'Adalah

Majalahnabawi.com – Pada masa pasca Nabi Muhammad ﷺ, muncullah berbagai macam corak penafsiran dalam al-Quran. Hal ini karena para generasi muslim telah ditinggalkan oleh sang pembawa al-Quran (Nabi Muhammad ﷺ), sehingga tidak memiliki sandaran yang dapat dijadikan sumber otentik untuk pegangan yang kokoh dalam penafsiran al-Quran. Karena sang pembawa al-Quran telah meninggalkan umatnya dan meninggalkan pusaka abadi (al-Quran) yang senantiasa Sang Maha Pencipta jaga.

Dalam penafsiran al-Quran terdapat berbagai pendekatan, metode dan juga corak. Istilah-istilah tersebut sering digunakan secara bergantian, tumpang-tindih, serta tidak digunakan secara mapan. Sebagian ulama menyebut metode penafsiran ada dua, yakni metode penafsiran dengan riwayat serta dengan ra’yu. Ada sebagian penulis menyebut beberapa metode penafsiran, yang oleh penulis lain tidak menyebut sebagai metode, melainkan kecenderungan (ittijah), seperti tafsir fiqhi, falsafi, ‘ilmi, ijtima’i, dan lain sebagainya. Berangkat dari kerancuan tersebut, tulisan ini bermaksud menjelaskan persoalan pendekatan, metode penyajian, serta beragam corak dalam diskursus tafsir al-Quran.  

Pendekatan Penafsiran al-Quran

Abdullah Saeed mencatat ada empat pendekatan tradisional yang digunakan dalam penafsiran al-Quran: pendekatan berbasis linguistik, pendekatan berbasis logika, pendekatan berbasis tasawuf, dan pendekatan riwayat.

Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul, yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah. Momentum ini menemukan masa emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti Abbasiyah, yaitu Harun al-Rashid (785-809 M). Sang khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-Makmun (813-830 M). Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman keemasan.

Di sisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam memahami al-Quran, serta mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Quran, maka muncullah kemudian tafsir fiqhi, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan lain-lain.

Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Quran. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.

Asal Usul Munculnya Corak Tafsir

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Di samping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Quraish Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi.

Tafsir Sufi

Tafsir sufi pada dasarnya adalah suatu proses pemahaman terhadap kalam Tuhan melalui pendekatan tasawuf. Adapun esensi ajaran tasawuf berada sedekat mungkin dengan Tuhan melalui pensucian jiwa (batin), disebabkan jiwalah yang mendorong dan menjadikan seseorang sampai ke peringkat kebahagiaan hakiki adalah dengan jiwanya yang suci. Kesuksesan aspek lahir pun pada dasarnya sangat bergantung pada kesuksesan aspek batin. Di mana sebenarnya posisi tafsir sufi dalam struktur tafsir yang baku, sebab tanpa mengetahui posisi tafsir sufi termaksud dihawatirkan terjadi kekeliruan seperti kekeliruan yang terjadi pada kaum batiniyyah yang menyatakan dalam prinsip tafsirnya bahwa makna batinlah yang dimaksud dalam setiap ayat bukan makna lahir. Sebaliknya kaum Zahiriyyah yang menolak tafsir batini menyatakan makna lahirlah yang dituju oleh setiap ayat dalam al-Quran, bukan makna batin. Sebenarnya tafsir sufi tidak identik dengan tafsīr batini, sebab tafsir sufi kecuali menjelaskan makna yang tersembunyi, juga para mufassir sufi tidak meniadakan makna lahir dari setiap ayat.

Sementara tafsir Batiniyah hanya mengakui dan membenarkan interpretasi yang tersirat melalui isyarat-isyarat setiap ayat dengan mengabaikan makna lahir. Dalam perkembangan selanjutnya mereka menolak syariah. Padahal konsep Islam yang sebenarnya adalah menyatunya aspek lahir dan batin secara sinergis dalam semua segi, yakni aqidah, syariah, dan haqiqah.

Metode Sufi dalam Menafsirkan Al-Quran

Menafsirkan al-Quran dengan jalan takwil seperti yang dilakukan kaum sufi, sebenarnya telah dilakukan orang sejak zaman silam. Sebelum tafsir sufi dihimpun dalam koleksi yang tersusun secara sistematis dan metodis, pada beberapa kalangan tertentu sudah ada beberapa aliran kebatinan yang berpegang pada keyakinan bahwa al-Quran mencakup ajaran-ajaran yang jauh lebih kaya daripada apa yang diajarkan menurut lahiriyahnya. Hakikat ajaran bagi para ulama sufi memang jauh lebih tinggi daripada pandangan keagamaan bagi kaum muslimin pada umumnya (awam).

Bagi para sufi, ilmu pengetahuan diperoleh melalui studi secara konvensional dan melalui pengamalan secara sempurna terhadap ilmu yang telah diperolehnya (riyādhah). Ilmu yang diperoleh dengan jalan terahir, dalam term tasawuf disebut ilmu isyārī.

Pernyataan al-Ţhusi di atas melukiskan bahwa untuk menafsirkan al-Quran secara sufistik. Di samping seorang mufassir harus mengetahui ilmu-ilmu tafsir yang lazim, ia harus memiliki ilmu yang merupakan perolehan (ilmu mauhibah) sebagai atsar (efek) dari mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya (ilmu ladunnī) ilmu yang diperoleh karena amal sehingga hijāb terbuka. al-Gazali menyebutnya mukāsyafah (kasyf al-hijāb). Melalui kekuatan inilah sufi tingkat tinggi memperoleh isyarat makna batin al-Quran. Dengan kekuatan itu jiwa manusia dapat berkomunikasi dengan alam dan Tuhan sehingga akan tergetar dengan rasa kagum, cinta, rindu, makrifah. Perasaan yang bergetar dalam jiwa sufi itu bila diterjemahkan ke dalam kata-kata akan menjadi tafsir sufi.

By Wildan Najmi

Mahasantri Darus-Sunnah, Koordinator Editor LPM Nabawi 2021-2022, Mahasiswa STAI Al-Karimiyah