Majalahnabawi.comFashion atau gaya berpakaian merupakan suatu hal yang telah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Bahkan bukan hanya sekedar bagian dari kehidupan tapi juga bisa menjadi mata pencaharian dan sumber penghidupan. Itulah mengapa kajian tentang fashion sangat menarik untuk dibahas secara khusus. Seperti yang telah dilakukan oleh pengurus pusat Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Indonesia (FKMTHI) pada hari Jumat 12 agustus 2022 dengan tema “Fashion Menurut Pandangan al-Quran, Hadis, dan Umum”. Namun belakangan ini muncul stigma bahwa fashion menurut Islam lebih tepatnya hadis dan al-Quran adalah sebagaimana yang orang Arab kenakan karena itu adalah fashion Nabi. Lantas Apakah memang demikian?

Untuk megetahui bagaimana sebenarnya fashion Baginda Nabi yang tentunya sesuai dengan ajaran al-Quran kita bisa menelaah dalam kitab-kitab yang mencakup hal tersebut. Di antaranya ada dua kitab yang mencangkup fashion Baginda Nabi. Dua kitab itu adalah kitab Zadul Ma’ad Fii Hadyi Khoiril ‘ibad (زاد المعاد في هدي خير العباد) karangan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691 H – 751 H) yang merupakan kitab fikih dengan gaya penyampaian periwayatan hadis yang mencakup banyak hal termasuk fashion Baginda Nabi secara detail dan lengkap. Selanjutnya adalah kitab al-Syamail al-Muhammadiyah wa al-Khashail al-Mushthafawiyyah (الشماْئل المحمدية والخصائل المصطفوية) karya Imam Abu Isa al-Tirmidzi ( 209 H – 279 H) yang mencakup hal-hal terkait Baginda Nabi termasuk gaya berpakaian baginda Nabi secara detail namun tidak begitu lengkap.

Prinsip Dasar Fashion Nabi Menurut Syekh Muhammad Ali al-Shabuni (1903 M – 2021 M)

Namun para ulama pun telah menyadari bahwa membaca kedua kitab tersebut adalah hal yang berat terlebih untuk masyarakat awam. Karena itu, ada ulama yang telah meringkas kesimpulan tentang bagaimana prinsip berpakaian yang benar menurut Islam. Salah satunya ialah Syekh Muhammad Ali al-Shabuni (1903 M – 2021 M) yang merupakan seorang ahli tafsir al-Quran. Beliau mengatakan bahwa ada 6 prinsip dasar fashion.

Yang pertama adalah أن يكون الحجاب ساترا لجميع البدن “yaitu pakaian itu harus menutup seluruh tubuh”. Tentu saja yang dimaksud adalah menutup seluruh aurat tubuh. Kedua أن يكون كثيفا غير رقيق “pakaian itu harus tebal dan tidak tipis”. Yang dimaksud tidak tipis adalah sehingga warna kulit tertutup oleh pakaian itu. Ketiga adalah ألا يكون زينة في نفسه، أو مبهرجا ذا ألوان جذّابه يلفت الأنظار “Pakaian itu sendiri bukan perhiasan atau pakaian yang mencolok yang mempunyai warna yang menarik banyak perhatian pandangan mata”. Keempat adalah أن يكون فضفاضا غير ضيق “Pakaian itu harus longgar dan tidak ketat” maksudnya adalah pakaian itu tidak ketat sehingga tidak menutupi bentuk tubuh. Kelima ألا يكون الثوب معطّرا فيه أثارة “Pakaian itu tidak mempunyai wangi yang merangsang”. Dan yang terakhir adalah ألا يكون الثوب فيه تشبه بالرجال، أو مما يلبسه الرجال لحديث “Tidak menyerupai lawan jenis”.

Prinsip Dasar Fashion Nabi Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (1952 M – 2016 M)

Ulama lainnya yang juga merumuskan prinsip dasar fashion menurut al-Quran dan hadis ialah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (1952 M – 2016 M) yang merupakan seorang ahli hadis Indonesia. Rumusan ini sekaligus juga menjelaskan perumusan yang dibuat oleh Syekh Muhammad Ali al-Shabuni secara lebih sederhana.

Beliau mengatakan bahwa Fashion atau pakaian menurut Islam harus memenuhi 5T. T yang pertama adalah Tutup aurat. Apapun model pakaiannya selama menutupi aurat maka itu hukumnya boleh. Yang kedua adalah Tidak ketat, walaupun menutup aurat tetapi jika pakaian itu ketat maka itu tidak diperbolehkan. Ketiga Tidak transparan, ini menjelaskan maksud dari pakaian itu harus tebal dan tidak tipis menurut Syekh al-Shabuni. Keempat Tidak menyerupai lawan jenis baik laki-laki maupun perempuan. Dan T yang kelima adalah Tidak merupakan Pakaian kemewahan atau libas syuhroh. Yaitu bukan merupakan pakaian yang tidak umum orang pakai di tempat itu sehingga membuat pandangan mata terarah pada pemakainya.

Pakaian Nabi pun Bukan Arab

Reinhart Pieter Anne Dozy (Leiden, 1820 M- 1883 M) seorang orientalis dari Belanda dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi al-Mu’jam al-Mufashshol bi Asmai al-Malabis ‘Indal ‘Arabi (المعجم المفصل بأسماء الملابس عند العرب) memaparkan hasil penelitiannya yang dari sana bisa disimpulkan bahwa gaya berpakaian orang Arab pada waktu itu pun mengadopsi model pakaian Rowawi dan bangsa lainnya. Ia mengatakan bahwa ada sedikitnya 275 model pakaian Arab klasik yang berkembang pada masa Islam awal. Ada yang kemudian punah, ada pula yang tetap, dan ada pula yang berkembang menjadi mode lain (mulai dari Burdah pada era Nabi hingga menjadi Jeans di abad 20).

Pakaian Romawi, Persia, dan Yaman mendominasi pakaian bangsa Arab pada masa Nabi hingga tiga abad berikutnya. Mode pakaian yang para muslim minati saat itu adalah budaya mode Hellenisme dan Persia. Mulai ada konsepsi pakaian Islami pada masa Abbasiyah Mode berubah drastis pada masa Turki Usmani dan Mamluk. Tentara Turki mengasai Arab, pakaian orang Arab berubah.

Pakaian yang para muslim minati pada masa Nabi (baik laki-laki maupun perempuan) adalah pakaian bawahan (sirwal: asli Persia, hanya orang tertentu yang bisa membelinya dan kemeja besar (qamish sabigh), atau baju panjang (tsaub thawil). Selain itu, mereka juga suka pakaian luaran (outer), yaitu aba’ah, mi’thaf, serta penutup kaki yaitu sepatu dan sandal. Sedangkan untuk peunutup kepala, mereka menyukai imamah dan qalansuwah.

By Trisna Yudistira

Mahasantri Darus-Sunnah 2020 dan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir 2021