Pelajar, siswa, mahasiswa atau apapun namanya sebutan bagi dia yang sedang menempuh pendidikan di Indonesia, memiliki keistimewaan tersendiri dalam kancah dunia. Indonesia atau penulis lebih asyik menyebutnya dengan istilah “Nusantara”, memiliki rekam jejak historis yang sangat lekat dalam benak dan jiwa. Mulai dari kisah logis sampai mistis yang jauh dari nalar logika. Sebut saja misalnya, bagaimana sosok Bung Karno sebagai tokoh proklamator yang namanya tidak asing waktu itu dalam permainan politik dunia. Sebagai sosok yang sangat cerdas, logis, dan rasionalis, beliau adalah tokoh pemikir yang sudah melahap berbagai macam pemikiran lewat buku bacaan yang dipelajari. Leninisme, marxisme, sosialisme, dan lain semacamnya. Tidak heran kemudian jika beliau dekat dengan tokoh-tokoh kemanusian seperti Che Guevara, Fidel Castro, John F. Kennedy dan lain-lain. Sebagai tokoh Indonesia, Bung Karno disegani oleh negara-negara besar dunia waktu itu. Apa yang istimewa dari sosok Bung Karno sampai diperhitungkan dan memiliki pengaruh dalam kancah dunia? jawaban singkatnya adalah karena Ir. Soekarno bukan hanya “Pelajar Indonesia, tapi juga Santri Nusantara”. Jawaban panjanganya, sebentar lagi penulis akan uraikan.

Pertama Bung Karno. Kedua adalah KH. Abdurrahman Wahid sebagai sosok santri yang sangat religius, agamis dan nasionalis, presiden Indonesia ke-4. Mewakili kaum sarungan ala pesantren yang cenderung disebut dengan istilah kuno, terbelakang, tidak modern dan lain semacamnya, Gus Dur menepis anggapan itu bahwa santri juga bisa tampil di wilayah nasional bahkan internasional, bahkan tidak sedikit yang menyebut beliau sebagai wali, sosok sakti yang acapkali menghadirkan ide cemerlang di luar nalar dan melakukan tindakan aneh yang nyeleneh. Mengapa Gus Dur bisa mencapai level seperti itu? Lagi-lagi jawaban sederhananya, karena beliau bukan hanya “Pelajar Indonesia, tapi juga Santri Nusantara”.  Bagaimana jawaban panjangnya, berikut sedikit uraianya.

Selaku penuntut ilmu, pelajar Indonesia dituntut memaksimalkan potensi dalam diri setiap manusia meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Tiga potensi itu akan mudah tercapai dengan tiga konsep khas pelajar Indonesia sebagai santri Nusantara. Tiga konsep itu adalah Ngaji, Ngopi, dan Ngabdi.

Ngaji adalah kegiatan mengasah intelektual secara khusus namun juga mengandung unsur spiritual dan emosional secara umum. Ngaji tidak hanya identik mempelajari buku-buku kuno atau kitab-kitab gundul berbahasa arab, tapi juga membaca buku-buku umum, membaca keadaan, membaca situasi, dan membaca semua hal yang ada disekitar. Disamping itu, khas pelajar nusantara adalah mengenang perjuangan dan jasa setiap pencetus atau penulis buku bacaan yang akan dipelajari agar menumbuhkan tali sambung antar murid dan guru, disebut dengan istilah tawassul. Tentu kegiatan semacam ini sangat istimewa di bumi nusantara meski juga ada di negara lain, dan harus tetap dijaga. Itulah yang dicontohkan Gus Dur dan Bung Karno untuk mengembangkan potensi intelektual dan spiritual.

Setelah Ngaji, langkah selanjutnya adalah Ngopi. Ngopi adalah kegiatan yang harus dilakukan setiap pelajar Indonesia untuk menumbuhkan rasa emosional dan kemanusiaan yang tinggi, Dengan ngopi seorang pelajar dapat mengerti karakter banyak orang, memahami cara berkomunikasi yang baik, dan yang paling penting adalah menumbuhkan rasa kemanusian, persaudaraan, dan sosial yang tinggi.

Yang terakhir adalah Ngabdi. Tentu setelah seorang pelajar mendapat ilmu dan pemahaman yang luas, dia dituntut menyebarkan dan mengaktualisasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari agar berguna bagi orang lain. Itulah yang disebut dengan istilah Ngabdi. Tiga konsep inilah yang dilakukan Bung Karno dan Gus Dur. Tokoh yang banyak baca bukunya, jauh tempat ngopinya, bertemu banyak orang, dan tinggi kegiatan spritualitasnya. Tidak heran kemudian jika beliau menciptakan ide-ide baru dari berbagai model pemikiran  yang telah dipelajari. Marxisme menjadi Marhaenisme, ciptaan Bung Karno setelah belajar pada kehidupan para petani. Dan konsep toleransi  beragama ala Gus Dur yang beliau sebut dengan istilah “Pluralisme Agama”. Sekian terimakasih, mari Ngaji, Ngopi, dan Ngabdi.

Oleh: M. Yaufi Nur Mutiullah

*Penulis adalah mahasantri Darus Sunnah semester V