Fleksibilitas Fikih Dalam Menjawab Problematika Umat
Majalahnabawi.com – Sebagian masyarakat memandang fikih sebagai sesuatu yang setara dengan syariat. Sehingga fikih terkesan tidak bersifat terbuka terhadap pandangan-pandangan baru. Hal ini menimbulkan sikap ketegangan dalam beragama.
Misalnya fatwa MUI nomor 14 tahun 2020, dalam fatwanya tersebut MUI terkesan membatasi kegiatan ritus agama. Di antaranya mengenai tata cara ibadah dan muamalah di tengah pandemi, sebagai bentuk usaha untuk mengurangi penularan wabah covid-19.
Alih-alih menaati, ternyata tanggapan sebagian masyarakat masih mengira bahwa hal tersebut jelas bertentangan dengan aturan agama. Sementara itu, terdapat beberapa masjid yang tetap memaksakan untuk merapatkan shaf, meski daerah tersebut termasuk dalam zona merah.
Lalu bagaiamana semestinya kita memandang fikih sebagai sesuatu yang fleksibel, sehingga perubahan praktek ibadah tidak dianggap sebagai kesalahan syariat?
Sebelum lebih jauh, mari kita jabarkan apa yang dimaksud dengan Syariat. Secara bahasa syariat berasal dari “syara’a – yasra’u – Syar’an” yang berarti tempat memancarnya mata air, jalan, metode atau sistem dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm menjelaskan dalam kitabnya al-Hikam fi Ushul al-Ahkam.
وأما الشريعة فهي أن يأتي نص قرآن أو سنة او نص فعل منه عليه السلام أو إقرار منه عليه السلام أو اجم
”adapun syariat ialah sesuatu yang terletak pada nash qur’an, sunnah, taqrir nabi, serta ijma (konsensus ulama).”
Artinya syariat merupakan ketentuan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk umat islam, termaktub dalam al-Qur;an maupun Sunnah. Mencakup tuntunan yang dapat diaplikasikan secara langsung melalui teks yang sudah jelas tanpa adanya multitafsir. Semisal perintah wajibnya shalat, puasa, dan lain-lain.
Lain halnya dengan fikih, Secara bahasa fikih merupakan bentuk Masdar dari kata kerja Faqiha – yafqahu – fiqhan yang berarti “mengerti atau paham”. Sehingga fikih merupakan usaha manusia untuk memahami segala perintah Allah dalam beribadah.
Sedangkan secara istilah, menurut Imam Abu Hasan al-Hamidi dalam kitab al-ihkam fi Ushul al-Ahkam menjelaskan.
العِلْمُ بِالأَحْكامِ الشَّريعَةِ العَمَلِيةِ المُكْتَسَبِ مِن أَدِلّتِها التَّفْصِيلِيَّةِ
“Suatu Ilmu yang mempelajari hukum syariat yang bersifat amaliyah (perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.”
Secara fungsional, fikih merupakan sebuah ketentuan yang digunakan untuk mengetahui hukum tertentu, yang tidak dijelakan secara spesifik di dalam al-Qur’an dan Sunnah maupun ijma. Sehingga fikih merupakan produk manusia untuk menjawab problematika masyarakat yang tidak ada dalilnya secara eksplisit.
Berangkat dari penjelasan di atas, bahwa hal-hal yang mengenai syariat tidak dapat diubah. Adapun segala hal yang berkaitan dengan fikih seperti tata cara shalat itu dapat berganti sesuai dengan situasi dan kondisi.
Mari kita sederhanakan penjelasan ini. Misalnya, agama menganjurkan kepada pemeluknya untuk melakukan shalat lima waktu. Tuntunan tersebut merupakan syariat yang diturunkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia tidak memiliki kuasa untuk mengubahnya.
Berbeda halnya dengan fikih yang diprakarsai oleh pemahaman manusia. Fikih lebih cenderung elastis menyentuh persoalan manusia Mukallaf mengenai hukum dan tata cara melaksanakan shalat tersebut.
Dalam keadaan normal, shalat harus dilakukan dengan cara berdiri. Kalau orang tersebut tidak dapat melakukannya, maka diperbolehkan baginya melaksanakan shalat dengan cara duduk. Ini merupakan implementasi dari fleksibelnya hukum fikih, tanpa menghilangkan esensi dari syariat, yaitu shalat.
Pengambilan hukum fikih tidak semerta-merta mengikuti kemauan manusia. Tapi melalui proses dan pertimbangan yang sangat matang, dengan mengukur seberapa besar Mudharat (bahaya) yang akan ditimbulkannya. Sehingga konsensus hukum yang dikeluarkan dapat memberikan kemaslahatan.
Jika bahaya yang ditimbulkan dapat merusak diri sendiri, maka mencegah hal yang demikian terjadi adalah langkah yang patut diambil. Selama umat islam tetap bisa menjalankan shalat dengan tenang dan khusyuk, kiranya merenggangkan shaf dan menggunakan masker, serta fatwa MUI atau ormas lainnya yang mencegah penyebaran wabah, tidak perlu dipermasalahkan.
Dengan pemahaman inilah, agama akan tetap eksis menjawab problematika umat yang berkembang seiring dengan kemajuan peradaban “Shalih li Kulli Zaman wa Makan”.
Ibnu Rusdy menambahkan dalam pendahuluan kitabnya Bidayatul Mujtahid”. Bahwa para ulama fikih terus mewanti-wanti segala perubahan. Nas dan perilaku nabi memang telah berhenti sejak 14 abad yang lalu. Akan tetapi interpretasi hukum dalam fikih harus tetap berjalan sesuai dengan perkembangan zaman.
و ذلك أن الوقائع الأشخاص الأناسي غير متناهيةـ والنصوص، والأفعاال، والإقرارات, متناهية، ومحال أن يقابل مالا يتناهي بما يتناهي.