Perbudakan adalah adat dan sistem kepemilikan yang resmi pada masa jahiliyah, bahkan sebelum masa jahiliyah pun adat istiadat ini sudah ada. Seseorang yang menjadi budak tidak memiliki tubuhnya sendiri secara utuh.

Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai eksistensi hukum perbudakkan di masa sekarang. Apakah hukumnya masih ada atau sudah dihapuskan. Sebagian ulama berpendapat sudah dihapuskan, sebagian lagi mengatakan yang dihapus hanya adat dan sistemnya saja, adapun hukum fikih yang menjadi patokan dalam segala hal yang berkaitan dengan budak masih berlaku. Salah satu alasannya, karena penghapusan hukum syariah itu hanya boleh terjadi di masa Rasulullah SAW saja, yaitu selama wahyu belum berhenti turun.

Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA, ketua lembaga Rumah Fikih Indonesia pernah menulis keterangan mengenai hal ini. “Seluruh peradaban dunia di masa lalu memang pernah melegalkan perbudakan manusia dan diakui dalam sistem hukum positif. Pasar budak di masa itu legal dan diakui secara resmi. Dan para budak itu menjadi aset kekayaan sah dan legal di mata hukum.

Lalu datanglah syariat Islam yang meruntuhkan sistem perbudakan ini secara manis. Bukan hukumnya yang dihancurkan, tetapi para budaknya yang dihabisi lewat berbagai macam paket pembebasan budak. Islam mengharamkan riba yang jadi cikal bakal tumbuhnya perbudakan manusia. Islam juga menghukum mati penyamun di padang pasir, yang paling getol menjadikan manusia merdeka sebagai budak.

Islam juga menetapkan bahwa orang merdeka yang nikah secara resmi dengan budak, maka anak yang dilahirkan otomatis anak merdeka. Sehingga cara ini memperkecil populasi jumlah budak di dunia.

Bahkan dari 8 ashnaf zakat, salah satunya adalah biaya untuk membebaskan budak dengan jalan diberi uang penebusan diri. Pelanggar puasa di siang hari dengan berjima’ maka dihukum dengan membebaskan budak. Membunuh nyawa secara keliru juga dihukum dengan membebaskan budak. Melanggar sumpah dihukum dengan membebaskan budak. Menzhihar istri dihukum dengan membebaskan budak.

Maka kalau hari ini ada pihak-pihak yang justru ingin menghidup-hidupkan lagi perbudakan, apalagi lewat jalur perang dan pembegalan, maka mereka itu bukan hanya berbuat dosa tetapi secara terang-terangan menentang Rasulullah SAW dengan cara menginjak-injak misi kemanusia yang beliau SAW bawa.” Tulis beliau

Berbicara mengenai hamba sahaya, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, mereka tidak memiliki hak penuh atas tubuh dan hartanya, layaknya barang dagangan milik tuannya. Ada satu persoalan, bagaimana jika terjadi pembunuhan atas hamba sahaya yang mana pelakunya adalah tuannya, atau orang lain yang statusnya merdeka, apakah terjadi hukum qishas di sana?

Hal yang harus kita lakukan adalah medudukkan perkara qishas terlebih dahulu. Qishas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ada syarat qātil, ada syarat maqtûl. Dalam syarat maqtûl diseutkan salah satunya adalah seorang yang dikenai qishās atau al-Maqtûl harus sama derajatnya dengan al-Qātil. Artinya mereka harus sama-sama merdeka, hubungan keduanya bukanlah hubungan antara orangtua dan anak, dan dua-duanya sama-sama orang islam.

Dikutip dari kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Zuhaili,

اشتراط الجمهور (غير الحنفية) أن يكون المقتول مكافئاً للقاتل في الإسلام والحرية، فلا يقتل قصاصاً مسلم بكافر، ولا حر بعبد، لقول النبي صلّى الله عليه وسلم : «لا يقتل مسلم بكافر

Jumhur Ulama (selain ulama mazhab Hanafi) menyaratkan al-Maqtûl dengan al-Qātil harus sama-sama islam dan setara secara status kemerdekaan. Maka pembunuhan seorang muslim terhadap orang kafir, atau orang merdeka terhadap hamba sahaya tidak dikenai sanksi qishās. Landasannya adalah sabda Nabi Saw,

لا يقتل مسلم بكافر

“Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir”

Dari keterangan diatas kita mengetahui bahwa orang islam tidak dikenai sanksi qishās karena membunuh seorang yang kafir, jumhur ulama telah sepakat akan hukumnya. Hanya saja sekarang kita mesti melihat keadaan yang ada, perbudakan sudah tidak ada lagi di muka bumi, maka yang tersisa hanya tinggal hukumnya.

Wallahu a’lam