Majalahnabawi.com – Peran dasar seorang santri sebagai tonggak penerus warisan keilmuan para ulama, akhir-akhir ini mulai patut kita pertanyakan. Karena kitab-kitab klasik atau dalam istilah sering kita sebut kitab kuning sebagai acuan dalam mengetahui pokok­-pokok syariat Islam mulai kehilangan peminatnya. Salah satu pemicu tentang keengganan mereka karena mindset bahwa betapa kunonya seandainya di zaman yang serba modern seperti sekarang ini masih bergelut dengan kitab kuning yang usianya sudah hampir ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Atau tentang statemen yang sering orang-orang ucapkan bahwa santri tidak harus jadi kiai, dalam arti lain dia tidak harus menguasai kitab kuning secara detail dan mendalam. Yang terpenting (bagi mereka) akhlak dan perilaku tetap pada poros kesantrian-nya. Tentu ini masalah yang cukup serius dan harus segera kita tuntaskan agar tidak merambat lebih jauh.

Histori Kitab Kuning

Bagi seorang santri, tentunya tidak asing lagi dengan kitab kuning atau biasa juga mereka sebut kitab gundul (karena tidak berharkat).  Mengenal asal-muasalnya, dalam beberapa literatur sejarah mengatakan kitab kuning adalah formulasi ulama dalam memahami Al-Quran dan Hadis. Dengan kata lain kitab kuning bisa kita katakan sebagai karya hasil proses ijtihad suatu ulama yang tentunya sudah ahli dalam berbagai bidang.

Kenapa oleh kebanyakan orang mengistilahkan kitab kuning? Tentunya ini berkaitan erat tentang kapan masuknya kitab kuning ke indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen kitab gundul di Nusantara pertama kali ialah pada abad ke-16 melalui perantara santri Indonesia yang telah selesai nyantri di Haromain. Dimana pada masa itu Indonesia mengalami krisis moneter yang disebabkan penjajahan oleh Belanda, dan tidak mungkin untuk menggandakan kitab tersebut menggunakan kertas putih. Sehingga mereka memilih kertas kuning yang pada waktu itu memiliki harga ekonomis dan paling murah. Namun ini sebenarnya hanya satu dari beberapa alasan. Alasan yang lebih rasional ialah untuk mengelabui pihak musuh supaya mereka menganggap bahwa kitab kuning bukan sesuatu yang mengancam eksistensi mereka di Bumi Pertiwi. Sehingga para santri dapat belajar dengan aman dan tentram tanpa ada gangguan dari pihak penjajah.

Jangan lupakan Peran Utama Seorang Santri

 Bagaimana sikap yang harus kita ambil dalam menanggapi fenomena yang sedang terjadi saat ini (mengenai tentang menurunnya minat santri dalam menggeluti bidang kutubiyah). Pertama-tama, kita harus mengingat dan menelaah kembali visi-misi utama seorang santri, yakni menjadi penerus perjuangan ulama untuk mengabdi pada masyarakat. Ini didukung oleh makna filosofis santri itu sendiri, antara lain Naaib ‘an al-Masyaaikh (pengganti para guru). Artinya seorang santri harus siap menerima dan meneruskan estafet kepemimpinan dan perjuangan para guru, kiai dan ulama. Dalam konteks ini, maka harus ada kesamaan dengan gurunya, baik dalam bidang i’tiqadiyah (akidah), ‘amaliyahfikrah (pemikiran), harakah (gerakan), dan ghiroh (semangat perjuangan). Rasa-rasanya tidak mungkin hal itu bisa terwujudkan tanpa menguasai secara utuh kitab kuning. Karena bagaimana kita bisa meneruskan estafet perjuangan mereka sedangkan kita masih belum pantas untuk disebut sebagai pengganti .

Santri Tidak Harus Jadi Kiai

Acap kali, adagium di atas menjadi tameng oleh sekelompok (oknum) santri yang kurang minat dalam mendalami kitab kuning. Kalau kita lihat secara makna kalimatnya, memang betul kalau semua santri mustahil seluruhnya menjadi kiai. Dengan kata lain pasti ada yang berprofesi Pns., Tni., Polisi, Dokter dan lain sebagainya. Selaras dengan keinginan salah satu mediator NU  sekaligus pahlawan nasional KH. R. As’ad syamsul arifin lewat dawuhnya, “Saya ingin santri saya seperti santrinya sunan ampel, ada yang menjadi kiai, seniman dll”. Namun kita  harus proporsional dalam memahami statemen yang beliau dawuhkan. Karena, ketika kita memahaminya hanya dari satu sisi, maka hal itu bukan membawa kita pada kebenaran, malah menjadi penyebab kesesatan dalam bernalar.

Kalau seandainya dawuh beliau kita berikan semacam ta’wil, mungkin isinya seperti ini. Adanya pesantren, selain mempunyai peran untuk melahirkan sosok agamis dan berbudi luhur, juga harus memproduksi seseorang yang mampu memenuhi kebutuhan variabel  di masyarakat. Oleh karena itu beliau membuat narasi yang isinya seperti di atas ,yakni menginginkan santrinya tidak hanya terkhusus dalam bidang kitab kuning, tapi juga  melatih diri dengan menyiapkan bekal yang berkaitan dengan ilmu kemasyarakatan.

Kitab Kuning Tetap Menjadi Prioritas Santri

Berdasarkan hal ini, dapat kita simpulkan bahwa statement salah satu pendiri pondok pesantren terbesar di Indonesia tersebut tidak bisa menjadi argumen untuk menafikan kewajiban individual seorang santri tentang keharusan mengkaji kitab kuning. Alasan lainnya, dengan kita menggeluti langsung isi dari kitab kuning tanpa melihat terjemahan apalagi hanya bermodal Searching Google, akan membuat kita mengetahui secara langsung seluk beluk ajaran Islam secara mendetail tentang bagaimana bisa syariat mewajibkan shalat, puasa, dll. Atau guna memafhumi alasan kenapa zina dilarang, miras diharamkan, serta perjudian tidak diperbolehkan. Tentu alasannya agar lebih mengukuhkan wawasan keagamaan seorang santri, dan supaya lebih mantap dan paham serta tidak kaku dalam menjalankannya. Sebagaimana syair Ibnu Ruslan dalam karyanya Matan Zubad:


وكل من بغيرعلم يعمل # اعماله مردودة لا تقبل

“orang yang melaksanakan sesuatu tanpa didasari pengetahuan, maka pekerjaan tersebut tidak diterima(ditolak)”

      Nah, sudah jelas bahwa orang yang menjalankan kewajiban agama serta mengetahui dalil-dalilnya lebih unggul dari pada orang yang menjalankan kewajiban tapi tidak tahu sama sekali alasan kenapa ia mengerjakannya. Kalau kita analogikan orang yang tidak paham secara detail bagaikan orang yang berjalan terus menerus tanpa tahu ke mana arah tujuannya.