتْ تَطَوُّعًا

Dibolehkan menghadiahkan sebagian daging kurban kepada orang non muslim, bila nilai kurbannya masih dalam kategori thatowwu’ (dianjurkan) yakni tidak ada unsur nadzarnya.

Berdasarkan argumen di atas, umat Islam Indonesia dibolehkan menghadiahkan sebagian daging kurbannya kepada non-muslim, sebagai wujud ekspresi dari rasa kesetiakawanan sosial dan saling menghargai. Momen Idul Adha ini bisa menjadi motor penggerak kedamaian, persahabatan dan persatuan di alam Indonesia yang majemuk ini. Terlebih lagi, menyebarkan kasih sayang, saling menghargai dan sambung rasa dalam kebaikan mempunyai nilai ketakwaan yang tinggi di hadapan Allah Swt, dan hanya dengan ketakwaan ini seorang hamba yang beriman mencapai ridho-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt:

لَنْ يَنالَ اللَّهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَلكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ كَذلِكَ سَخَّرَها لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى ما هَداكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Hajj: 37).

Walaupun demikian, tidak juga dipungkiri bahwa ada pendapat lain yang berbeda dalam hal ini, di mana sebagian umat Islam mengikutinya. Dan, sudah seharusnya hal itu dihormati dan dihargai. Semoga kurban-kurban yang diniatkan ikhlas karena Allah Swt dan teraplikasi dalam ketakwaan yang bisa dirasakan sebagai rahmat dan kebahagiaan untuk semua, dapat dijadikan pegangan dan sandaran kelak untuk menghadap Allah Swt pada Yaumul Hisab (hari penghitungan amal) kelak.

Wallahu a’lam bisshawab

***

By Dr. H. Mohamad Shofin Sugito, Lc, M.A

Dosen Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences