Majalahnabawi.com – Tersedianya naskah akademik tentang Fikih Siyasah dalam konteks negara bangsa yang dapat menjadi rujukan bagi umat Indonesia, pada khususnya, dan umat Islam dunia, untuk membangun tatanan dunia baru yang berkeadilan dan damai.

Salah satu kekuatan komunitas ilmiah di lingkungan pesantren-pesantren Nahdliyyin adalah adanya warisan intelektual yang tertuang dalam kitab-kitab klasik yang disebut Kitab Kuning. Dalam literatur kitab kuning ini termuat pikiran-pikiran ulama klasik Islam yang hidup pada rentang abad-abad ke-8 hingga awal abad ke-20 – sebuah rentang waktu yang amat panjang sekali, sejak Dinasti Umayyah hingga Dinasti Usmaniyah. Tentu saja, buah pikiran ulama ini menggambarkan situasi pada zamannya, terutama situasi pra-negara nasional.

Panduan Turost Perihal Fikih Siyasah

Warisan-warisan pemikiran ini tergambar, antara lain, dalam literatur “fikih siyasah”, yaitu fikih yang berkenaan dengan masalah kenegaraan. Fikih siyasah sebagaimana tergambar dalam kitab-kitab seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, atau dalam bab mengenai jihad, imamah (kepemimpinan politik dan keagamaan), peradilan (al-qadla’ wa al-syuhud), dsb. sangat dipengaruhi oleh konteks politik negara khilafah. Salah satu ciri negara khilafah yang paling menonjol adalah dua hal: konsep kewargaan yang berbasis agama dan tidak adanya batas-batas wilayah yang jelas (daulah ghairu mahdudah). Misalnya, dalam bab mengenai jihad dalam kitab Fath al-Mu’in, dikatakan bahwa jihad dalam pengertian perang militer wajib diadakan setiap tahun, minimal sekali. “Wahuwa fardlu kifayatin kulla ‘amin,” demikian teks yang kita baca dalam bab jihad di Fath al-Mu’in. Gagasan tentang jihad yang wajib dilakukan setiap tahun ini jelas terkait dengan konteks yang spesifik pada zaman negara-negara pra-nasional.

Fikih Siyasah Internasional

Dalam konteks politik seperti ini, setiap imperium (yaitu negara yang melintasi batas-batas nasional dan meliputi tanah yang luas dan entitas yang beragam) berusaha untuk memperluas wilayah setiap saat. Dengan demikian setiap negara akan merasa mendapatkan ancaman dari negara lain. Inilah yang menjelaskan kenapa setiap negara harus menjaga perbatasan mereka setiap saat. Dalam fikih siyasah klasik dikenal konsep tentang “al-thughur”, yaitu batas terjauh setiap wilayah negara. Di batas inilah jihad harus dilakukan setiap saat untuk mencegah invasi baik dari negara imperium lain, maupun dari pasukan non-negara yang terdiri dari kekuatan suku-suku.

Kita bisa menyebut bahwa fikih siyasah kita, untuk sebagian besar, ditulis dalam konteks peradaban pra-negara bangsa atau negara nasional, yang disebut dengan “hadlaratu ma qablal al-duwal al-wathaniyyah”.

Dari persoalan ini muncul suatu gagasan diselenggarakannya suatu halaqah yang membahas tema-tema yang terkait dengan fikih siyasah. Setidaknya ada lima tema yang diangkat dalam halaqah ini, yaitu : 1) Fikih Siyasah dan Negara Bangsa, 2) Fikih Siyasah dan Kewarganegaraan, 3) Fikih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas, 4) Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru, dan 5) Fikih Siyasah Antara Perang dan Damai.

Konferensi Halaqah Peradaban

Halaqah ini akan digelar di 250 pondok Pesantren yang memiliki kapasitas, baik sumber daya manusia, manajerial, maupun kapasitas sarana dan prasarana. Darus-Sunnah merupakan salah satu pesantren yang menjadi lokasi digelarnya forum ilmiah ini. Dengan tersedianya 5 tema dalam Halaqah Fikih Peradaban, Darus-Sunnah memilih tema kelima, “Fikih Siyasah Antara Perang dan Damai”, sebagaimana corak khas pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub karyanya “Islam Antara Perang dan Damai” yang menekankan diferensiasi penggunaan ayat dan hadis sesuai kondisinya, yakni ayat dan hadis perang implementasinya di waktu perang, jangan disalah gunakan pada kondisi damai.

Halaqah Peradaban di Darus-Sunnah

Acara Halaqah Fikih Peradaban digelar di Darus-Sunnah pada Ahad, 11 September 2022. Dengan tersedianya beberapa narasumber nasional dari PBNU, Darus-Sunnah menghadirkan 2 narasumber nasional yaitu KH. Faiz Syukron Makmun, MA., dan Nyai Hj. Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm. Sedangkan narasumber yang berasal dari Pesantren Darus-Sunnah adalah Dr. Alvian Iqbal Zahasfan, MA.

Acara dimulai pukul 09.30 WIB, dalam sambutannya KH. Zia Ul Haramein, Lc., M.Si. menyampaikan bahwa halaqah fikih peradaban merupakan sebuah trem baru yang dikenal dengan fikih Hadharah. Halaqah fikih peradaban ini bertujuan untuk menguatkan kembali jati diri kita sebagai bangsa yang kuat dan bangsa yang beradab. Lebih dari itu, jauh dari fikih-fikih yang sudah ada. Ini merupakan fikih kontemporer yang akan dibicarakan oleh para ahli kepada kita semua. Meskipun fikih ini sudah ada sejak zaman Nabi ketika membuat sebuah peradaban dan kemajuan pada zaman itu, maka fikih peradaban ini merupakan bentuk implementasi ajaran Islam kepada seluruh dunia mengenai tingginya peradaban Islam yang penuh dengan toleransi.

Insya Allah hari ini Darus-Sunnah menjadi tuan rumah, dengan demikian kami memohon maaf atas segala kekurangan dari fasilitas yang kami sediakan. Semoga acara ini dapat berjalan dengan baik dan diberikan ganjaran berlipat ganda dari Allah Swt.

Sambutan PCNU Tangerang Selatan

Pada sambutan yang kedua, mewakili PCNU Tangerang Selatan, KH. Himam Muzahir, MA., menyatakan bahwa PCNU Tangerang Selatan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PBNU yang dipercayakan untuk menyelenggarakan fikih peradaban ini. Pesantren di Tangerang Selatan kurang lebih 72, dan yang berani menampakkan diri sebagai NU secara simbolik hanya 22, salah satunya adalah Darus-Sunnah.

Dulu kita pernah mengadakan tradisi napak tilas di Tangerang Selatan, pertama yang kita tuju adalah maqbaroh UIN dan maqbaroh KH. Ali Mustafa Yaqub.

Tentunya kami memohon doa, Insya Allah mulai dari bulan oktober PCNU Tangerang Selatan berikhtiar untuk membangun kantor untuk PCNU Tangerang Selatan.

PCNU memandang fikih peradaban ini sebagai upaya memaksimalkan Khidmah kepada masyarakat di tengah problematika yang berkembang.

Sambutan Perwakilan PBNU

Berlanjut kepada sambutan perwakilan PBNU yang disampaikan oleh KH. Muhammad Faiz Sykron Makmun, Lc., MA. Beliau menyampaikan, Saya datang ke Darus-Sunnah ini merupakan perintah Nabi, bukan hanya sekedar fikih peradaban. Jika Kiai Ali masih ada, maka saya tidak akan bisa ngomong. Sebab saya masih sangat kecil ketika saya melihat dan kenal beliau. Dengan demikian datangnya saya ke Darus-Sunnah ini untuk mengamalkan hadis yang sudah saya pelajari. Saya juga bertujuan untuk menyambung silaturrahim kepada keluarga teman kesayangan bapak saya, karena KH. Ali Mustafa termasuk teman kesayangan ayah saya. Rasulullah bersabda:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ. (رواه مسلم)

Sungguh sepaling baktinya kebaikan adalah seorang anak menyambung hubungan kepada keluarga teman kesayangan bapaknya. (HR. Muslim)

Kiai Mahrus Ali mengatakan: apabila ada kiai yang memiliki anak, akan tetapi anaknya tidak menjadi kiai, maka ia merupakan kiai yang menyesal menjadi kiai. Kiai Mahrus juga pernah berkata: kalo ada orang NU yang mencari mantu di laur orang NU, maka itu sengaja untuk bunuh diri.

NU itu hidup dan jaya pada masa lalu tanpa punya kantor. Sebab kantor dan rumah ketua tanfidziyah itu menjadi satu. Meskipun demikian semangat NU tidak pernah turun.

Mengembangkan Peradaban Dunia

Dulu tantangan para kiai itu luar biasa. Ketika saya bertemu dengan Banser, saya akan cium tangan, pasti saya cium tangan. Karena Banser pasti punya wirid yang diberikan oleh syuriah NU. NU tetap hidup meskipun banyak tantangan yang menghalangi pergerakannya. Setiap ada acara NU pasti yang datang ribuan, meskipun tidak ada uang transportasi. Artinya yang mengantarkan orang NU untuk datang ke acara NU ialah semangat para kader NU.

Kita datang ke halaqah peradaban ini bagian dari guyub dengan NU. Kita hari ini belajar dengan dua kata, fikih dan peradaban. Ini harus menempel dengan NU, karena hampir semua kiai NU itu adalah fuqaha (ahli fikih). Memang kultur NU itu adalah ahli fikih, karena itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk sehari-hari.

Saya sering sekali mendengar bahwa yang menyebabkan kemunduran Islam adalah turats. Padahal yang menjadikan Islam hidup dalam peradaban panjang Islam di masa kerajaan dulu, seperti Umayyah, Abbasiyah, ketika umat Islam bisa meletakkan kaki kirinya di Andalusia dan kanannya di China. Ini disebabkan oleh berkembangnya pembacaan kitab turots. Fikih atau turots di tangan orang yang mampu dan mengerti, maka ia pasti akan bisa memberikan solusi di tengah permasalah umat.

Makna Wasatiah

Islam ini tidak mengenal perang dan damai. Sebab Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Sebab Islam bersifat wasatiah. Namun wasatiah ini bukan bermakna posisi yang relatif dapat berubah. Tapi sikap yang dilandaskan oleh makrifat (ilmu pengetahuan).

Kata Prof. Quraish Shihab, wasatiah itu tidak selamanya baik dan benar. Wasatiah itu bukan persoalan sikap, tapi persoalannya adalah makrifat (pengetahuan). Orang tidak boleh memandang orang yang bercadar itu sebagai orang radikal, begitupun orang memakai jilbab dan cadar tidak boleh memandang yang terbuka tidak memakai jilbab dengan istilah liberal. Untuk mengetahui apakah seseorang itu radikal atau liberal itu harus dengan makrifat (pengetahuan). Kita hari ini membahasa pedaban perang dan damai harus dibasiskan dengan ilmu makrifat.

Kata Kiai Wahab Hasbullah, NU itu akan bekerja sama dengan pemerintah yang sah, dalam rangka amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau tidak mengatakan untuk mendukung fanatik pemerintah, maupun kontra terhadap pemerintah, artinya NU tetap bisa bersikap wasatiah.

Mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, akan tetapi yang minoritas juga perlu pintar-pintar untuk menjaga perasaan yang mayoritas. Identitas itu tidak dapat dilepaskan dari diri kita, terlebih agama. Sehingga perlunya rasa saling menghormati satu dengan yang lain.

Pasca ketiga sambutan tadi, acara dilanjut dengan sesi 1 Halaqah Fikih Peradaban yang dimoderatori oleh Ustaz Muhammad Hanifuddin, LC., S.S.I. S.Sos. Sesi satu membahas Fikih Siyasah Antara Perang dan Damai.

Penjelasan Narasumber Pertama

Pemateri pertama yakni KH. Muhammad Faiz Syukron Makmun menjelaskan bahwa ketika kita berbicara perang dan damai, semua perlu tau bahwa identitas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, sebab identitas merupakan esensi. Salah satunya identitas agama yang sangat menempel bagi setiap manusia. Agama merupakan identitas yang akan terbawa dalam perjalanan panjang sampai ke akhir nanti.

Pertikaian yang timbul dari identitas agama, itu dapat didorong dari dua hal, pertama kebencian yang mendalam terhadap yang berbeda, dan kecintaan kepada non agama agar selamat dengan cara mengikuti kita. Artinya kebencian dan kecintaan juga dapat memicu pertikaian.

Mempolitisasi agama itu salah, tapi juga menarik keluar identitas agama dari seluruh aspek kehidupan juga termasuk salah.

Merujuk kepada Tuntanan Ulama Terdahulu

Jika menjadi orang yang beradab, maka perlu menyadari bahwa zaman itu berubah. Ketika cara berfikir kita berbeda-beda, maka kita perlu tau bahwa tidak semua gagasan dapat diterima oleh setiap orang, atau bahkan dapat ditolak zaman itu sendiri.

Perlunya menumbuhkan kembali kecintaan terhadap kitab kuning. Demikian berjasalah dengan kitab kuning, jangan makan jasa dari kitab kuning.

Kita perlu ijtihad yang baru yang disesuaikan dengan semangat zaman. Sebab kondisi yang berubah tentunya akan melahirkan hukum yang berubah.

Sebagai moderator, Ustaz Muhammad Hanifuddin memberi pancingan diskusi dengan sebuah pertanyaan: Bagaimana kita mengelola perbedaan identitas dalam kehidupan bernegara melalui kacamata fikih siyasah antara perang dan damai?. Fikih peradaban perlu menjawab pertanyaan ini.

Penjelasan Narasumber Kedua

Terkait hal tersebut Nyai Hj. Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm. menyampaikan Keputusan musyawarah nasional itu dalam suatu konteks khusus Indonesia, di mana gerakan ekstrimis itu sangat tumbuh dengan cepat di Indonesia. Artinya keputusan itu menyesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia. 

Beberapa kelompok muslim melakukan bom kepada saudara sebangsa yang dianggap kafir. Kemudian terdapat orang yang menyerukan permusuhan kepada mereka yang non muslim. Padahal Indonesia sebagai Dar al-Salam menjamin masyarakatnya baik muslim dan non muslim dalam menjalan kehidupannya sebagai warga negara.

3 tipologi sistem negara:

Negara muslim sekuler ala Turki. Spirit anti Islam terlihat sekali di daerah sana, pemaksaan untuk membuka jilbab, kerudung maupun berjenggot. Di sana agama terpaksa tunduk di bawah kekuasaan negara.

Negara Iran di bawah pimpinan Ayatullah menjadi negara Islam. Negara ini tunduk kepada kekuasaan agama.

Terakhir adalah Negara Indonesia. Di sini agama menjiwai negara, tidak dipertentangkan tapi diintegrasikan menjadi jiwa negara. Tanpa melekatkan diksi Islam di pada nama negara, nilai keislaman tetap menjiwai masyarakat dalam negara.

Betapa pentingnya kita menyadari sebagai mayoritas seandainya kita memiliki sifat kasar kepada kaum minoritas, tentunya akan mempengaruhi saudara muslim kita yang minoritas di negara tertentu.

Merumuskan Kaidah Fikih Siyasah

Para ulama menyadari bahwa fikih itu merupakan ikhtiar untuk merumuskan tujuan dari syariah, maka fikih perlu dilihat dengan kontektual dengan kondisi Indonesia. Sebab fikih pada umumnya muncul dalam keadaan negara Islam pada masa itu. Sedangkan konteks kita saat ini berada pada negara yang tidak berbasis dengan agama Islam. Maka penting untu menyelaraskan fikih dengan kondisi Indonesia, sebagai bentuk solusi atas problematika yang ada.

Penerapan fikih di negara Indonesia itu terimplementasi dalam konsep Maqashid al-Syariah.

Paradigma NU melihat bahwa Islam itu adalah sikap. Status manusia hanya sebagai hamba bagi Allah, di sisi lain manusia juga ditanggungkan dengan istilah khalifah. Artinya para muslim memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan kemaslahatan ajaran Islam seluas-luasnya di muka bumi. Inilah yang ada dalam tauhid negara pada sila pertama. Semangat tauhid dalam bernegera itu dengan memberikan kemaslahatan seluas-luasnya, melewati batas agama suku maupun budaya. 

Negara dipahami sebagai saraana, bukan sebuah tujuan. Ia adalah sarana untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman di alam semesta. Cita-cita Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sehingga sistem yang ada dalam Islam itu adalah menjadi rahmat bagi siapaun. Bukan sistem yang eksklusif. Negara Islam adalah ketika dapat memberikan rahmat bagi yang kuat dan orang yang kemah, muslim maupun non muslim. Sementara negara zalim hanya akan menguntungkan orang kuat, dan menjajah orang yang lemah.

Pembagian kafir dalam kitab klasik:

Kesimpulan bahwa kafir dalam fikih klasik seperti zimmi, bahwa warga negara asing yang tinggal di Indonesia dan tunduk pada aturan Indonesia yang berlaku.

Musta’man adalah warga negara asing yang diberikan jaminan keamanan untuk tinggal di Indonesia.

Kafir Muahad yaitu warga asing yang tinggal di Indonesia dikarenakan memiliki hubungan dan proyek bilateral.

Harbi yaitu warga negara asing, atau negara lain yang hendak memberikan mudharat dan bahaya bagi Indonesia.

Jadi istilah kafir pada konteks saat ini lebih cocok dipahami sebagai warga asing.

Setelah penjelasan panjang lebar dari pemateri kedua, moderator memberi stimulus berupa pertanyaan mengapa masyarakat awam sangat sekali mudah diprovokasi dengan isu agama. Apa sumbangsih fikih siyasah terhadap kejadian pilpres yang terjadi pada 2019 yang lalu. Di mana agama menjadi alat identitas yang dipolitisasi dengan meninggikan narasi kebencian demi kepentingan politis semata.

Indonesia harus mengenal konsep muwathinin sebagai pengganti dari istilah kafir.

Penjelasan Narasumber Ketiga

Berlanjut ke pemateri ketiga, terakhir dalam sesi pertama yakni Dr. H. Alvian Iqbal Zahasfan. Beliau lebih banyak menjelaskan buku tipis bermutu karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Islam Antara Perang dan Damai. Beliau menjelaskan bahwa negara kita ini bukan Dar al-Salam, tetapi Dar al-Mitsaq. Negara yang dibangun atas perjanjian, baik undang-undang, ataupun piagam. Dan itu dibela mati-matian oleh Gus Dur ketika beliau dilengeserkan dari jabatannya sebagai presiden.

Istilah kafir yang diganti dengan muwathin yang diambil dari kata wathon, ini merupakan hasil yang cocok dan pas bagi konteksnya di Indonesia. Artinya warga negara. 

Alasan yang paling logis bagi kita untuk menyerang orang-orang kafir adalah ketika mereka berupaya mengusir diri kita dari negara sendiri. Ini berangkat dari ayat al-Mumtahanah 8-9. Di mana ada dua poin, mereka tidak memerangi kita dan mengusir kita. Jika dua hal tersebut tidak ada, maka tidak boleh bagi kita untuk menyerang nonmuslim.

Pembagian kafir:

Harbi adalah kafir yang boleh diperangi, ketika mereka menyerang kita.

Musta’man adalah orang asing yang tinggal sementara di Indonesia.

Dzimmi adalah kafir Mua’had mereka yang tinggal dan memiliki NIK hanya saja berbeda agama saja.

Tidak ada satu perang pun di masa Nabi yang terjadi karena agama, pasti ada unsur lain yang membuat perang itu terjadi, misalnya sosial, politik. Andai orang kafir boleh dibunuh, tentunya Rasulullah akan lebih dahulu membunuh sang mertuanya yang Yahudi yaitu Huyay bin Akhthab. Karena nyatanya Nabi hidup di daerah yang memiliki identitas yang berbeda-beda. Mengakhiri sesi pertama, moderator memberi pernyataan sekaligus pertanyaan apakah kita berani menyuarakan bahwa agama tidak pernah menjadi alasan terjadinya sebuah peperangan dan keributan?