Ibnu Umar dan Semangat Belajar
Suatu ketika para Sahabat saling berbisik satu sama lain. Mereka memperbincangkan sebuah isu yang beredar di kalangan masyarakat Madinah. “Jika kalian sedang buang air besar maka jangan menghadap kiblat dan Bait al-Maqdis,” kata salah seorang sahabat mengutip perkataan Rasulullah Saw.
Para sahabat meyakini Hadis Rasul tersebut merupakan sebuah kemutlakan, bahwa menghadap kiblat dan membelakanginya ketika sedang buang hajat merupakan sebuah larangan, di manapun dan kapanpun, baik ketika berada di dalam ruangan maupun di padang luas. Terlebih para tokoh sekelas Abu Hurairah, Abu Ayyub al-Anshory, Ma’qil al-Asady, dan sahabat lain berada di posisi pendapat itu.
Sementara Abdullah bin Umar –yang akrab dipanggil Ibnu Umar- tidak serta merta menerima kabar yang berhembus ketika itu. Sekalipun itu terucap dari mulut Abu Hurairah, seorang sahabat yang sehari-hari bersama Rasul, mengetahui banyak hal apa yang dilakukan, diucapkan, dan ditetapkan Rasulullah Saw.
Sebagai seorang sahabat yang sangat selektif dalam menerima dan mengamalkan Hadis, Ibnu Umar berkepentingan untuk mengkroscek secara langsung kebenaran kabar yang beredar di masyarakat Madinah. Memang, Rasulullah Saw mengajarkan tata cara buang hajat dengan duduk serendah mungkin untuk menghindari percikan najis. Namun, apakah benar Rasul melarang menghadap kiblat atau membelakanginya secara mutlak ketika buang hajat?
Ibnu Umar kemudian mencari-cari cara untuk mengetahui secara langsung etika buang hajatnya Rasul Saw. Ia tidak puas hanya dengan desas-desus yang beredar di kalangan sahabat bahwa Rasul pernah melarang membuang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya, di manapun dan kapanpun. Naluri kesantriannya pun muncul. Sebagai pemuda yang menimba samudera ilmu dari orang yang paling agung, ia merasa perlu mencari informasi sebanyak-banyaknya.
Ibnu Umar merupakan pemuda yang memiliki semangat dan loyalitas tinggi untuk berkhidmah dan menimba ilmu dari Rasul. Bahkan ketika usianya baru menginjak lima belas tahun, dengan gagah berani ia menawarkan diri untuk ikut serta dalam perang Khandaq.
Kecintaannya kepada agamanya mengalahkan rasa takutnya kepada kematian. Ikut berjihad bersama Rasulullah Saw merupakan angan-angan yang telah lama ia pendam. Ia tidak lagi mempedulikan nyawa yang berpotensi melayang di medan perang, karena meninggal dalam keadaan syahid adalah nikmat yang ia dambakan. Toh, pada kenyataannya ia merupakan pasukan jihad muda yang menonjol. Kepiawaiannya di medan perang sudah tidak diragukan lagi.
Tidak hanya di medan tempur, Ibnu Umar juga dikenal sebagai sosok yang senantiasa menyiangi malam dengan beribadah. Suatu ketika, sepulangnya dari selesai salat bersama Rasulullah Saw, ia kemudian tidur dan bermimpi.
“Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beludru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka,” tuturnya kepada Hafsah, menceritakan mimpi yang ia alami semalam.
Ketika Hafsah menceritakan mimpi tersebut kepada baginda Rasulullah Saw, beliau pun mengiyakan dan memuji Ibnu Umar. Ibnu Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah Saw.
Sepeninggal Rasulullah Saw, apabila ia mendengar nama beliau disebut di hadapannya, ia sesenggukan tak mampu membendung buliran air matanya. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah Saw, baik di Mekkah maupun Madinah, ia lantas memejamkan mata, mengingat kenangan bersamanya ketika masih hidup, dan tanpa terasa air bening meluncur dari sudut kelopak mata.
Sebagai sahabat Rasul yang ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah Saw, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Ibnu Umar masih diam mematung dan merenung. Keingintahuannya tak jua sirna. Ini menyangkut hukum fikih yang teramat penting untuk diketahui umat Islam. Maka, untuk kepentingan itu, suatu hari ketika ia berada di rumah Hafsah, saudara perempuannya, ia melakukan perbuatan yang mungkin boleh dianggap berlebihan bagi sebagian orang.
Demi untuk mengetahui secara langsung etika Rasul dalam membuang hajat, ia kemudian naik ke atap rumah Hafsah.Apa yang dilihat oleh Ibnu Umar sangat mengejutkan. Karena, ternyata Rasul ketika itu sedang membuang hajat dan menghadap Baitul Maqdis. “Aku melihat Rasulullah SAW berpijak pada dua batu bata sedang membuang hajat seraya menghadap Baitul Maqdis,” ungkap Ibnu Umar.
Berdasarkan apa yang ia lihat tersebut maka anggapan para sahabat pun terpatahkan. Bahwa perkataan Rasul mengenai larangan menghadap atau membelakangi kiblat dan Bait al-Maqdis tidaklah mutlak. Karena, pada kenyataannya Rasul pernah melakukannya di rumah Hafsah, sebagaimana apa yang disaksikan Ibnu Umar.
Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan Ibnu Umar, melihat Rasul sedang membuang hajat, sebagai sesuatu yang tidak diperbolehkan, karena itu termasuk aurat. Sebagian yang lain memandang bahwa itu merupakan sebuah kebetulan yang tidak disengaja, maka tidak apa-apa.
Berbeda al-Kirmany, ia menganggap bahwa memang benar Ibnu Umar sengaja ingin mengetahui etika Rasul dalam membuang hajat, yang mana itu berkaitan dengan aurat beliau, hanya saja apa yang dilihatnya ketika itu hanya bagian kepala, tidak sampai ke bagian anggota badan yang lain. Terlepas dari hal itu, apa yang Ibnu Umar lakukan merupakan bentuk kesungguhannya dalam menuntut ilmu.
Sebagai seorang santri yang mengaji kepada baginda Nabi, ia selalu mengekspresikan semangatnya dalam menimba samudera ilmu dari sumbernya. Nalurinya selalu terpacu untuk mencari informasi keislaman sebanyak-banyaknya dari baginda Nabi Saw. Maka tidak heran jika ia menjadi orang kedua yang paling banyak meriwayatkan Hadis setelah Abu Hurairah.
Ibnu Umar merupakan pribadi yang sangat mencintai gurunya, baginda Rasul Muhammad Saw. Saking cintanya, sampai-sampai ia berusaha mengikuti persis apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Mulai dari peristiwa itulah ia kemudian dikenal sebagai tokoh yang tekstual dalam mengamalkan Hadis.
Keingintahuannya pada apa yang dilakukan Rasul, yang merupakan lumbung ilmu, menjadikannya merasa perlu melihat sendiri praktiknya, sebagaimana kisah di atas. Selain juga untuk meluruskan anggapan para sahabat ketika itu.
Berdasarkan kisah tersebut, Imam Abu Hanifah dalam salah satu riwayat menghukumi makruh menghadap atau membelakangi kiblat ketika membuang hajat di dalam rumah, dan haram ketika berada di padang nan luas. Sementara Imam Malik dan al-Syafi’i menghukumi makruh ketika berada di padang luas, dan boleh ketika di dalam rumah atau bangunan. Berbeda dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang membedakan hukum antara menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan: Badruddin al-Ainy al-Hanafy, Umdat al-QoryAhmad bin Muhammad al-Qasthallany, Irsyad al-SaryIbnu Hajar al-Asqallany, Fath al-BaryAl-Bukhary, Shahih al-Bukhary