majalahnabawi.com – Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jenis hukuman kepada orang yang melakukan tindak penyimpangan seksual, terutama homoseksual dan lesbian.

Pendapat pertama, dikemukakan oleh Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa kepada pelakunya diberlakukan hukuman zina. Namun kelompok ini berbeda pendapat dalam mementukan jenis hukuman kepada pelakunya. Madzhab Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukuman pelaku liwath adalah dirajam tanpa membedakan apakah masih bujangan ataukah sudah menikah.[1] Argumentasi mereka berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda:

“مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ”

Siapa yang kalian temukan melakukan perbuatan seperti perbuatan Kaum Luth (perbuatan homoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan pasangannya karena perbuatan itu.” (HR. Abu Dawud[2] dan Ibnu Majah[3])

Pendapat Mazhab Syafiiyah dan Abu Hanifah tentang Hukuman Pelaku LGBT

Sedangkan dalam mazhab Syafi’iyah dalam pendapatnya yang populer, hukuman pelaku liwath diberlakukan seperti hukuman zina, yaitu dicambuk bagi yang masih bujangan dan dirajam (dilempar dengan batu sampai wafat) bagi mereka yang sudah menikah. Argumentasi yang mereka ajukan adalah bahwa perbuatan homoseks dalam bentuk liwath/Sodom itu termasuk dalam kategori perbuatan zina.[4]

Sedangkan pendapat kedua, menyatakan bahwa hukumannya diserahkan kepada penguasa. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah. Menurutnya, penguasalah yang berhak menetapkan jenis hukumannya, karena perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan ke dalam perbuatan zina, maka hukumannya pun tidak dapat disamakan dengan hukuman zina.[5]

Sedangkan hukuman bagi pelaku lesbi, ulama sepakat mengatakan, bahwa hukumannya adalah ta’zir, yaitu suatu hukuman yang macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada homoseksual, karena bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homoseksual, karena lesbian itu hanya bersentuhan langsung tanpa memasukkan alat kelaminnya, seperti halnya pria.[6]

Hukuman Pelaku LGBT menurut KUHP

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pelanggaran terhadap kesucian melalui perbuatan sodomi (homoseks), pada dasar 292 disebutkan:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun.”

Di Indonesia, larangan hubungan seksual sesama jenis kelamin (homoseksual) hanya terhadap orang yang melakukannya dengan anak yang belum dewasa. Jika homoseksual itu dilakukan oleh orang-orang yang sama-sama dewasa dan sama-sama suka, maka hubungan homoseksual itu tidak dapat dilarang.

Tetapi masyarakat tidak atau belum dapat menerima pemikiran ini, karena hubungan homoseksual itu, menurut hukum pidana Islam khususnya, adalah merupakan hukuman pidana yang dapat dikenakan hukuman jika terbukti.

Sebagaimana telah dijabarkan di atas, bahwa dalam rangka penerapan tehadap hukuman dan untuk melindungi masyarakat dari kekejian perilaku, maka dibutuhkan kekuasaan dan kedaulatan untuk dapat menegakkannya. Di Indonesia, sebagaimana pasal 292 dalam KUHP di atas, dikatakan sanksi hukuman untuk perbuatan cabul sesama jenis kelamin (dalam hal ini sodomi) hanya diberlakukan bagi pelaku yang melakukan perbuatan keji itu dari orang dewasa kepada anak yang di bawah umur.

Namun apabila perbuatan ini dilakukan oleh orang yang dewasa dan sama-sama suka, maka hukuman tersebut tidak diberlakukan. Ini jelas sangat bertentangan dengan al-Quran dan Hadits sebagai dasar utama penerapan hukum Islam, bahkan bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI Bidang Perkawinan.

REFERENSI


[1] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Damasukus: Dar al-Fikr), cet. 4, jilid 7, hal. 5393.

[2] Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah), jilid 4,hal. 158.

[3] Abu Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah), jilid 2, hal. 856.

[4] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, jilid 7, hal. 5393.

[5] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, jilid 7, hal. 5393.

[6] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, jilid 7, hal. 5346.

By Afrian Ulu Millah

Mahasanti Darus-Sunnah International Institute of Hadith Sciences