Biar Tuhan yang Menjawab Mengapa Kita Tak Bisa Bersama; Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadis
Majalahnabawi.com-Manusia yang allah swt ciptakan terdiri atas laki-laki dan perempuan untuk saling berpasang-pasangan, seperti yang telah Allah swt jelaskan dalam Q.S. Az Zariyat ayat 49 yang berbunyi:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, Allah swt menciptakan semua makhluk dengan berpasang-pasang. Mulai dari bumi dan langit, matahari dan rembulan, terang dan gelap, iman dan kafir, hidup dan celaka. Demikian juga dengan semua makhluk hidup tak terkecuali manusia yang allah ciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan.
Namun akhir-akhir ini dunia pemikiran Islam di Indonesia terguncang oleh munculnya pemikiran liberal, meskipun benih-benihnya sudah tumbuh pada era 1970-an, namun generasinya sekarang semakin mekar. Dalam memahami Nash (teks-teks al-Quran dan hadis), kelompok liberalis ini mengusung kebebasan pemikiran dan cenderung pada pemahaman pluralisme agama. Merekapun menafsirkannya sesuai keinginan mereka, dan bukan pada pemahaman–pemahaman seperti yang para ulama kembangkan selama ini.
Pernikahan Beda Agama
Salah satunya adalah masalah Pernikahan beda agama yang kini menjadi polemik aktual. Hal ini mencuat setelah terbitnya buku Fiqih Lintas Agama dan buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), dari dua buku itu dapat tersimpulkan bahwa nikah beda agama antara muslim dan non-muslim kebolehannya bersifat luas, tak hanya pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab (penganut Yahudi dan Nasrani), bahkan mereka berani mengambil suatu istinbath (penetapan hukum) bahwa nikah beda agama adalah sesuatu yang oleh agama anjurkan.
Padahal islam telah menjelaskan bahwa nikah beda agama antara muslim dengan non-muslim, apalagi non-muslim itu bukan penganut agama yahudi atau nasrani, dan para ulama telah sepakat bahwa pernikahan itu haram, baik antara pria muslim dengan wanita non-muslimah, maupun antara pria non-muslim dengan wanita muslimah. Keharaman ini terdapat dalam firman Allah:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Ayat tersebut dengan tegas melarang pernikahan muslim dengan non-muslim, baik antara lelaki muslim dengan wanita non-muslim, maupun sebaliknya. Sementara, mengenai pernikahan kaum muslim dengan non-muslim (Ahli kitab), terdapat dua kategori:
Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Non-Muslimah
Wanita non-muslimah disini adalah ahli kitab, dimana syari’at islampun memperbolehkannya. Dan beberapa dari sahabatpun mempraktikannya seperti Sahabat Thalhah dan Sahabat Hudzaifah, dan tak ada satupun sahabat yang menentangnya. Sementara itu, dalam fatwa MUI pada tanggal 1 Juni 1980 tentang haramnya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, maka hal ini didasarkan pada kemaslahatan yang sifatnya lokal, karena dapat juga diartikan wanita Kristen dan wanita Yahudi di Indonesia menurut Imam al-Syafi’i tidak tergolong sebagai ahli kitab.
Pernikahan Pria Non-Muslim dengan Wanita Muslimah
Mengenai hal ini, para ulama sepakat atas keharaman pernikahan non-muslim dengan wanita muslimah, seperti yang telah terdapat dalam potong Surat al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi:
فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ
“Apabila kamu telah mengetahui bahwa wanita-wanita mukminah itu benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka yang kafir. Wanita-wanita muslimah itu tidak halal (dinikahi) oleh lelaki-lelaki kafir, dan lelaki-lelaki kafir itu tidak halal (menikahi) wanita-wanita muslimah.”
Ayat tersebut dengan tegas mengharamkan pernikahan lelaki kafir dengan wanita muslimah. Selain itu juga telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitabnya Tafsir al-Thabari yang meriwayatkan Hadis dari Jarir bin Abdillah bahwa Nabi Saw bersabda:
نتروج نساء أهل الكتاب ولا يتزوجون نساءنا
“Kami (kaum muslim) menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab, tetapi mereka (laki-laki Ahli Kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami”
Selain hadis di atas, keharaman pernikahan pria non-muslim dengan wanita muslimah juga diperkuat oleh ijma dan hadis-hadis lainnya yang semakna.
Dari pemaparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwasannya asumsi rasio yang membolehkan pernikahan laki-laki non-muslim dengan perempuan muslimah atas dasar persamaan hak dan keberagaman (pluralisme) tidak bisa dibenarkan, karena pernikahan adalah bagian dari ibadah umat Islam yang acuannya adalah al-Quran, hadis, dan ijma (konsensus) sahabat, bukan berdasarkan rasio dan selera semata. Namun, mengapa tiba-tiba muncul kelompok liberal yang ‘menuntut’ akan kebolehan pernikahan tersebut? Tentu ada sesuatu di belakang gerakan liberal ini. Sekiranya pernikahan itu boleh, tentu pada masa Nabi atau setelahnya sudah ada fatwa ulama yang memperbolehkannya.
Islam dan Pluralisme
Islam pun tidak mengajarkan pluralisme, Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama, bukan pluralisme. Tidak benar pula jika Islam ini termaktubdengan kata liberal, karena liberal berkonotasi bebas dan ketidakpatuhan. Dan perlu adanya penegasan bahwa mengenai masalah nikah beda agama yaitu pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagi perintah. Sehingga dari sini Allah menegaskan bahwa sikap laki-laki mukmin dan wanita mukminah apabila Allah telah menetapkan suatu masalah adalah ia harus tunduk dan patuh terhadap ketetapan itu, ia tidak boleh mengikuti pikiran dari dirinya sendiri.