Majalahnabawi.comMulih Dhisik, kata ini masih asing di telinga. Namun begitu mendengar kata mudik seakan tak asing telinga mendengarnya. Sebagai wong deso (dari desa), kata mudik membawa lamunan pada hijaunya kampung halaman dan bersalam-salaman saat lebaran, aduhai indahnya. Tradisi tahunan yang biasanya berlangsung menjelang lebaran ini menjadi ajang silaturahmi, berkumpul dengan sanak saudara, serta sowan dengan orang tua. Khusus bagi pelajar, mudik merupakan momen yang tepat untuk pulang kampung.

Konon mudik diambil dari kata udik yang berarti kampung atau jauh dari kota. Entah kapan tradisi satu ini berawal, namun merujuk pada kajian budayawan, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa, yang sudah mengenal tradisi ini jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Tradisi ini dilakukan dengan membersihkan perkuburan dan doa bersama kepada dewa- dewa di kayangan untuk memohon keselamatan kampung, yang dilakukan sekali setahun.

Ketika Islam datang, tradisi ini tidak dihilangkan begitu saja. Para ulama mencoba memasukkan unsur- unsur Islam dalam tradisi tersebut agar tidak bertentangan dengan Islam. Sehingga, sampai sekarang kebiasaan membersihkan kuburan dan berdoa bersama ketika mudik masih berlaku di tengah masyarakat Jawa.

Bagi masyarakat minang, istilah mudik lebih dikenal dengan pulang kampuang. Pepatah mengatakan “satinggi-tinggi tabang bangau, akhiamo babalink ka kubangan juo” pepatah ini sejalan dengan peribahasa “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Meskipun beragam istilah mudik yang digunakan masing -masing daerah, akan tetapi esensinya tetap sama, yakni menyiratkan kerinduan akan kampung halaman.

Mudik perspektif Islam

sependek bacaan kami, fenomena mudik hanya ada di Indonesia. Di negara lain, memang ada tradisi pulang kampung. Adalah kewajaran ketika ada yang merantau ke kota, pada akhirnya akan pulang kampung, walaupun sesaat. Namun, tidak semarak ajang pulang kampung (mudik) yang ada di negara ini. Tiap tahun menjelang lebaran, kita bisa lihat tanpa dikomando oleh seorang pun. Secara spontan masyarakat akan berbondong-bondong untuk pulang kampung. Akhirnya, daerah perkotaan sepi.

Ditinjau dari perspektif Islam, mudik memiliki hikmah yang sangat banyak. Salah satunya, memperkuat silaturahmi. Setelah sekian lama tak berjumpa dengan sanak saudara dengan adanya mudik tali yang selama ini renggang kembali tersambung dan kokoh. Ini dijalani meskipun harus melewati hiruk-pikuk kendaraan, macet berjam-jam, berdesak-desakan yang selalu mewarnai perjalanan mudik.

Semua ini, tak seberapa dibanding nikmatnya bertemu sanak saudara di kampung halaman. Silaturahmi merupakan perbuatan yang terpuji dan mulia. Nabi Saw. sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menyambung silaturahmi. Bahkan, Nabi mengancam siapa saja yang memutuskan tali silaturahmi. Hal ini sebagaimana yang tergambar dari Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang berbunyi :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلي الله عليه وسلم – الرَّحِيمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ الله .«

Aisyah Ra. bercerita: “Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kasih sayang/persaudaraan itu bergantung di ‘arsy seraya berkata barang siapa yang menyambungku maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutusku maka Allah akan memutuskannya.” (HR. Muslim)

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa rasulullah memerintahkan kita untuk senantiasa menjalin silaturahmi dengan saudara kita. Oleh karena itu, momen-momen mudik merupakan waktu yang sangat tepat untuk merealisasikan perintah Rasulullah saw. Keberkahan mengamalkan silaturahmi sebagai ajaran Rasulullah saw, salah satunya dapat dirasakan dengan banyaknya “gratisan” yang jarang sekali ditemui dalam kerasnya kehidupan kota Jakarta. Bahkan salat pun harus bayar, “air wudhu nggak gratis, neng.”

Ajaibnya, siapa sangka gratis tiba- tiba saja muncul bertaburan pada tradisi ini. Seperti mendapat durian runtuh, ada banyak mudik gratis dan fasilitas gratis bagi para pemudik seperti pijat gratis untuk menghilangkan penat, cek kesehatan gratis, helm gratis, buka puasa gratis, yang disponsori oleh partai-partai politik dan lembaga swasta.

Mungkin ini yang dimaksud dengan pertolongan Allah yang diberikan kepada yang ingin menyambung silaturahmi, seperti hadis riwayat al-Bukhari:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلَ رَحِمَهُ

Abu Hurairah menceritakan “bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda “barang siapa yang ingin diberi kelapangan rezeki dan ingin dipanjangkan ustama, maka hendak lah menyambung silaturrahim.” (HR. Al-Bukhori).