Kezuhudan Sosok Rabi’ah al- Adawiyah

Majalahnabawi.com – Nama Rabi’ah al-Adawiyah sudah tak asing lagi di kalangan kaum sufi tentunya. Rabi’ah al-Adawiyah ialah figur wanita yang telah mencapai derajat mulia dalam lingkup kaum sufi. Namanya tertulis dengan tinta emas dalam sejarah. Ketakwaan dan kezuhudannya adalah prestasi luar biasa yang telah mengangkat kedudukannya menjadi sosok wanita mulia, yang mungkin belum atau bahkan tidak didapatkan oleh wanita mana pun di zaman ini.

Kemuliaan yang ia sandang ialah berkat kegigihan usahanya yang diiringi dengan keikhlasan dalam setiap amalan yang dilakukannya dan kecintaannya kepada Allah. Bukan karena faktor keturunan, ataupun faktor kecerdasannya di dunia akademik apalagi faktor kekayaan dan ketenaran kedua orangtuanya. Ia justru berasal dari keluarga sederhana dan penuh kerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Jika berbicara mengenai kezuhudan sosok Rabi’ah al-Adawiyah, maka empat pertanyaan ini bisa dijadikan patokan untuk mengukur seberapa zuhud sosok beliau. Peralatan apa saja yang ada di rumah Rabi’ah? Barang mewah apa saja yang ada di ruang tamunya? Pakaian seperti apa yang dikenakan Rabi’ah sehari-hari? dan makanan seperti apa yang dia makan sehari-hari?. Pertanyaan berikutnya, apakah Rabi’ah sengaja menjauhkan diri dari kemewahan dunia karena kemiskinan yang menimpa keluarganya ? apakah nasib ini mengantarkan dirinya menjadi orang yang melarat ataukah sifat ini adalah pilihannya sendiri?.

Sosok Zuhud

Di masa itu, pola hidup kaum zuhud (mereka yang menjauhi keduniaan), yang terpenting ialah sehelai kain sebagai penutup aurat dan sepotong roti untuk makan. Mereka juga berdagang dan jika usahanya mencapai hasil maka dinafkahkan ke jalan yang Allah ridhai tidak untuk ditumpuk sebagai kekayaan pribadi. Jika berlebih akan digunakan untuk menyantuni orang-orang yang butuh uluran tangan seperti fakir miskin dan anak-anak yatim.

Begitu pula sosok Rabi’ah, kezuhudannya terbukti dengan kehidupannya yang sangat sederhana. Dirinya bersih dari pengaruh nafsu, serta terpelihara dari kemewahan duniawi.

Salah satu riwayat yang menceritakan kezuhudan Rabi’ah ialah dari Malik bin Dinar “suatu hari aku datang ke rumah Rabi’ah. Saat itu Rabi’ah sedang minum air dari bejana yang sudah retak hampir pecah, tikar yang berada di rumahnya sudah usang, sedangkan bantal tidurnya adalah batu”. Melihat keadaan itu, Malik bin Dinar tidak tahan dan mengusulkan kepada Rabi’ah, “Wahai Rabi’ah, banyak kawan-kawanku yang kaya raya, maukah engkau menerima pemberian mereka?”.

Sosok Perempuan Tawakal

Dengan suara tegas Rabi’ah menjawab “Wahai Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan itu adalah ucapan yang salah. Yang memberikan rezeki kepada kawan-kawanmu yang kaya raya itu adalah Allah yang juga memberikan rezeki kepadaku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh rezeki, sedangkan orang-orang miskin tidak? Jika Allah menakdirkan keadaan kita seperti ini, maka tugas yang perlu kita laksanakan hanyalah menerimanya dengan tawakal”.

Banyak riwayat lain yang menceritakan kezuhudan sosok Rabi’ah yang tidak pernah menerima hadiah dan mengulurkan tangannya untuk pemberian dan semacamnya dari sesama, meskipun keadaannya memang sangat membutuhkan pemberian-pemberian tersebut.

Itulah segelintir gambaran kezuhudan sosok Rabi’ah al-Adawiyah dalam menyikapi harta dan pemberian dari sesama manusia. Banyak para ahli zuhud saat itu yang belum mancapai maqam zuhudnya Rabi’ah, tak berlebihan rasanya jika Rabi’ah berhak dijuluki sebagai pemimpin bagi orang-orang zuhud.

Similar Posts