Imam Nawawi Lupa Menikah

www.majalahnabawi.com – Sebuah pernikahan memiliki nilai yang sangat besar dalam agama Islam, ulama juga sepakat bahwa menikah merupakan hal yang dianjurkan dalam agama. Bahkan siapa sangka, bahwa pernikahan merupakan penyempurna agama seorang muslim. Lantas bagaimana dengan imam al-Nawawi (w. 676 H) -seorang ulama yang karya-karyanya menjadi rujukan di berbagai lintas dunia- yang tidak menikah sampai akhir hayatnya?

Biografi Singkat Imam Al-Nawawi

Al-Imam al-Nawawi atau yang memiliki nama asli Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi al-Dimasyqi merupakan salah satu ulama Syafi’iyyah yang namanya begitu terkenal di kalangan umat muslim terlebih di lingkungan pesantren.

Ulama besar yang menetap di Damaskus ini lahir di desa Nawa (dekat dengan Damaskus) pada bulan Muharram tahun 631 H dan wafat pada 24 Rajab 676 H, sepulangnya dari Baitul Maqdis. Kepopuleran nama imam al-Nawawi di kalangan umat muslim tidak lain dilatarbelakangi oleh keilmuannya yang begitu dalam. Hal ini dapat diketahui dari karya tulis beliau yang sangat banyak lagi mengandung informasi yang sangat mendalam. Maka tidak mengherankan, jika apa yang telah beliau tinggalkan kini menjadi rujukan penting dalam madzhab Syafi’i.

Meski terkenal sebagai ulama yang luas keilmuannya dan juga produktif dalam menulis, ternyata imam al-Nawawi juga terkenal sebagai ulama yang jomblo sampai akhir hayatnya. Informasi ini dapat kita lacak pada karya ulama setelahnya, seperti syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (w. 1417 H) yang memasukkan nama imam al-Nawawi dalam daftar isi buku kitabnya yang diberi nama “Al-Ulama Al-Uzzab Alladhina Atsarul Ilma A’la Zawaj”.

Lantas, apakah imam al-Nawawi menolak adanya pernikahan? Jangan berhenti sampai di sini, mari kita lanjut supaya tidak salah paham.

Pendapat Al-Nawawi Terkait Menikah

Meskipun imam al-Nawawi terkenal sebagai ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya, bukan berarti mengindikasikan bahwa beliau melarang sebuah pernikahan. Sebab dalam beberapa karyanya, tidak ditemukan satu pun pernyataan imam al-Nawawi yang melarang sebuah pernikahan, melainkan beliau sepakat dengan ulama lainnya yang membolehkan sebuah pernikahan.

((فإن ‌النكاح ‌مشروع ‌بالكتاب والسنة كما أوردنا من نصوصهما وقد اختلف الفقهاء في كونه واجبا أو جائزا فمذهبنا جوازه))

Artinya: Sesungguhnya nikah telah disyari’atkan dalam al-Qur’an dan hadits sebagaimana yang telah kami sebutkan teks keduanya. Namun para fuqaha berbeda pendapat, apakah nikah itu wajib, atau boleh. Kalau mazhab kami (Syafi’i), boleh.” (lihat Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 16, hal. 129 versi Al-Maktabah Al-Syamilah).

Namun yang mengherankannya, di saat imam al-Nawawi mengafirmasi pernyataan para ulama yang membolehkan sebuah pernikahan. Justru di sisi lain ia juga mengafirmasi pernyataan ulama yang menyarankan untuk menjomblo.

((وقال الخطيب البغدادي في كتابه الجامع لآداب الراوي والسامع يستحب ‌للطالب ‌أن ‌يكون ‌عزبا ‌ما ‌أمكنه لئلا يقطعه الاشتغال بحقوق الزوجة والاهتمام بالمعيشة عن إكمال طلب العلم واحتج بحديث: خيركم بعد المائتين خفيف الحاذ وهو الذي لا أهل له ولا ولد: وعن إبراهيم بن أدهم رحمه الله من تعود أفخاذ النساء لم يفلح يعني اشتغل بهن. وهذا في غالب الناس لا الخواص: وعن سفيان الثوري إذا تزوج الفقيه فقد ركب البحر فإن ولد له فقد كسر به: وقال سفيان لرجل تزوجت فقال لا قال ما تدري ما أنت فيه من العافية: وعن بشر الحافي رحمه الله من لم يحتج إلى النساء فليتق الله ولا يألف أفخاذهن))

Artinya: Al-Khotib Al-Baghdadi (w. 463 H) pernah berkata dalam kitabnya Al-Jami’ li Adab Al-Rawi wa Al-Sami: ((Seorang penuntut ilmu dianjurkan menjomblo sebisa mungkin. Agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan repot mencari nafkah)). Ia berhujjah dengan hadis: ((Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun adalah yang ringan kondisinya, yakni dia tidak punya keluarga dan tidak punya anak)). Dan dari Ibrahim bin Adham (w. 162 H): ((Barangsiapa yang kembali kepada paha para wanita, maka tidak akan bahagia)) maksudnya disibukkan dengan wanita, namun hanyalah kebanyakannya. Dan dari Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H): ((Ketika seorang Faqih menikah, maka ia sedang mengarungi lautan. Namun ketika sudah memiliki anak, berarti ia hancurkan perahu itu)). Sufyan pernah bertanya kepada seorang lelaki ((apakah engkau sudah menikah?)) ((Tidak)) jawab lelaki tersebut. Lalu Sufyan berkata ((Tahukah engkau betapa selamatnya engkau dalam masalah ini)). Dan dari Bisyar Alhafi (w. 227 H): ((Barangsiapa yang tidak menginginkan perempuan maka bertaqwalah kepada Allah dan janganlah bergaul dengan wanita))”. (lihat Muqaddimah Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, juz 1, hal. 35 versi Al-Maktabah Al-Syamilah).

Maka sebab itu, timbulah sebuah pertanyaan apakah sebenarnya imam al-Nawawi memiliki rasa keinginan untuk menikah atau tidak?

Imam Al-Nawawi Lupa Menikah

Meskipun imam al-Nawawi mengafirmasi beberapa pernyataan para ulama yang menyarankan untuk menjomblo, hal tersebut tidak mengindikasikan bahwa imam al-Nawawi tidak memiliki keinginan untuk menikah. Karena diriwayatkan bahwa ada beberapa muridnya yang memberanikan diri untuk bertanya kepada imam al-Nawawi mengenai kenapa ia tidak kunjung menikah sampai ajal akan menjemputnya. Hal ini sebagaimana yang dituliskan oleh Abu al-‘Ala Muhammad bin Husein dalam salah satu karyanya.

((الامام النووى لما جاءه الموت قالوا له: لم لم تتزوج؟، قال: لو تذكرت لفعلت .. نسيت))

Artinya: Saat imam al-Nawawi akan wafat, para muridnya bertanya kepadanya: ((Kenapa engkau tidak menikah?)). Imam al-Nawawi pun menjawab: ((Kalaulah aku ingat, pasti aku akan melakukannya (menikah), hanya saja aku lupa”. (lihat Ushul al-Wushul ila Allah Ta’ala, hal. 132 versi Al-Maktabah Al-Syamilah).

Betapa mengejutkannya, bahwa sebenarnya imam al-Nawawi sebagaimana manusia biasa juga memiliki rasa keinginan untuk menikah, hanya saja ia lupa sehingga tak sempat untuk menikah. Hal ini tidak lain difaktorbelakangi oleh keseriusan dan kecintaannya dalam mendalami ilmu agama disertai dengan motivasi para ulama-ulama sebelumnya yang menganjurkan untuk tidak menikah di saat-saat masih dalam proses menimba ilmu.

Similar Posts