nyanyian

Kesetaraan Tradisi Sufi Perempuan

Oleh: Annisa Nurul Hasanah

Pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah). Pengalaman beragama merupakan intensitas pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam yang sanggup dimiliki manusia. Intensitas pengalaman tersebut dapat dirasakan oleh setiap orang tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin (bias gender).

Dalam Islam, antara laki-laki dan perempuan senantiasa mendapatkan tempat dan kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Keduanya juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk sampai kepada ma’rifatullah.

Hanya saja, bila dibandingkan dengan laki-laki, tidak banyak terdapat perempuan yang menjadi guru sufi. Bahkan oleh Jam’iyyah Thariqah Ahl Mu’tabarah al-Nahdliyah, perempuan dilarang menjadi pemimpin tarekat, meskipun jumlah anggota perempuan lebih banyak. Kendati demikian, dalam menjalankan amalan tarekat, perempuan tidak kalah khusyu’ dibanding laki-laki.

Jika kita tengok sejarah misalnya, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, telah banyak dikenal beberapa perempuan suci, yang jiwa dan raganya dipasrahkan sepenuhnya untuk Allah semata. Ibunda Nabi Isa as, Maryam; ibu biologis Nabi Musa as yang mengikuti perintah Allah Swt. dengan melawan naluri biologisnya sendiri; maupun perempuan yang mengangkatnya sebagai anak, istri Fir’aun. Perempuan lainnya yang juga tercatat dalam sejarah karena keteguhan jiwanya adalah Ibunda Isma’il, Hajar, yang ridha melepas anak tunggalnya untuk disembelih semata mengikuti perintah Allah Swt.

Sementara itu, sebelum dunia sufi populer, banyak kaum perempuan yang disebut (dianggap sebagai) “Perempuan Sufi”, seperti Khadijah, istri pertama Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa demi perjuangan suaminya, ia rela mengorbankan harta bendanya. Kekayaaan tidak menjadi penghalang untuk menyucikan jiwanya, sebaliknya malah menjadi sarana dalam berjuang mendapatkan Ridla-Nya. Istri Nabi Saw. yang lain, seperti Zainab binti Khuzaimah juga terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sehingga diberi gelar Ummul masakin (ibu orang-orang miskin). Demikian pula Fatimah, putri Rasulullah Saw., dalam beberapa kisah diceritakan tentang keteguhannya menghadapi ujian dalam hidupnya untuk lebih mendekatkan diri pada Allah Swt. Tentang kemuliaan sahabat-sahabat perempuan Nabi terungkap dalam beberapa karya, seperti: karya Ibn Sa’ad dalam kitab at-Tabaqat al-Kabir. Diriwayatkan bagaimana sahabat perempuan Rasulullah Saw. lebih senang mengorbankan harta bendanya untuk perjuangan Rasulullah Saw, ketimbang untuk kepentingan dirinya sendiri.

Al-Sulami dalam kitab Dzikrun Niswah al-Muta’abbidat al-Sufiyyat menggambarkan tentang kesadaran identitas perempuan sebagai sufi yang berperan dalam banyak hal, seperti melayani saudara laki-laki, belajar bersama, membantu finansial, dan terkadang melebihi laki-laki dalam segi pengetahuan. Selain itu al-Sulami juga menuliskan bahwa kaum perempuan digambarkan setara dengan laki-laki dalam hal agama dan kecerdasan akal, dan dalam pengetahuan mereka tentang ajaran-ajaran dan praktek-praktek sufi.

Rabi’ah al-Adawiyyah merupakan tokoh sufi perempuan. Sosok yang dikenal dengan sebutan the mother of grand master atau ibu para sufi besar ini terkenal dengan sikap zuhud-nya. Tokoh kelahiran Bashrah, Irak, ini menjadi inspirasi dalam dunia tasawwuf, baik di kalangan Islam maupun dunia Barat. Rabi’ah banyak memberikan fatwa kepada murid-muridnya, sahabatnya sesama sufi, maupun kepada para kerabatnya. Sufyan al-Tsauri, ulama Hadis yang sangat alim pun sering meminta nasihat dan hikmah kepadanya. Sufyan berkeyakinan bahwa hikmah yang dimiliki Rabi’ah berdasarkan ilham yang datang dari Allah Swt. Menurut Rabi’ah, kepatuhannya kepada Allah Swt. bukanlah tujuan. Sebab ia tidak mengharap surga atau takut akan siksaan neraka, tetapi ia mematuhi-Nya karena cinta. Dan ini adalah peringkat tertinggi dalam tasawwuf.

Dalam Sufi Women karya Javan dikisahkan bahwa Rabi’ah sengaja menggali kuburnya sendiri di rumahnya. Setiap pagi dan sore dia selalu berdiri di samping lubang kubur tersebut, seraya berkata, ”Besok engkau pasti berada di sini.” Selama 40 tahun ia memelihara kebiasaan tersebut hingga wafatnya. Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi’ah ingin segera bertemu dengan Allah, dan itu akan dijumpainya pada saat ruhnya terlepas dari jasadnya.

Sufi perempuan lainnya yang tercatat sejarah adalah Nafisah. Nafisah merupakan seorang perempuan keturunan Rasulullah Saw. dari jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Nafisah juga terkenal karena zuhud-nya, selain juga terkenal dengan pengetahuannya tentang al-Qur’an beserta tafsirnya. Bahkan mujtahid besar Imam Syafi’i sering mengunjunginya dan berdiskusi dengannya. Ia juga meriwayatkan beberapa hadis darinya. Semasa hidup, banyak peristiwa yang menunjukkan karamah dan kedermawanannya. Diantara kisahnya adalah suatu hari Sungai Nil mengalami kekeringan. Nafisah pun memberikan kerudungnya dan mengatakan kepada masyarakat Mesir agar melemparkannya ke dalam sungai. Ketika mereka melakukannya, seketika air sungai meluap, maka terselamatkanlah penduduk di sekitarnya dari bahaya kekeringan.

Dari sejumlah nama tokoh sufi perempuan dan tokoh-tokoh perempuan dalam dunia tarekat, kecuali Rabi’ah al-Adawiyah, tidak didapati pemikiran atau ijtihad berdasar pengalaman ruhaninya, sebagaimana yang dilakukan oleh para tokoh sufi dari kalangan laki-laki. Pengalaman beragama yang dikembangkan oleh Rabi’ah al-Adawiyyah adalah upaya mendekatkan diri pada Allah dengan cinta. Rabi’ah dapat dikatakan memebawa versi baru dan mempopulerkan hubb ilahi, yang pada masanya perkembangan tasawwuf didominsi dengan zuhud. Meskipun demikian, adanya tokoh-tokoh sufi perempuan, sebagaimana tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa perempuan mampu mencapai pengalaman ruhani yang tinggi dalam upaya mendekatkan diri pada Allah Swt., yang ditandai dengan karamah-karamah-nya.

Dunia sufi bagi perempuan pun berkembang dan meluas. Mereka terwadahi oleh sebuah organisasi perempuan sufi (Sufi Women Organization) yang berpusat di Amerika Serikat. Dalam pengantarnya, pendiri Sufi Women Organization, Sayedah Nahid Angha, Ph. D. mengungkapkan bahwa organisasi yang dipimpinnya lebih banyak memperhatikan peran dan tanggungjawab perempuan sebagai seorang ibu. Lebih jauh dijelaskan bahwa perempuan sebagi ibu sangat berperan dalam membangun peradaban dunia dan generasi penerusnya. Tema-tema yang diusung lebih mengikuti isu-isu yang berkembang seperti masalah pendidikan, Hak Asasi Manusia, perempuan, anak, dan sebagainya.

Di Indonesia dapat kita jumpai tokoh-tokoh sufi perempuan seperti Fatimah binti Maemun, Ibunda Sunan Ampel, yang makamnya terletak di Laren Gresik Jawa Timur, ibunda KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa perempuan lainnya.
Demikianlah perempuan-perempuan sufi yang mewarnai bingkai dunia tarekat. Mereka menjadi kesaksian sangat berharga tentang peran kaum wanita dalam tradisi sufi di masa lalu pada khususnya dan spritualitas perempuan di dalam Islam pada umumnya. Mereka menjadi inspirasi kita untuk selalu semangat dan ikhlas dalam olah dzikir kepada Allah swt. Serta menyadarkan kita bahwa perempuan adalah kaum yang setara dengan laki-laki dalam kecerdasan intelektual, maupun spritual, dan juga dalam pengetahuan tentang ajaran-ajaran praktik-praktik sufi.

*Penulis adalah alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences dan jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta asal Jepara

Similar Posts