Majalahnabawi.com – Dalam memahami nash al-Quran memerlukan ilmu yang meliputinya, seperti pemahaman tentang manthuq, mafhum, mujmal, dan mubayyan. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan empat hal tersebut.

Pengertian Manthuq

Para ahli ushul fiqh mendefinisikan manthuq dengan definisi sebagai berikut

دلالة اللفظ فى محل النطق على حكم المذكور

“Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum apa yang disebut dalam lafaz tersebut”

Dari definisi tersebut memiliki arti bahwasanya jika memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang tersurat secara gamblang dan jelas pada lafaz tersebut, pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara “manthuq”. Dengan kata lain, mantuq merupakan pengertian secara harfiah dari suatu lafaz yang terucapkan.

Sebagai contoh, firman Allah Swt yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ 4:23 :

وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ

(jangan kamu mengawini) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri.

Dari ayat tersebut, terdapat sebuah penjelasan secara apa adanya bahwasanya haram untuk mengawini seorang anak tiri dengan dua alasan ketentuan, yaitu karena anak tiri tersebut berada dalam asuhan suami dan ibu dari anak tiri tersebut sudah pernah digaulinya.

Pengertian Mufassar

Mufassar ialah lafaz yang merujuk pada makna yang diinginkan sighat lafaz tersebut ataupun siyaqul kalam, namun ia tidak bisa ditafsirkan serta ditakwilkan selain dengan syarak itu sendiri dan bisa menerima nasakh saat masa Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana contoh yang terdapat pada QS. al-Taubah ayat 36

وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ

dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya

Lafadz “kaffah” yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan mufassar, tidak bisa ditafsirkan ataupun ditakwilkan dengan yang lainnya.

Hukum Lafaz Mufassar

Pengamalan lafaz mufassar harus sesuai dengan petunjuk (dalalah) dari lafaz itu sendiri ataupun oleh syarak selama tidak ditemukan dalil sahih yang bisa menasakhnya.

Pengertian Mafhum

Dalam buku Ushul al-Fiqh karya Muhammad Khudri dijelaskan bahwa pengertian mafhum adalah sebagai berikut

دلالة المفهوم: وهو دلالة اللفظ لا في محل النطق على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه، أو على نفى الحكم عنه

Mafhum merupakan suatu implikasi dari suatu kata, yang mana tidak pada tempatnya pada ketetapan hukum dari sesuatu yang sudah disebutkan bagi sesuatu yang didiamkan (tidak dikomentari lagi) atau pada penafian pada suatu hukum darinya.

Sedangkan dalam buku karya Ma’shum Zein, al-Ghazali memberikan pengertian mafhum yaitu:

المَفْهُوْمُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَا فِيْ مَحَلِّ النُّطْقِ

Mafhum merupakan suatu hukum yang mana dikarenakan suatu lafadz yang tidak menurut pada bunyi lafaz itu sendiri”, namun menurut pada pemahaman atau arti/makna yang terkandung dalam lafaznya.

Maksudnya ialah hukum-hukum yang diperoleh tidak berdasarkan dari bunyi suatu dalil, namun berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya. Misalkan ayat tentang nafkah seorang istri yang telah ditalak oleh suaminya sebagaimana terdapat dalam QS. al–Thalaq ayat 6

وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٦

Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin

Ayat tersebut mengandung sebuah pengertian suatu hukum yang tidak tertulis, yakni bahwa seorang perempuan yang tidak hamil dan ditalak oleh suaminya. Maka sang istri tidak diberi nafkah oleh mantan suaminya tersebut, karena sesuai dengan aoa yang tertulis dalam ayat tersebut menyatakan bahkan yang wajib diberi nafkah itu ialah ketika perempuan tersebut keadaannya sedang hamil. Mafhumnya adalah jika perempuan tersebut tidak hamil, berarti dia tidak wajib diberikan nafkah.

Pengertian Mujmal

Pengertian mujmal secara bahasa yaitu global atau tidak terperinci, dengan arti lain sebuah lafadz belum dapat dipahami secara utuh karena masih bersifat umum atau samar. Sedangkan menurut istilah yaitu:

اَلْمُجْمَلُ هُوَ اَلَّلفْظُ الّذِى لاَيُفْهَمُ الْمَعْنَى الْمُرَادُ مِنْهُ اِلاَّ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الْجُمَلِ

“Mujmal adalah lafadz yang tidak dapat difahami makna yang menunjukkan arti sesungguhnya”.

Selain pengertian tersebut, terdapat beberapa pendapat yang diberikan beberapa ahli Ushul Fiqh di antaranya:

a. Menurut Hanafiyyah, mujmal adalah “lafaz yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafaz itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari pembuat syariat yaitu Allah Swt dan Rasulullah Saw”.

b. Adapun Abu Ishaq al-Syirazi seorang ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah memaknai mujmal sebagai “lafaz yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau jika ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’)”.

c. Sedangkan yang dimaksud dalam istilah ushul yaitu lafaz yang tidak ditunjukkan maksudnya oleh sighat lafaz tersebut. Dengan arti lain tidak ditemukannya qarinahqarinah yang berkenaan dengan lafaz sebab tersembunyi.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mujmal yaitu sebuah bentuk lafaz atau ungkapan yang memiliki berbagai keadaan atau ketentuan yang tidak dapat dipahami secara pasti kecuali dengan adanya pernyataan lain yang menjelaskan dengan lebih terperinci. Contohnya seperti dalam ayat al-Quran surah Al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”.

Ayat ini merupakan bentuk lafaz mujmal, karena belum dijelaskan secara terperinci mengenai syarat, rukun, dan tata cara melakukan ibadah salat maupun zakat sehingga masih memerlukan penjelasan (mubayyan), yang mana selanjutnya Rasulullah Saw menjelaskan dalam sabdanya yakni:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى

“Salatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihatku salat”. (HR. Bukhari).

Hukum Lafaz Mujmal

Hukum lafaz mujmal yang ditemukan dalam al-Quran maupun hadis adalah ditangguhkan, tidak dapat dijadikan sebagai hujah selama belum menemukan dalil lain yang dapat menjelaskannya. Kemudian apabila sudah ditemukan penjelasan (bayan) dari penjelasan lafaz atau dalil lain, maka lafaz mujmal tersebut dapat digunakan dan dilaksanakan sesuai dari ketentuan hukum bayannya.