Isra Mikraj: Mungkinkah Dialami Manusia selain Nabi?

Majalahnabawi.com – Tulisan ini berangkat dari kisah dalam kitab al-Jauhar al-Syafaf karya al-Khatib (w. 724 H), jilid 1 halaman 78, yang meriwayatkan bahwa Faqih Muqoddam (Muhammad bin Ali Ba’alawi) telah melakukan surat-menyurat dengan Syekh Sa’ad al-Dzifari. Dalam suratnya, Faqih Muqoddam mengaku telah melakukan Mikraj ke Sidratul Muntaha sebanyak 7 kali dalam satu malam. Ada juga riwayat lain yang menyebutkan jumlahnya mencapai 27 kali, bahkan 70 kali. Selain itu, dalam kitab al-Nur min Kalimat Abi Thaifur karya al-Sahlaji, diceritakan bahwa Abu Yazid al-Busthami pernah melakukan hal serupa. Ia mengaku telah mikraj dengan ruhnya dan menyalami ruh para Nabi yang ia temui, kecuali Nabi Muhammad, karena ruhnya terhalang (hijab) sebanyak 1.000 lapis.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak pembaca sekarang adalah, “Apakah mungkin manusia selain Nabi bisa melakukan Mikraj?”

Apa Itu Isra Mikraj?

Mikraj berasal dari bahasa Arab, biasanya ditulis sebagai al-Isra’ wal-Mi’raj, yang terdiri dari dua kata: isra dan mikraj. Kata isra berasal dari kata sara-yasri yang berarti perjalanan malam. Sementara itu, mikraj berarti kendaraan, alat untuk naik, atau tangga. Bentuk jamaknya adalah ma’arij, yang berarti tempat-tempat naik.
Menurut Ihsan Faisal, isra mikraj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Bagi para sufi, isra mikraj adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mikraj dalam Perspektif Sufi dan Filsafat

Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. al-Habib Ali Baqir Assegaf dalam ulasannya tentang kitab al-Qistas al-Mustaqim karya al-Ghazali, beliau menekankan pentingnya memahami Mawazin Aqliyah Khamsah atau Asykal Mantiqiyah, yang menjadi dasar berpikir secara logika dalam Islam. Allah mengizinkan manusia untuk mengetahui kesempurnaan-Nya melalui jalan ini, yaitu dengan berpikir tentang alam semesta.
Contohnya, ketika kita menggunakan Mizan Akbar untuk mengetahui bahwa alam semesta itu hadis (ada dari tiada), kita menggabungkan dua premis: (1) alam semesta selalu berubah, dan (2) sesuatu yang selalu berubah pasti hadis (karena Tuhan tidak mungkin untuk berubah). Maka, alam semesta adalah sesuatu yang hadis. Selanjutnya, kita menggunakan hasil pemikiran ini sebagai premis untuk mengetahui hal lain: setiap yang hadis memerlukan pencipta atau dengan kata lain sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan. Dengan demikian, alam semesta memerlukan pencipta.

Dari sini, kita bisa naik ke tingkat pemikiran yang lebih tinggi untuk mengetahui sifat-sifat pencipta, seperti Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, dan Maha Hidup. Proses ini disebut oleh al-Ghazali sebagai mikraj ruhani, yaitu perjalanan spiritual untuk mengenal kesempurnaan Allah. Menurut al-Ghazali, mikraj ruhani ini bisa dilakukan oleh semua orang, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Sebagian ulama bahkan bisa mencapai sepuluh tingkat, yang berarti mereka mengetahui sepuluh kesempurnaan Allah melalui Mizanul Akbar.

Mikraj Para Wali dalam Kitab Klasik

Selain dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim karya al-Ghazali, kitab al-Jauhar al-Syafaf karya al-Khatib, dan kitab al-Nur min Kalimat Abi Thaifur karya al-Sahlaji, kisah mikraj para wali juga disebutkan dalam kitab al-Kasyf al-Hijab wa al-Ran karya Imam al-Sya’rani. Beliau menjelaskan bahwa para wali (Auliya) Allah bisa saja mengalami kasyaf (terbuka hijabnya), sehingga mereka mampu menembus tempat-tempat yang secara akal biasa tidak mungkin dijangkau. Kemampuan ini tergantung pada tingkat kedudukan spiritual sang wali. Bahkan, ada yang bisa mikraj hingga menembus Sidratul Muntaha dengan ruhnya. Imam al-Sya’rani menjelaskan hal ini sebagai jawaban atas pertanyaan sebagian muridnya dari bangsa jin. Menurutnya, para wali memiliki kemampuan spiritual yang luar biasa, dan mikraj adalah salah satu bentuk karunia Allah kepada mereka.

Apakah Mikraj bagi Selain Nabi Mungkin?

Berdasarkan penjelasan di atas, mikraj bagi selain Nabi memang mungkin, tetapi dengan makna yang berbeda. Mikraj Nabi Muhammad adalah peristiwa fisik dan spiritual yang hanya khusus untuk beliau sebagai tanda kenabian. Sementara itu, mikraj yang dialami oleh para wali lebih bersifat spiritual atau mikraj ruhani. Mereka tidak melakukan perjalanan fisik seperti Nabi, melainkan perjalanan ruhani untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kisah-kisah seperti Faqih Muqoddam dan Abu Yazid al-Busthami menunjukkan bahwa mikraj dalam arti spiritual bisa terjadi pada manusia yang mencapai tingkat kedekatan tertentu dengan Allah. Namun, hal ini tidak boleh disamakan dengan mikraj Nabi Muhammad, yang memiliki keistimewaan dan makna khusus dalam Islam.

Mikraj dalam Islam tidak hanya dimaknai sebagai perjalanan fisik, tetapi juga sebagai perjalanan spiritual. Bagi Nabi Muhammad, mikraj adalah mukjizat yang menegaskan kedudukannya sebagai utusan Allah. Sementara itu, bagi para wali, mikraj lebih dimaknai sebagai perjalanan ruhani untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah.

Kisah-kisah seperti Faqih Muqoddam dan Abu Yazid al-Busthami menunjukkan bahwa Mikraj dalam arti spiritual memang mungkin terjadi pada manusia, meskipun dengan tingkat dan makna yang berbeda. Namun, penting untuk diingat bahwa mikraj Nabi Muhammad tetap memiliki keistimewaan yang tidak bisa disamakan dengan pengalaman spiritual manusia biasa.

Dengan demikian, pertanyaan “Apakah manusia selain Nabi bisa mikraj?” bisa dijawab: “Ya, tetapi dalam konteks spiritual (mikraj ruhani), bukan fisik seperti yang dialami Nabi Muhammad.”

Similar Posts