www.majalahnabawi.com – Pada awal bulan April 2012 yang lalu, selama empat hari kami berada di Jayapura dan sekitarnya. Kedatangan kami di Ibu Kota Provinsi Papua ini adalah dalam rangka memenuhi undangan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN Al-Fatah Jayapura) [sekarang IAIN Fattahul Muluk Papua, ed.] untuk mengadakan seminar tentang dakwah Islam di Kota tersebut. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan dakwah Islam di Jayapura khususnya dan Papua umumnya. Juga kami manfaatkan untuk menengok saudara Muhammad Taufik Hidayat, dai yang dikirim oleh Darus-Sunnah untuk bertugas di Jayapura dan di sekitarnya yang sudah di sana hampir satu tahun lamanya.

Dibanding dengan daerah-daerah seperti Kaimana dan Fakfak, Jayapura memang memiliki nuansa yang agak berbeda. Di Kaimana dan Fakfak kami menjumpai banyak warga asli Papua yang beragama Islam, bahkan mereka tampak mendominasi jumlah umat Islam di kedua daerah tersebut. Di Kaimana waktu itu (2010), begitu pula di Fakfak, para Bupati sampai Camat, menurut istilah setempat Kepala Distrik, adalah warga asli Papua yang beragama Islam. Karenanya, baik di Fakfak maupun di Kaimana tidak tercium sama sekali aroma Separatisme.

Ketika kami datang di Sentani Jayapura, di mana terdapat bandar udara terbesar di Papua, ketika kami keluar dari Bandara kami diajak lewat jalan yang tidak macet. Hal itu karena di jalan protokol Sentani terdapat kerumunan orang yang melakukan demonstrasi dan mereka menuntut diadakannya referendum untuk wilayah Papua.

Menurut ketua STAIN Al-Fatah Jayapura, jumlah umat Islam di Papua saat ini [2012 ed.] adalah mayoritas dibanding yang bukan muslim. Presentase umat Islam mencapai lebih dari 51% dibanding yang bukan muslim. Hanya saja jumlah warga asli Papua yang muslim belum mencapai mayoritas. Mereka lebih banyak non-muslim daripada yang muslim. Dan yang dimaksud dengan non-muslim di sini adalah mereka yang sudah memeluk agama tertentu, dan kebanyakan masih menganut kepercayaan animisme. Ketika kami menyampaikan ceramah khususnya di masjid-masjid di Jayapura dan sekitarnya, kami tidak melihat suasana Papua, melainkan kami seperti berceramah di Jakarta. Hal itu karena kami sulit melihat warga asli Papua, sementara mereka yang hadir dalam ceramah itu multi-etnis dari berbagai suku di Indonesia. Berbeda dengan yang kami lihat di Fakfak atau Kaimana, warga asli Papua sangat mendominasi yang hadir dalam pengajian-pengajian tersebut.

Tidak dipungkiri lagi bahwa sebagian kecil warga asli Papua ada yang menuntut diadakannya referendum untuk menentukan masa depan Papua. Mereka mengusung dua argumen, yang pertama adalah mereka menganggap diri mereka bukan rumpun Melayu, yang kedua mereka bukan Muslim. Sementara, dalam anggapan mereka, bangsa Indonesia adalah terdiri dari rumpun Melayu dan beragama Islam. Karenanya, mereka menuntut diadakannya referendum tersebut. Padahal pada tahun 60-an (1966) di Papua telah diadakan Pepera (penentuan Pendapat Rakyat). Dan hasilnya adalah warga Papua, yang saat itu masih disebut Irian Barat memilih kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Pepera itu sendiri sama dengan referendum, sementara penyebutan Irian yang konon diberikan oleh Bung Karno adalah singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland.

Sebenarnya, warga Papua sudah tidak ada masalah kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi. Tetapi ada pendatang dari daerah lain yang memprovokasi mereka.

Apabila di Fakfak dan Kaimana tidak tercium aroma separatisme atau tuntutan referendum, karena warga asli Papua mayoritas Muslim, maka untuk konteks Papua upaya untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya membentang luas dari Sabang sampai Merauke, tidak ada cara lain kecuali dengan menggalakkan dakwah Islam di Bumi Cenderawasih itu.

Tentang kesejahteraan warga Papua, maka pengamatan kami ketika memasuki perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini, warga Papua tampak jauh lebih sejahtera dibandingkan warga Papua Nugini. Kendati barang-barang di Papua lebih mahal daripada di Jawa, tetapi justru warga Papua Nugini ramai berbelanja di kawasan perbatasan. Pemerintah Republik Indonesia saat ini banyak membangun rumah toko (ruko) di wilayah perbatasan, karena banyak warga Papua Nugini berbelanja di wilayah Indonesia, sementara orang Indonesia tidak ada yang berbelanja di Wilayah Papua Nugini. Hal ini menunjukkan kesejahteraan warga Papua lebih bagus daripada kesejahteraan warga Papua Nugini. Kendati demikian pemerintah Republik Indonesia perlu meningkatkan kesejahteraan mereka agar mereka sejajar dengan warga-warga lain di seluruh bumi Indonesia.