majalahnabawi.com – Wahabi dan NU tidak akan dapat bertemu. Hal ini merupakan suatu statement yang terus menerus mengalir di pikiran masyarakat Indonesia. Dari banyaknya sumber di luaran sana, tak sedikit yang menggambarkan bahwasannya kedua kubu tersebut selalu menyalahkan bahkan adapula yang mengkafirkan satu sama lain. Padahal dapat kita telisik dari Abdullah bin Umar, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: ”Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu.” (HR. Imam al-Bukhari). Dalam riwayat lain: “Jika seperti apa yang dia katakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada diri sendiri.” (HR. Muslim)

Melihat fenomena ini, KH. Ali Mustafa Yaqub berusaha mengambil sikap. Beliau selaku sosok yang pernah berdiri di kedua sisi ini berusaha untuk memperlihatkan kepada kita khususnya masyarakat Indonesia dan dunia umumnya, bahwasannya Wahabi dan NU ini memiliki beberapa titik temu yang darinya dapat merubah pandangan kita terhadap Wahabi dan NU ini sehingga terciptalah al-ukhuwah al-Islamiyyah. Dengan buku beliau yang berjudul “Titik Temu Wahabi-NU” ini beliau memaparkan berbagai macam persoalan-persoalan yang menjadi perselisihan dan mampu mengambil jalan damai di antara persoalan-persoalan tersebut dan memberikan rujukan dari kedua belah pihak. Sehingga dari para pihak dapat memahami pendapat satu sama lain dan saling menghormati serta tidak semena-mena saling mengkafirkan.

Tanggapan Terhadap Buku

Tentunya banyak sekali tanggapan dari kedua belah pihak terkait buku karangan Pak Yai ini. Tidak sedikit dari mereka memberikan tanggapan yang sinis dan kritik di dalamnya. Hal ini kiranya wajar karena tak banyak tokoh-tokoh pembesar dari kedua belah pihak yang pernah memberikan atau menampakkan kedekatan dan toleransi terhadap satu sama lainnya. Maka dari itu, para pengikutnya pun memiliki wawasan yang sempit tentang keduanya dan cenderung menjelekkan secara sepihak tanpa melakukan analisa lagi.

Selain itu, segala sesuatu yang masyarakat awam terima memberikan kesan yang negatif dari kedua pihak karena selama ini banyak sekali berita-berita di internet dan perkataan para dai kondang yang mengandung unsur-unsur negatif dan bahkan berani mengkafirkan pihak lain tersebut.

Menapaki di Dua Kubu

Dari buku ini, penulis dapat memahami bahwasannya KH. Ali Mustafa Yaqub tidak hanya berusaha menampakkan titik-titik temu tersebut melainkan beliau berusaha untuk menyampaikan kepada para pembaca khususnya dan masyarakat umumnya bahwasannya kita sebagai umat muslim harus saling menghormati satu sama lain, bukan malah saling menyalahkan bahkan saling mengkafirkan. Karena hal ini kiranya dapat memberikan dampak yang negatif terhadap persatuan umat yang malah menjurus kepada perpecahan umat Islam. Tentu saja hal ini akan merugikan kita dan menguntungkan musuh-musuh Islam yang telah nyata.

Ketika kita melihat latar belakang pendidikan KH. Ali Mustafa Yaqub, beliau dahulu merupakan lulusan dari Pondok Pesantren Tebuireng, yang mana Hadlratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari adalah pendirinya. Setelahnya, beliau menempuh pendidikan di Jazirah Arab. Dari ini kita tahu bahwasannya Pak Yai merupakan orang yang sudah pernah terjun di lingkungan kedua belah pihak sehingga beliau memiliki lebih banyak praktik atau pengalaman dibandingkan kebanyakan orang. 

Dalam sudut pandang beliau, mungkin beliau merasa adanya kejomplangan antara apa yang sudah beliau alami secara langsung di sana dengan apa yang selalu menjadi persoalan di masyarakat dewasa ini. Maka dari inilah, beliau mencoba untuk mempersatukan umat dengan menuangkan sedikit pengalamannya di dalam buku ini. Setelah buku ini terbit, tak kiranya banyak sekali respon dari kedua belah pihak, baik dari kalangan NU sendiri maupun Wahabi, baik merespon positif maupun negatif.

Titik Masalah

Sependek pencarian penulis, terdapat lebih banyak orang-orang yang memberikan kritik dan respon negatif terhadap karangan beliau ini. Namun, setelah kebanyakan penulis baca dapat tersimpulkan bahwasannya mereka memberikan kritik berdasarkan teori-teori dan penjelasan secara deskriptif yang mana memang darinya dapat kita pahami bahwasannya antara NU dan Wahabi sendiri tidak mungkin bertemu karena Wahabi kebanyakan sudah melabeli warga NU sebagai golongan musyrik. Namun, apa yang KH. Ali Mustafa Yaqub sampaikan adalah berdasarkan pengalaman beliau yang sudah lama belajar dari kedua belah pihak, sehingga beliau tentunya lebih tau tentang amalan-amalan mereka yang nyata ketimbang orang-orang yang hanya bersifat subjektif dari sebelah pihak saja.

Dan perlunya kita menggarisbawahi bahwasannya apa yang menjadi persoalan antara Wahabi dan NU hanyalah persoalan furu’iyyah (cabang) semata, bukan permasalahan pokok akidah sehingga kiranya kita tidak boleh saling mengkafirkan satu sama lain. Di dalam buku ini, KH. Ali Mustafa Yaqub memberikan beberapa contoh apa yang menjadi persoalan dewasa ini yang pada dasarnya setiap kedua belah pihak memiliki dalil masing-masing dalam berhujah sehingga tidak boleh adanya pelabelan kafir dan semacamnya.

Dari sini kiranya dapat kita pahami bahwasannya KH. Ali Mustafa Yaqub merupakan tokoh yang memiliki sifat mulia, yaitu menghalau perpecahan umat. Perbedaan furu’iyyah merupakan hal yang sangat lumrah di kalangan intelek sehingga kiranya tidak perlulah adanya keributan di dalamnya sehingga lebih baik berfokus pada persamaan dan kesatuan demi terjalinnya persaudaraan Islam yang kuat dan menjaga Islam dari musuh-musuhnya.