Majalahnabawi.com – Syekh Abdurrauf al-Singkili (Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Beliau memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Abdurrauf al-Singkili lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau memiliki nama lengkap Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al-Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13.

Pada masa mudanya, beliau mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, beliau pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses perjalanannya beliau belajar kepada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Guru-gurunya

Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah.

Studi keislamannya ia mulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd al-Qadir al-Mawrir. Di Yaman, Beliau belajar kepada Ibrahim bin ‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam bidang Hadis dan
Fiqh. Seperti yang kebanyakan ulama Yaman petakan murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, yang pada akhirnya al-Singkili sendiri juga belajar pada mereka berdua.

Abdurrauf al-Singkili belajar ke Mekah dan Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar Syekh Ahmad al-Dajjani al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani serta puteranya, Muhammad Thahir, di Madinah.

Setelah kembali pada tahun 1661, beliau menjadi ahli fikih terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan zikir wirid Syatariyah. Muridnya menyebarkan ke Sumatera Barat melalui Burhanuddin Ulakan dan ke Jawa dengan Muhyiddin dari Pamijahan yang sampai sekarang masih banyak orang amalkan di pedesaan. Setelah belajar di Madinah pada syekh tarekat Syatariyah, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya, Ibrahim al-Kurani, Abdurrauf memperoleh ijazah dari pimpinan tarekat tersebut. Dengan begitu beliau telah memperoleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan tarekat Syattariyah itu kepada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru di tempat lain.

Kitab al-Mawa’izh al-Badi’ah

Iskandar menyatakan “Karya ini terdiri dari lima puluh pengajaran dan ditulis berdasarkan al-Quran dan hadis, ucapan-ucapan sahabat Nabi serta para ulama besar”. Berbeda dengan Wan Mohd. Shaghir yang menyatakan dalam karya al-Mawa’izh al-Badi’ah setengahnya diambil dari firman Allah Ta’ala. Dan setengahnya aku ambil dari sabda Rasulullah Saw dan setengahnya diambil daripada perkataan sahabat dan setengahnya diambil daripada perkataan Hukama dan ulama yang ’amilin rahmatullah ’alaihim”.

Pada sebagian tempat menyebutkan secara spesifik nama mereka. Dan pada sebahagian yang lain ia tidak menyebutkannya. Al-Singkili hanya menyatakan ”sebagian ulama”, ”ulama”, atau ”hukama” tanpa menyebutkan nama. Namun keterangan sahabat kita jumpai beberapa nama, di antaranya: Ka’ab al-Akhbar, Sahal, Sayyidah Aisyah, Ibn Abbas, Ibn Mubarak, Abu Said. Akan tetapi tidak ada penjelasan mendalam mengenai nama tersebut. Manakala wali Allah, al-Singkili hanya menyebutkan satu nama saja yaitu Abu Yazid al-Busthami. Adapun nama ulama yang disebut adalah Syafi’i.

Kemudian perkataan para sahabat, ulama dan hukama dapat kita temukan hanya pada beberapa tempat saja. Seperti pada pengajaran yang ke tiga puluh enam sampai dengan pengajaran yang ke empat puluh sembilan. Manakala mayoritasnya adalah perkataan Allah baik al-Quran ataupun Hadis Qudsi dan Rasulullah yang tercatat pada hampir seluruh pengajaran. Meskipun pengajaran tersebut ia mulakan dengan perkataan sahabat atau ulama.

Seperti pengajaran yang ke empat puluh empat; Kata Hukama’: Yang akal itu bagi barangsiapa yang takut akan temannya jika ada ia sebenar kasihnya sekalipun. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

الحزم سوء الظن

Yakni: Orang yang bijaksana itu berburuk sangka.

Setelah para ulama melakukan penelitian terhadap perkataan-perkataan yang terdapat dalam karya Mawa’izhul Badi’ah mereka menjumpai kuantiti yang berbeda.

Manakala perkataan Allah adalah lebih banyak dibandingkan dengan perkataan Rasulullah, para sahabat, wali Allah, hukama’ dan ulama. Manakala perkataan Allah dijumpai yang berbentuk Hadis Qudsi sebanyak 61 perkataan dan yang berbentuk ayat al-Quran sebanyak 29 perkataan. Adapun jumlah perkataan Rasulullah adalah sebanyak 16 perkataan. Sahabat 6 perkataan, wali Allah satu perkataan, hukama’ 12 perkataan dan ulama 7 perkataan

Hadith dalam Mawa’izhul Badi’ah

Dapat kita jumpai bahwa pada hampir setiap pengajaran, selalu ia mulakan dengan perkataan Allah. Seperti pada pengajaran yang kedua; Berkata Allah Subhanahu wa Ta’ala;

ياعبدي، سنة مني وستة منك. المغفرة مني والتوبة منك. والنعمة مني والشرر منك. والجنة منى والطاعة منك، والعطاء مني والسدال منك والقضاء مني والرضاء منك والبلاء مني والصبر منك.

Dan terdapat juga pada pengajaran yang keempat puluh Sembilan; Berkata Allah Subhanahu wa Ta’ala;

يا أيها الإنسان ما غَرَّك بربِّك الكريم الذي خلقك فسَوَّاك فعَدَلَك

Lagi firman Allah Ta’ala;

فَلَا يَغُرَّنَّكَ الْحَيوة الدنيا

Dari contoh di atas terlihat bahwa terdapat dua jenis perkataan Allah. Pertama adalah perkataan Allah yang Rasulullah riwayatkan atau yang kita sebut Hadis Qudsi. Dan dapat kita temukan itu di riwayat Imam Ahmad dari Sulaiman. Keduanya adalah perkataan Allah dalam al-Quran. Kerana perkataan tersebut terdapat pada Surah al-Infitar ayat 6-7 dan al-Fatir ayat 5. Adapun perkataan yang pertama dalam karya ini dapat kita temukan hampir pada setiap pengajaran dalam karya ini.

Wafatnya

Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Makamnya berada di samping masjid yang ia bangun di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Namanya kini menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.