Ciri khas suatu lembaga maupun instansi pendidikan menjadi daya tarik tersendiri khususnya dalam budaya intelektualnya. Dalam hal ini, pesantren hadir dengan kajian kitab kuning sebagai tradisi keilmuan yang tak lekang zaman. Jika melirik fakta sejarah di lapangan, hampir semua pesantren khususnya di pulau Jawa menjadikan kitab kuning sebagai kurikulum pembelajaran wajib sejak puluhan dekade bahkan beberapa abad silam.

Mari sejenak menilik sejarah. Sebelum deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, pesantren telah tumbuh subur dan punya peranan besar dalam gerakan revolusi. Dari fakta tersebut, dapat ditarik kesimpulan sistem pembelajaran pesantren khususnya dalam penerapan kitab kuning sebagai bahan studi jauh lebih tua bahkan dengan usia negeri kita tercinta ini. Tidak berlebihan kiranya, kitab kuning menjadi corak tradisi keilmuan Islam di Nusantara.

Sebagaimana disinggung di atas, pesantren-pesantren tua di Indonesia telah mewarnai corak keilmuan Islam dengan kitab kuningnya jauh sebelum pendidikan formal ada. Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo di Kediri misalnya, salah satu pesantren tua yang diasaskan oleh ulama karismatik KH. Abdul Karim ini telah menerapkan metode pembelajaran kitab kuning sejak awal berdiri pada 1910 Masehi (M).

Metode pembelajaran kitab kuning di Ponpes Lirboyo pun punya daya tarik sendiri. Sistem Sorogan yang dilakukan seorang guru dan santri dengan tatap muka langsung, dimana seorang santri membaca kitab kuning dan gurunya menyimak serta memberikan koreksi. Selain itu terdapat pula Sistem Bandongan dalam mempelajari kitab kuning. Berbeda dengan Sorogan, Sistem Bandongan ini seorang santri hanya menyimak penjelasan kitab kuning yang dibacakan gurunya.

Lain dari Ponpes Lirboyo, beberapa pesantren tua seperti Ponpes Tebuireng didirikan oleh Muasis Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 1899 M dan  Ponpes Sidogiri Pasuruan berdiri pada 1745 M juga menerapkan sistem yang sama menjadikan kitab kuning sebagai bahan utama pembelajaran. Pesantren-pesantren di atas hanya sebagaian kecil dari ribuan pesantren di Indonesia yang menjadikan kajian kitab kuning sebagai tradisi intelektual pesantren yang dipertahankan dari masa ke masa.

Kaitannya dengan kitab kuning, dalam tulisannya Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai kitab kuning sebagai keunggulan tersendiri bagi pesantren yang tidak ada dalam instansi pendidikan lainnya. Lebih lanjut, Gus Dur memberikan penilaian bahwa pesantren mampu memberikan nilai inovatif secara berangsur selama berabad-abad lamanya. Darisana lah, Gus Dur menganggap kitab kuning sebagai asal usul tradisi keilmuan pesantren dan kekayaan tradisi kehidupan pesantren itu sendiri (Gus Dur, 2007: 121-129).

Literasi Digital Bagi Santri

Era distrupsi itu sendiri secara umum dipahami sebagai fenomena ketika masyarakat mengubah aktifitas-aktifitas yang lazim dilakukan di dunia nyata namun sekarang bisa dilakukan di dunia maya. Era ini hadir dalam pelbagai lini kehidupan, baik itu bidang sosial ekonomi, pendidikan, hingga kebudayaan di tengah masyarakat kita. Suka atau tidak, dunia pesantren dan narasi-narasi keagamaan pun turut larut di dalamnya.

Hadirnya internet dan maraknya pengguna gawai di Indonesia sebagai alarm bangsa kita memasuki era disrupsi. Dari memesan ojek, makanan, hingga bimbingan belajar pun dilakukan melalui media daring. Di kalangan pesantren kita lazim mengenal istilah al-waqa’i ghair al-mutanahiyah الوقائع غير المتناهيه (fenomena sosial yang tidak terbatas). Era disrupsi menjadi bukti fakta fenomena sosial kita terus berubah tak terbatas.

Namun di sisi lain, teks-teks keagamaan itu terbatas al-Nusus al-Mutanahiyah النصوص المتناهيه . Sehingga, kaum pesantren dalam hal ini santri dituntut untuk kreatif dan inovatif menyampaikan nilai keagamaan di tengah fenomena sosial yang terus berubah dan tak terbatas. Era disrupsi menjadi menjadi tantangan sekaligus peluang baru bagi kaum santri untuk menyampaikan narasi-narasi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam merujuk pada sumber yang tepat.

Era disrupsi menghadirkan kemudahan bagi kita, namun di sisi lain dampak negatif juga turut hadir. Sekarang siapapun bebas berbicara agama di media sosial tanpa landasan dan tuntunan, tentu hal tersebut dapat merusak tatanan keagamaan pada masyarakat kita. Yang menjadi perhatian sekarang, bagaimana ajaran kitab kuning sebagai sumber referensi keilmuan santri dapat berperan mengisi ruang-ruang media sosial.

Melihat angka pengguna internet berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pada tahun 2018 pengguna internet di Indonesia mencapai 171,18 juta jiwa, angka tersebut mencapai 64,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Bahkan di tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-5 pengguna internet terbesar di dunia di bawah Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Brazil.

Masyarakat kita, khususnya pengguna media sosial berhak mendapatkan ajaran keagamaan yang benar. Menjadi tanggung jawab santri tentunya, kaum milenial yang melek teknologi dan paham ajaran agama untuk menghiasi beranda-beranda media sosial dengan kajian-kajian keagamaan dengan sumber yang tepat, Min al-Nass ila al-Waqi’  من النص إلى الواقع  bagaimana menghadirkan teks keagamaan menuju realitas sosial.

Untuk menjawab pelbagai permasalahan di atas, pemahaman literasi digital bagi santri bisa menjadi solusi. Simpelnya, literasi menurut Ricard Lanham kemampuan untuk membaca dan menulis  the ability to read and write. Lebih jauh Lanham mendefinisikan literasi sebagai keampuan untuk memahami pelbagai informasi dari manapun datangnya the ability to understand information however presented. Sedangkan literasi digital menurut Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy sebuah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai bentuk dan sumber yang diakses melalui internet the ability to understand and use information in multiple formats from a wide variety of sources when it is presented via computers and, particularly, through the medium of the Internet.

Dengan demikian, santri harus mampu membawa kandungan ilmu dalam kitab kuning ke dunia maya. Sebagai contoh, kajian kitab Ihya Ulumuddin secara daring di media sosial oleh KH. Ulil Absar Abdallah. Selain itu, digitalisasi kitab-kitab kuning juga perlu dilakukan di era disrupsi ini. Selain dalam bentuk cetak, kitab elektronik e-book  juga perlu di sebabar luaskan di pelbagai platform media daring. ­­Maktabah Syamilah bisa menjadi contoh digitalisasi kitab kuning. Dengan demikian penulis menyakini kitab kuning akan terus eksis sebagai identitas keilmuan santri di era disrupsi.