Mengenal Ilmu Qira'at

Majalahnabawi.com Al-Qur’an dan Hadis adalah pilar terpenting dalam ajaran Islam, karena keduanya termasuk petunjuk hidup bagi umat manusia untuk meraih nilai kebahagiaan serta keselamatan di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk memahami firman Allah Ta’ala (al-Qur’an) maupun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tentu saja manusia memerlukan metode/cara untuk memahaminya, terlebih jika terdapat ayat-ayat maupun hadis-hadis mutasyabihat (ungkapan yang maksud dan maknanya samar/ma khafiya bi nafs al-lafzh). Oleh sebab itu, jika terdapat redaksi dalam al-Qur’an maupun Hadis yang mengesankan seolah-olah Allah menyerupai makhluk-Nya, maka ada dua metode/cara yang sebaiknya ditempuh: pertama, takwil; dan kedua tafwidh. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam kitab Jauhar Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqani (w. 1041 H) bait ke-40 yaitu:

وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا ۝ أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا

“Setiap Nash yang mengesankan tasybih (menyerupakan Allah Swt. dengan makhluk-Nya), maka takwilah. Atau pasrahkanlah artinya kepada Allah, tapi peganglah prinsip tanzih (menyucikan Allah dari segala keserupaan)!.”

Metode Takwil

Takwil adalah mengalihkan suatu lafaz dari maknanya yang rajih (kuat) kepada maknanya yang marjuh (lemah) karena ada indikasi yang menyertainya. Metode ini dipakai oleh mayoritas ulama khalaf/ulama yang hidup di akhir abad ke-4 dan setelahnya.

Syekh M. Hasan Hitou dalam kitabnya Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri’ al-Islami, menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar takwil tersebut menjadi benar sebagai berikut:

  • Takwil itu harus sesuai dengan ketentuan bahasa Arab atau kebiasaan dalam penggunaannya. Setiap produk takwil yang melenceng dari syarat ini, maka takwilnya tidak benar.
  • Harus ada dalil (indikasi) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari lafaz tersebut adalah makna yang dipahami secara takwil dari makna yang zhahir (tekstual). Jika dalil ini tidak ada, maka takwilnya batal.
  • Apabila dalil takwil berdasarkan qiyas (analogi), maka qiyas tersebut disyaratkan harus jali (jelas sehingga langsung dapat dipahami) bukan khafi (samar).
  • Takwil tersebut tidak dihukumi batal berdasarkan zhahir al-nash (teks dalil secara eksplisit).

Metode Tafwidh

Sedangkan metode tafwidh ialah menetapkan teks sebagaimana aslinya serta memasrahkan hakikat makna yang dimaksud kepada Allah dan Rasul-Nya. Metode ini dipakai oleh mayoritas ulama salaf/ulama yang hidup pada tiga masa generasi terbaik (sahabat, tabi’in & tabi’ tabi’in).

A. Contoh-contoh Ayat Mutasyabihat

=> QS. Thaha [20]: 5

﴾الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴿

Dengan metode takwil, ayat ini bermakna “Yang Maha Pengasih berkuasa atas ‘Arsy,” sebab bersemayam tidak sesuai dengan kesucian-Nya, karena Dia tidak bertempat.

Syekh Mustafa Dieb al-Bagha dalam kitabnya al-Wadih fi Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa faktor yang mendorong ulama khalaf untuk melakukan takwil ini dan sejenisnya adalah campur aduknya pemikiran Yahudi yang menjisimkan Allah Swt. dengan pemikiran beberapa kaum muslimin yang menyeleweng, menggantungkan sebagian yang lain dengan zahir nash (teks dalil), dan memahami teks dalil secara tersendiri dari yang lainnya. Perlu diketahui bahwa nash-nash tersebut secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh.

Sedangkan dengan metode tafwidh, ayat ini bermakna “Yang Maha Pengasih beristiwa atas ‘Arsy,” adapun bagaimana Dia beristiwa, hakikat maknanya dipasrahkan kepada Allah.

Diceritakan dalam kitab Tuhfat al-Murid ‘ala Jauhar at-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Baijuri (w. 1277 H), pada suatu hari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) pernah ditanya oleh seseorang perihal ayat di atas, lantas beliau langsung menunduk dan berkata:

اَلْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَظُنُّكَ إِلَّا ضَالًّا

“Mengenai istiwa’ hal itu sudah jelas. Mengenai bagaimana istiwa’ itu tidak bisa dinalar. Mengimani istiwa’ adalah wajib. Sedangkan menanyakan hal itu bid’ah. Menurut dugaanku tidak lain kau itu keliru.”

Sebagaimana yang kita tahu, bahwasanya memang mayoritas ulama salaf memegang metode tafwidh. Namun demikian, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang menggunakan metode takwil. Karena pada realitanya justru terdapat banyak riwayat dari Abdullah bin Abbas (w. 68 H) -yang mana ia merupakan termasuk ke dalam kategori ulama salaf- yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, antara lain sebagai berikut:

1. QS. Al-Baqarah [2]: 255

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ. قال ابن عباس: كُرْسِيُّهُ: عِلْمُهُ

Dalam kitab tafsir at-Thabari tertulis bahwasanya lafaz ‘kursi’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ilmu-Nya Allah’.

2. QS. Al-Fajr [89]: 22

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وعن ابن عباس : أَمْرُهُ وَقَضَاؤُهُ

Dalam kitab tafsir al-Nasafi tertulis bahwasanya lafaz ‘datangnya Tuhan’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ‘perintah dan kepastian Allah’.

3. QS. Az-Zariyat [51]: 47

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَمَعْنَى (بِأَيْدٍ) أَيْ بِقُوَّةٍ وَقُدْرَةٍ

Dalam kitab tafsir al-Qurthubi tertulis bahwasanya lafaz ‘beberapa tangan’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ‘kekuatan dan kekuasaan Allah’.

4. QS. Hud [11]: 37

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا. قال ابن عباس: بِمَرْإيٍّ مِنَّا

Dalam kitab tafsir al-Baghawi tertulis bahwasanya lafaz ‘beberapa mata’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ‘penglihatan Allah’.

5. QS. An-Nur [24]: 35

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ. يقول ابن عباس: اللهُ سُبْحَانَهُ هَادِى أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Dalam kitab tafsir at-Thabari tertulis bahwasanya lafaz ‘cahaya’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ‘Allah yang menunjukkan penduduk langit dan bumi’.

6. QS. Ar-Rahman [55]: 27

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْوَجْهُ عِبَارَةٌ عَنْهُ

Dalam kitab tafsir al-Qurthubi dituliskan bahwasanya lafaz ‘wajah Allah’ oleh Ibn Abbas di takwil dengan ‘wujud dan Dzat Allah’.

Selain Ibn Abbas di atas, Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) sebagaimana yang terdapat dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih karya Ali al-Qari, beliau pernah mentakwil lafaz istiwa’ dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 29

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ

dengan ‘berkehendak menciptakan langit’.

Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibn Katsir, beliau pernah melakukan takwil terhadap beberapa teks yang mutasyabihat, antara lain ayat tentang ‘datangnya Tuhan’ (QS. Al-Fajr [89]: 22)

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. أَنَّ أحمدَ بن حنبل تَأَوَّلَ قولَ اللهِ تعالى وجاء ربك: أنه جاءَ ثَوَابُه

Ditakwil dengan ‘datangnya pahala dari Tuhan’, bukan datang dalam arti bergerak dan berpindah.

Demikianlah beberapa riwayat tentang takwil-takwil yang dilakukan oleh beberapa ulama salaf sejak generasi sahabat dan setelahnya. Adapun salah satu contoh riwayat tentang takwil yang dilakukan oleh ulama khalaf,  di antaranya yaitu yang dilakukan Imam al-Bukhari (w. 256 H) dalam QS. Al-Qashash [28]: 88:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari karya Imam Ibn Hajar al-Asqalani, dituliskan bahwasanya Imam Bukhari menakwilkan lafaz ‘wajah Allah’ dengan ‘kerajaan Allah dan amal yang dilakukan semata-mata karena mencari rida Allah’.

B. Contoh-contoh Hadis Mutasyabihat

1. Hadis Allah Sakit

Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي. قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ

“Hai anak Adam! Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?” Jawab anak Adam, “Wahai Rabb-ku, bagaimana mengunjungi Engkau, padahal Engkau Tuhan semesta alam?” Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa kamu tidak mengunjunginya? Apakah kamu tidak tahu, seandainya kamu kunjungi dia kamu akan mendapati-Ku di sisinya?…” (H.R. Muslim no. 2569)

Pendapat Ulama Tentang Hadis Ini:   

Syekh Ali al-Qari (w.1014 H) dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih berkata: “Aku sakit namun kamu tidak menengok-Ku”, secara tekstual maknanya bahwa Allah sakit. Penyakit hanya terdapat pada diri orang yang sakit dan lemah. Sedangkan Allah Mahaperkasa, Mahakuat, dan Maha merajai. Oleh karena itu, maksudnya adalah “Hamba Allah sakit”. Penisbatan pada diri-Nya dalam perkataan ini merupakan bentuk penghormatan-Nya terhadap hamba tersebut. Kemudian Dia menempatkan hamba itu dalam kedudukan Dzat-Nya.

Kemudian Imam al-Asbihani menjelaskan dalam kitabnya Musykil al-Hadis wa Bayanuh bahwasanya hal ini seperti Firman Allah Swt. :

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya..” (Q.S. Al Mujaadilah [58] : 5)

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” (Q.S. Al Ahzab [33] : 57)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu..” (Q.S. Muhammad [47] : 7)

serta ayat-ayat dan Hadis-hadis sejenisnya menyebutkan Diri Allah sendiri, maksudnya adalah para kekasih Allah dan Nabi-nabi-Nya.  

Kesimpulannya bahwa siapa yang menengok orang sakit karena Allah, maka seolah-olah ia mengunjungi Allah. Perbuatan ini dikategorikan sebagai kemuliaan dalam hal pahala dan membalas suatu perbuatan dengan pahala yang lebih utama. “Aku sakit” artinya “Hamba-Ku sakit.” “Tentu kamu akan menemukan-Ku,” yaitu rida-Ku.

2. Hadis Allah Turun ke Langit

Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Setiap malam Tuhan kita turun ke langit dunia pada sepertiga akhir dari waktu malam. Seraya berfirman: Siapa yang berdo’a kepada-Ku, pasti Aku kabulkan. Dan siapa yang meminta kepada-Ku, pasti Aku penuhi. Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni.” (H.R. Bukhari no. 1145)

Pendapat Ulama Tentang Hadis Ini:   

Syekh Ibnu Utsaimin (Salafi-wahabi) mengatakan dalam kitabnya Syarh Aqidah al-Wasathiyah bahwa turunnya tersebut adalah turun yang sebenarnya:

قوله (يَنْزِلُ رَبُّنَا.. إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا): نزولُه تعالى حقيقيٌّ

“Sabda Nabi (Tuhan kita turun ke langit dunia): turunnya adalah secara hakikat/sebenarnya.”

Pemahaman dalam Perspektif Akidah

Pemahaman ini dalam perspektif akidah menurut Buya Arrazy tidaklah benar sebagai ajaran salaf. Ini dapat kita katakan sebagai penyimpangan Salafi dari ajaran salaf.

Imam Ibn Jauzi (w. 597 H) dalam kitabnya Kasyf al-Musykil min Hadits al-Shahihain berkata: “Kita harus mengetahui sifat yang jaiz dan mustahil bagi Allah Swt. Di antara yang mustahil bagi-Nya adalah bergerak, berpindah dan berubah.” Sebagaimana Imam Abu Ja’far ath-Thahawi juga berkata dalam kitabnya al-Aqidah ath-Thahawiyyah:

وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ، وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ ۝ لَا تَحْوِيْهِ الجِّهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

“Allah maha suci dari batasan-batas (hudud), ujung (ghayat), anggota-badan (besar-kecil), dan perangkat-perangkat. Dia tidak diliputi oleh enam penjuru arah (atas-bawah, depan-belakang, kanan-kiri) sebagaimana makhluk.”

Imam Ibn Batthal dalam kitabnya Syarh al-Bukhari li Ibni Bathal berpendapat bahwa yang maksud dari lafaz nuzul (turun) tersebut mengandung beberapa kemungkinan:

  • Mungkin dapat kita katakan bahwa maknanya adalah Allah menampakkan rahmat-Nya bagi mereka dan mengabulkan doa-doa mereka.
  • Mungkin juga maknanya adalah turunnya (nuzul) para malaikat atas perintah-Nya.
  • Bisa juga makna nuzul tersebut adalah tampaknya suatu perbuatan setelah perbuatan. Apabila perbuatan-Nya itu adalah karunia (dengan mengabulkan doa), maka disebut nuzul (turun).
  • Adakalanya lafaz tersebut maksudnya adalah Dia mendatangi penduduk bumi dengan membawa rahmat dan pemberitahuan pahala yang Dia sampaikan kepada hati para pelaku kebaikan dan larangan-larangan yang mendorong mereka untuk berbuat taat.

Sedangkan Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad menakwilkan Hadis ini, beliau berkata: “Adapun al-Nuzul maknanya adalah bersikap lembut dan sayang. Ini adalah sifat yang mungkin (jaiz) bagi-Nya.”

3. Hadis Allah Tertawa

Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ كِلَاهُمَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ. فَقَالُو:ا كَيْفَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْلِمُ فَيُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَيُسْتَشْهَدُ

Allah tertawa terhadap dua orang yang saling membunuh, dan kedua-duanya masuk surga.” Maka para sahabat bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Salah seorang darinya berperang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla lalu dia mati syahid, kemudian Allah menerima tobat si pembunuh, lalu ia masuk Islam dan berperang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla hingga mati syahid.” (H.R. Muslim no. 1890)

Pendapat Ulama Tentang Hadis Ini:

Imam Ibn Jauzi (w. 597 H) dalam kitabnya Kasyf al-Musykil min Hadits al-Shahihain berkata: “Mayoritas ulama salaf tidak tidak menjelaskan Hadis seperti ini. Mereka mengartikan apa adanya. Dalam hal ini kita harus memperhatikan kaidah sebelum mengartikannya. Kaidah tersebut adalah tidak boleh ada sifat baru bagi Allah, dan sifat-sifatNya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Maka, cara memaknai Hadis tersebut adalah dengan tidak menafsirkannya.” (Ini merupakan metode tafwidh)

Adapun Imam al-Bukhari (w. 256 H) menakwilkan tertawanya Allah adalah rahmat-Nya. Sedangkan Imam al-Qurthubi (w. 597 H) dalam kitabnya al-Istidzkar berkata: “Makna Allah tertawa kepadanya adalah Allah Swt. menerimanya dengan rahmat, keridhoan, pemaafan dan ampunan. Kata al-dhahk (tertawa) di sini adalah majaz (konotasi). Karena dalam hal tertawa, tidak layak menyandangkan kepada Allah yang ada pada manusia. Sebab tidak ada sesuatu pun yang seperti Allah dan segala sesuatu tidak ada yang menyerupai-Nya.”

Lantas bagaimanakah pendapat guru kami, yaitu Almagfurlah Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA. (w. 1437 H) dalam memahami ayat-ayat maupun hadis-hadis mutasyabihat seperti di atas?

Pendapat Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.

Dalam hal seperti ini, beliau berpendapat dalam bukunya ath-Thuruq as-Shahihah fi Fahmi as-Sunnah an-Nabawiyah yaitu: “Cara memahami (Ayat/Hadis) seperti ini menurut kami adalah yang paling berhati-hati. Apalagi masalah ini masuk dalam kategori akidah. Tentunya kita harus bersikap hati-hati dan mengikuti apa yang Allah Swt dan Rasulullah Saw sampaikan tanpa ada campur tangan dari pendapat dan pemikiran kita.”

“Cara yang paling utama dan paling hati-hati dalam permasalahan seperti ini adalah kita katakan sebagaimana Imam Jalal al-Din al-Mahalli (w. 864 H) rahimahullah mengatakan tentang firman Allah Swt: “Alif Lam Mim”: “Allah lebih mengetahui makna yang Allah kehendaki dari lafadz itu (Allah a’lam bi muradih bi dzalik).” Begitu pula mengenai sabda Rasulullah Saw: “Tuhan turun ke langit,” dapat kita katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui makna yang Ia kehendaki dengan kedua lafadz itu.” Wa Allah a’lam.

Itulah di atas pendapat para ulama salaf dan khalaf perihal sikap mereka dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis mutasyabihat. Berbicara tentang nash-nash mutasyabihat baik dalam ayat al-Qur’an maupun Hadis, tentu saja kaitannya selalu erat dengan masalah akidah. Beragamnya pendapat ulama dalam menyikapi ayat dan Hadis mutasyabihat menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dan ijtihadiyah dalam memahami isi kandungan yang terdapat dalam nash-nash tersebut.

Menggunakan metode apapun di dalam memahami ayat maupun hadis mutasyabihat, dalam Ahlusunnah wal Jama’ah tetaplah berpegang pada prinsip tanzih, yakni menyucikan Allah dari segala keserupaan.

Di akhir tulisan ini, penulis berpandangan bahwa metode takwil itu lebih masuk akal dan kuat; tetapi metode tafwidh lebih selamat, karena tidak ada yang tahu hakikat makna redaksi tersebut kecuali hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Dan pada akhirnya, kita hanya perlu beriman dengan penyerahan diri dalam arti yang seluas-luasnya hanyalah kepada Allah semata.

والله أعلم بالصواب

By Muhammad Faiz

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences