halaqah fikih peradan

Majalahnabawi.com – Dijeda dengan ISHOMA, acara Halaqah Fikih Peradaban berlanjut pada sesi kedua pukul 13.30 WIB. Pada sesi kedua Ustaz Muhammad Khoirul Huda, MA., selaku moderator memberi tahukan kepada hadirin untuk aktif dalam diskusi sesi kedua ini. Moderator memulai pembahasan dengan memberikan satu pertanyaan yang menstimulus yakni bagaimana fikih siyasah menawarkan jalan keluar untuk mengelola keragaman identitas? Baik dalam bingkai kehidupan berbangsa-bernegara ataupun dalam skala global.

Penjelasan Ketua LBM PCNU Tangerang Selatan

Hadirin pertama yang ditunjuk untuk memberikan tanggapan adalah Ustaz Muhammad Hanifuddin selaku ketua Lembaga Bahsul Masail PCNU Tangerang Selatan. Beliau menjelaskan bagaimana konsep baru untuk membahasakan supaya Piagam Madinah agar dapat diterima oleh orang sekarang. Kanjeng Nabi dahulu bisa diajak untuk kumpul bersama dan merumuskan konsensus. Karena Piagam Madinah ini bukan hanya konsensus melainkan juga rujukan bersama dalam menjalankan sosial kemasyarakatan. 

Seandainya pengalaman ini disuarakan kepada peradaban secara luas mengenai pengelolaan Kanjeng Nabi terhadap kota Madinah. Apakah hal ini mungkin untuk diterapkan dalam fikih peradaban?

Pertama, hal ini juga diupayakan oleh Cak Nur (Prof. Nurchalis Majid) yang dengan semangat menyuarakan isi dari Piagam Madinah dalam memberi jaminan kepada masyarakat tanpa pandang identitas dan latar belakang agama.

Kedua, bagaimana Pak Kiai Ali Mustafa menjelaskan terdapat seorang Yahudi yang ikut serta dalam menjaga keutuhan Madinah, seorang Muhairik yang ikut serta dalam peperangan Badr. Padahal dirinya seorang Yahudi, artinya Piagam Madinah ini tidak membatasi seseorang untuk ikut andil dalam membela kebenaran, melainkan bersama-sama melawan suatu kejahatan.

Ketiga, pengalaman Rasulullah dalam menghadapi perluasan wilayah, juga mengalami internal konfik di tubuh Islam sendiri. Ternyata identitas itu menjadi rintangan di tahun-tahun setelahnya. Apakah ada bentuk penyimpangan yang terjadi pada masa di mana Islam mengelola peradaban?

Penjelasan Akademisi Hukum UI

Selanjutnya, moderator meminta berbicara kepada salah satu akademisi hukum S2 UI yaitu Abdul Karim Munthe. Beliau menjelaskan bagaimana Islam dalam sistem hukum negara Indonesia.

Penghapusan tujuh kata pada kalimat undang-undang adalah hasil dari pemahaman yang baik dari sudut pandang fikih. Prof. Hazairin menafsirkan bahwa negara tidak perlu hadir dalam hal-hal yang sifatnya dapat dilakukan sendiri oleh pemeluk agama. Kedua, Negara harus hadir pada pelaksanaan agama yang membutuhkan kehadiran negara.

Terjadi tantangan berkaitan dengan penafsiran soal UUD. Pertarungan ideologi yang luar biasa mengenai bentuk negara kita.

Konsep Fikih Siyasah

Bahwa ada satu hal yang cukup penting dalam konsep fikih siyasah. Berkaitan dengan sikap kita pada negara yang sedang berkonflik. Bahwa fikih siyasah ini juga perlu memahami unsur geopolitik dalam konflik tertentu.  

Terkait dengan identitas, ada satu yang tidak disinggung, yaitu adalah orang-orang yang tidak punya kewarganegaraan. Misalnya Somalia, mereka termasuk orang-orang tanpa kewarganegaraan. Sehingga bagaimana sebenarnya sumbangsih muslim untuk hal tersebut?

Setelah pemaparan dari Abdul Karim Munthe, moderator memberikan stimulus pertanyaan yakni bagaimana UUD dan konstitusi itu menjadi kesadaran bersama dalam bersosial, sehingga dalam tindak-tanduknya juga berujukan pada dua hal tersebut. Atau mungkinkah kosntitusi dijadikan sebagai mashadir al-tasyri?.

Keterangan Aktivis Media Islami.co

Selanjutnya, moderator menunjuk seorang aktivis media yakni Alvin Nur untuk memberi tanggapan. Alvin Nur menyatakan bahwa terkait dengan viral dan tidak viral, diskusi kita tentang fikih peradaban ini sudah hampir matang. Tapi yang perlu kita pikirkan bagaimana fikih peradaban ini dapat dipahami bagi mereka yang tidak pernah sama sekali mendengar istilah fikih. Artinya tugas kita perlu mempermudah dalam menyampaikan substansi dan menyederhanakannya kepada orang-orang awam.

Bisakah kita membuat kaidah-kaidah fikih yang memang berkaitan dengan peradaban, paling tidak yang serupa dengan kaidah-kaidah yang memang sudah ada. Tugas kita bagaimana mengeluarkan kaidah fikih peradaban yang bahasanya menjangkau anak muda dan dapat dishare di media sosial. Sehingga orang-orang yang memiliki misi yang sama mengenai peradaban, dapat melakukan sinergi dan berkolaborasi bersama. Kendati mereka tidak pernah mengenal istilah fikih. Tapi hal ini penting agar bungkus dari fikih peradaban ini lebih menarik dan mudah dijangkau.

Pentingnya komunikasi karena tidak semua wartawan paham mengenai apa itu muwathinin. Dalam hal ini perlunya komunikasi yang baik dengan berbagai media-media agar penulisan hasil fikih peradaban itu tidak terjadi penyimpangan, disebabkan ketidakpahaman mereka mengenai pembahasan yang sedang didiskusikan.

Pemaparan Perwakilan Fatayat NU

Setelah pemaparan tanggapan tersebut, berlanjut kepada tanggapan dari salah satu Fatayat NU Mojokerto yakni Ustazah Izzah Farhatin Ilmi. Beliau menjelaskan bahwa Piagam madinah suatu hal yang perlu dicontoh. Pak Kiai Ali sering kali mengutip salah satu isi dari Piagam Madinah. Beliau menyuarakan supaya keberagaman di Indonesia saat ini dapat dimaknai sebagai sebuah rahmat.

Di sisi lain bagaimana kita bisa menyuarakan sifat basyariah Sang Nabi. Bagaimana Nabi memerintahkan untuk menjaga lisan dan tangan kita. Meskipun ini adalah hal sepele. Tapi ini menjadi sesuatu yang penting agar orang-orang yang mungkin tidak terlalu akrab dengan ajaran Islam, dapat merasakan sifat kemanusiaan Nabi.

Nabi bermuamalah dengan orang Yahudi ketika menggadaikan baju besi beliau. Dalam hal ini Nabi menampakan sifat kemanusiaan Nabi sebagai makhluk sosial yang berhubungan dengan orang-orang yang di luar agama Islam. Dengan demikia, Piagam Madinah yang diajarkan Nabi, akan hadir secara tidak langsung dalam diri kita.

Penyampaian Singkat Perwakilan Muslimat NU

Berlanjut kepada penanggap selanjutnya yaitu Ibu Nyai Indriyati sebagai Ketua Muslimat NU Mojokerto. Beliau  menjelaskan bahwa Muslimat NU Mojokerto kerap melakukan sinergitas dengan orang-orang di luar muslim itu sendiri. Orang-orang nonmuslim merasa dapat lebih nyaman ketika kita memandang orang lain sebagai manusia, bukan hanya sebatas identitas.

Ternyata Islam NU yang terlihat tradisionalis, dapat diterima di Eropa khususnya di Jerman. Artinya dengan demikian ajaran Islam yang ramah tentunya dapat diterima bagi saudara kita nonmuslim.

Tanggapan Musyawirin

Selanjutnya ada tanggapan dari salah satu mahasantri STAI Imam Syafii Cianjur yakin Wildan. Beliau menjelaskan bahwa terdapat satu poin yang dilewatkan dari nilai toleransi. Toleransi itu dilakukan setelah kita melakukan dakwah mengenai ajaran Islam. Sebelum mengedepankan toleransi, Rasulullah lebih dulu menyuarakan dakwah.

Islam terbagi menjadi tiga priode. Ketika Islam tidak melakukan peperangan sama sekali. Kedua, ketika ada perang tapi Islam yang diserang. Ketiga, Islam memiliki kekuatan, maka Islam dapat memulai peperangan itu.

Pemaparan Panjang KH. Wahid

Menanggapi dan menjelaskan pernyataan para hadirin yang sudah berbicara, Kiai Wahid yang merupakan adik ipar Kiai Ali Mustafa Yaqub memberikan penjelasan bahwa fikih siyasah antara perang dan damai ini, dulu para kiai dan santri itu sangat menentang para penjajah. Lalu apa sebenarnya yang dilawan, apakah orangnya, perilakunya, atau identitasnya?

Perlu diingat pula, bahwa landasan para kiai berjuang memerdekaan Indonesia adalah sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap sebuah bangsa. Dengan demikian yang dilakukan para ulama dahulu bukan memerangi identitas, bukan juga orangnya, tapi sikap menjajahnya. Artinya yang perlu dilawan bukanlah identitasnya, melainkan sikap dan perilaku yang semena-mena dan merugikan.

Selama 30 tahun lebih NU dalam tempurung orde baru, di mana mereka tidak mendapatkan pintu untuk bergerak. Meskipun demikian NU tidak membenci negara. Gus Dur mengatakan bahwa orang NU akan memanen hasilnya, dan hasil tersebut dapat dilihat pada era reformasi.

Fikih Siyasah Identik dengan Politik Identitas?

Polarisasi agama itu adalah model lama. Ini adalah cara orientalis yang melakukan politik devide at impera. Ini merupakan upaya orang-orang penjajah yang tidak mau orang Indonesia berkarya dan progresif. Dengan demikian, mari kita geser sudut pandang kita bahwa fikih siyasah tidak selamanya dengan politik identitas. Tapi juga ideologi yang berupaya menekan dan memeras masyarakat.

Dulu ketika NU sempat berafiliasi dengan Nasakom, artinya para ulama dahulu lebih mengedepankan politik kemaslahatan. Tak pandang apakah ia kafir atau bukan, selama itu memberikan maslahat dan mencegah mudarat maka itu adalah politik siyasah kita.

Pembicaraan kita saat ini bukan lagi melihat identitas, tapi siapapun yang tidak melakukan sikap adil di negara ini, penjajahan, pemerasan, penindasan kepada masyarakat Indonesia, maka umat harus Bersatu dalam melawan itu semua. Ini merupakan upaya untuk mengimplementasikan nilai Pancasila kelima, yaitu ‘keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’. Artinya semua hal ini akan bermuara pada maqashid al-syariah.

Tambahan Pendapat dari Ketua PCINU Thiongkok

Setelah pemaparan yang lumayan panjang dari KH. Wahid, kemudian moderator meminta pendapat dari ketua PCINU Thiongkok yakni Ustaz Kaulan Fahmi. Beliau menjelaskan dalam fikih siyasah ini bukan perang dengan senjata yang saat ini diperjuangkan. Tapi bagaimana kita memperjuangkan orang-orang yang belum mendapatkan hak-haknya.

Kira-kira apakah output dari fikih peradaban ini?. apakah nanti isu-isu yang lahir dari fikih peradaban ini khususnya perdamaian, dapat kita suarakan secara lebih luas kepada dunia?.

Pendapat Singkat dari Perwakilan PCNU Bogor

Setelah pemaparan singkat dari beliau, disambung dengan tanggapan dari perwakilan PCNU Bogor yakni Pak Husni. Beliau menjelaskan bahwa nilai-nilai toleransi ini tidak boleh satu arah. Tapi harus dilakukan oleh dua arah antara orang muslim dan non muslim. Agar setiap pemeluk agama yang minoritas di beberapa daerah tertentu, mendapatkan rasa aman dalam menjalankan keagamaannya.

Paham toleransi ini seharusnya tidak hanya sekedar gagasan yang disampaikan dengan lisan, akan tetapi harus adanya pemahaman dan pendidikan yang baik tentang bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang-orang non muslim. Artinya gagasan ini bukan hanya menjadi paham, tapi juga menjadi aksi nyata. Masjid istiqlal dapat menjadi tren yang bagus dalam melihat keharmonisan antar agama. Misalnya pembangunan trowongan yang menghubungkan antara masjid Istiqlal dan gereja Katedral. Sebab kelihatannya masjid-masjid yang berdampingnan dengan gereja, lebih bisa toleransi dibanding masjid-masjid yang sangat jauh dari gereja. Sehingga konklusinya perlu pengajaran tentang bagaimana tata cara berkomunikasi dengan non muslim.

Penjelasan Narasumber

Ibu Nyai Hj. Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm memberi penjelasan berupa fikih peradaban yang ada saat ini bukan sesuatu yang baru, tapi melanjutkan bangunan yang telah dibuat oleh para muassis NU. Kita hanya perlu merumuskan lebih detail mengenai fikih peradaban. Selain itu fikih ini tidak hanya tercangkup dalam nasional (Indonesia) tapi juga skala internasional.

Toleransi itu sikap moderat tanpa menghilangkan jari diri kita.

Output dari halaqah fikih peradaban ini adalah perlu kita membuat filosofi fikih peradaban serta nilai-nilai dalam konteks peradaban manusia, serta usulan konkrit dalam membangun peradaban manusia.

Tanggapan Narasumber Ketiga

Dilanjut dengan tanggapan dari Dr. H. Alvian Iqbal Zahasfan yang menjelaskan bahwa yang pertama dilakukan oleh Rasulullah bukan dakwah, melainkan rekonstruksi sosial dulu.

Tidak ada perang suci, yang ada hanya perang politik.

Mungkin salah satu tawaran untuk kaidah fikih peradaban bahwa tidak ada peperangan yang berangkat dari perbedaan-perbedaan agama.

Tanggapan Ustaz dan Pengajar Darus-Sunnah

Penutup diskusi sesi kedua sekaligus penutup acara diskusi halaqah fikih peradaban kali ini disampaikan oleh Dr. Fadzlurrahman, MA. Beliau menjelaskan kebijakan populis bahwa Arab selangkah lebih maju dalam membangun keharmonisan dengan Israel. Secara diam-diam Saudi membangun kota yang futuristic, kota yang memiliki kerja sama antara Israel, Yoda. Tathbi’ yaitu upaya normalisasi dengan Israel.

Salah satu NU dapat masuk ke tanah Betawi. Ketika info masuk kepada Habib Ali Kwitang. Ketika beliau menerima NU, secara otomatis 70% yang menerima NU. Beliau punya anak sulung bernama Abdurrahman bin Ali bin Habsyi, menikah dengan Maryam seorang seorang Katolik asli yang berasal dari Belanda.

Diskusi yang penuh substansi dari para narasumber dan musyawirin berlangsung sepanjang acara. Halaqah Fikih Peradaban ini memiliki beberapa referensi utama di antaranya Muqaddimah Qanun Asasi, Keputusan Muktamar Situbondo tentang penerimaan Pancasila dan Kembali ke Khittah NU 1926 dan Keputusan Munas Lampung 1992 tentang bermazhab secara manhaji. Adapun sebagai referensi tambahan, al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, pembahasan fikih mengenai al-jihad dan kitab al-siyar, karya Syekh Wahbah Zuhaili yang berjudul al-‘Alaqat al-Dauliyah fi al-Islam dan karya Fahmi Huwaidi, Muwathinun La Dzimmiyyun.