Konsep Penjagaan Tauhid dan Keimanan dalam Al-Quran

Majalahnabawi.com – Tauhid merupakan kata benda yang memiliki arti keesaan Allah, yakni memiliki kepercayaan yang kuat bahwa Allah itu satu. Menurut Syeikh Muhammad Abduh, tauhid ialah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya.

Sedangkan iman adalah tashdiq atau membenarkan, yakni mengucapkan dengan lisan apa yang telah dibenarkan dalam hati serta mengamalkan melalui perbuatannya. Tauhid tanpa iman adalah sebuah kebohongan, maka keduanya harus sama-sama tumbuh dan menetap dalam hati kita. Lantas bagaimanakah penjagaan tauhid dan iman dalam Al-Quran? Tulisan singkat ini akan menjawab pertanyaan tersebut melalui dua ayat dalam Al-Quran, surah Yunus:106 dan AlAn’am :82.

Penafsiran QS. Yunus: 106

وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًۭا مِّنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim“. (Q.S. Yunus [13]: 106)

Dalam tekstualisasi ayat di atas menyebutkan bahwa adanya larangan untuk menyembah segala sesuatu yang tidak mendatangkan kebaikan. Karena orang yang melakukan hal tersebut termasuk golongan dari orang-orang yang zalim dalam bentuk menyekutukan Allah. Ayat ini mengukuhkan larangan untuk berbuat syirik dan menjabarkan bahwa menyekutukan Allah adalah perbuatan tercela.

Menurut penafsiran Quraish Shihab, ketika menguraikan terkait doa kepada berhala-berhala, ayat ini menggunakan kata “ma la  yanfauka” yang memiliki arti apa-apa tidak memberi manfaat bagimu. Kata “ma” memiliki maksud untuk menunjuk sesuatu yang tidak berakal. Maka dalam ayat ini mengisyaratkan terkait ibadah kepada sesuatu haruslah dengan sesuatu yang memiliki rasa dan akal. Sedangkan kaum musyrikin ini menyembah “apa” yang mana hal tersebut tidak memiliki rasa atau akal. Maka dari itu, “apa” tidak wajar untuk disembah dan juga tidak akan mampu untuk memberi kemanfaatan serta mencegah kemudaratan.

Maka ayat ini berpesan, janganlah kalian menyembah dan berdoa kepada selain Allah. Sebab kepada selain Allah, kalian tidak ada yang bisa memberikan manfaat dan kemudaratan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Jika Allah menimpakan sesuatu mudarat kepadamu, maka tidak ada satupun yang dapat menghilangkannya selain Allah. Maka jika Allah telah menurunkan kebaikan kepada kalian, maka tidak ada seorang pun yang dapat menolak kebaikan tersebut.

Penafsiran QS. Al-An’am: 82

وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًۭا مِّنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’am [7]:82)

Melalui cara pandang tekstual dapat kita simpulkan, bahwasanya seseorang yang sudah beriman, maka tidak akan mencampurkan iman yang dimilikinya dengan kezaliman yang tertuju pada kemusyrikan seseorang, sebab mereka yang beriman sudah memperoleh keamanan dan dilindungi dengan segala bentuk dari Allah.

Quraish Shihab dalam kitab Al-Misbah menjelaskan, bahwa ayat tersebut pernah menjadi sebuah pertanyaan yang dapat membingungkan sahabat-sahabat Nabi yakni, “Siapakah di antara kalian yang tidak melakukan kezaliman atas dirinya?” Maka makna yang berhasil mereka pahami ialah seseorang mukmin akan berbahaya dan tidak mendapatkan keamanan ketika sudah berbuat zalim. Kemudian Nabi menjawab: “Makna yang kalian pahami tidaklah benar adanya, melainkan bentuk kezaliman yang dimaksud dalam kata “bidzulmin” ialah syirik.

Dalam kata lam yalbisu memiliki arti mencampuradukkan, maksud kata itu ialah melakukan dua hal yang serupa tetapi tidak sama dalam satu waktu. Seperti syirik dan mempersekutukan Allah merupakan penggabungan dua hal yang serupa. Pertama mengakui ketuhanan Allah serta kewajarannya untuk disembah, dan yang kedua mengakui kewajaran selain-Nya untuk disembah dan sebab penyembahan selain-Nya merupakan penempatan sesuatu bukan pada tempatnya. Maka hal tersebut dinamakan zalim dengan bentuk syirik kepada Allah.

Maka dari dua ayat tersebut menjelaskan bahwa cara penjagaan tauhid dan keimanan ialah sembahlah sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan mudarat bagimu, dan yang dapat melakukan hal tersebut hanyalah Allah. Kemudian, setelah meyakini adanya Allah, janganlah kalian meragukan apa yang telah kita yakini, tetaplah mengakui bahwa Tuhan (Allah) itu satu dan mengakui kewajarannya untuk disembah. Jika apa yang kalian sembah adalah selain-Nya maka kalian termasuk dari orang yang syirik.

*Penulis merupakan mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Similar Posts